Oleh Imran Duse
Di pengujung pidato itu, ia akhirnya tak kuasa mengempang air mata. Suaranya bergetar; lalu sececah membungkam. Nampak berupaya mengumpulkan kekuatan (dan keteguhan) demi menghalau berjumput nelangsa yang berkelindan memintas lorong waktu. Bak terhipnotis, seisi ruangan pun sekonyong-konyong hening. Sangat kontras dengan riuh tepuk tangan dan ambitus nada paduan suara yang menghentak-memukau sebelum momen itu.
Sesaat kemudian, suara Prof. Dr. H. Muhammad Abzar Duraesa, M.Ag., –sosok yang berdiri di mimbar itu— kembali terdengar: ayal dan ekspresif, pertanda sedang mengartikulasikan pengalaman batin terdalam. Dengan penuh takzim, Prof. Abzar (akhirnya mampu) mengeja nama kedua orang tuanya, yang, katanya, “diwakili oleh ketujuh orang saudara kandung saya.”
Sejumlah kerabat dari Mandar dan Makassar juga secara khusus datang menghadiri Sidang Senat Terbuka dengan agenda utama: pengukuhan Prof. Abzar sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Studi Islam Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI), Samarinda (Jum’at, 17/03).
Berlangsung di Auditorium 22 Dzulhijjah Kampus UINSI, prosesi tersebut dilakukan Sekjen Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag., dan disaksikan Rektor Prof. Dr. H. Mukhamad Ilyasin, M.Pd., beserta seluruh Wakil Rektor, Dekan, dan civitas akademika UINSI.
Sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis mahasiswa, juga terlihat di antara tamu undangan. Mantan Wakil Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar menyampaikan selamat secara audio-visual yang tayang di dua layar besar.
Jalur Kejujuran
Kita tentu ikut menyampaikan selamat dan bersukacita atas pencapaian Prof. Abzar di kasta tertinggi jabatan akademik. Sungguh, ini menjadi impian setiap insan kampus. Bagi saya (mungkin juga Anda), sukacita itu bisa menjadi semacam healing atas kecemasan akibat berbagai kabar murung soal profesor kehormatan yang membentur kesadaran kita dalam pekan-pekan terakhir ini.
Lewat berbagai platform media sosial, berita itu muncul di layar cerdas kita: ada 343 dosen dari 14 fakultas di UGM Yogyakarta menolak penganugerahan honorary professor (yang konon akan diberikan UGM kepada pejabat tertentu). Atau berita tentang seorang profesor yang Rektor PTN yang terjerat kasus korupsi dan sudah dinyatakan sebagai tersangka.
Menyedihkan, bukan?
Kita mafhum, profesor bukanlah gelar, melainkan jabatan akademik. Di sana ada melekat berbilang kewajiban akademik yang, tentu saja, niscaya tak sanggup ditunaikan oleh mereka yang datang dari kalangan non akademik. Terlebih lagi jika yang bersangkutan punya jabatan publik.
Jika demikian, dari mana datangnya gagasan itu? Bukankah pihak UGM sendiri sudah menepis?
Rupanya itu diatur dalam Permendikbud Ristek No.38/2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Maka boleh jadi ke sinilah arah penolakan itu tertuju.
Tapi, tunggu dulu. Mungkin kita juga perlu mendengar Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM di era SBY-JK. Dalam opininya di Kompas (17/02/2023), dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu menulis bahwa untuk menjadi seorang profesor, terdapat dua jalur yang bisa dilalui: jalur kejujuran dan jalur ketidakjujuran.
Jalur kejujuran, kata Hamid, lazimnya ditempuh oleh mereka yang termotivasi keinginan luhur untuk berkhidmat bagi ilmu pengetahuan demi kemaslahatan bersama. Sementara jalur ketidakjujuran diikuti oleh –sekali lagi kata Hamid–, para pemburu aksesori dan pemburu rente. Dengan kata lain, bahkan untuk menjadi profesor yang sungguhan pun (baca: bukan profesor kehormatan) bau bacin itu kukuh mengintai.
Kita tahu, Prof. Abzar tiba di mimbar itu setelah melangkaui perjalanan panjang dan mengenyahkan berbongkah godaan di jalur kejujuran.
Dilahirkan di Polewali Mandar, 51 tahun lalu, anak ke-4 dari 8 bersaudara ini menghabiskan masa kecil dan sekolah dasarnya di tanah kelahiran. Kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) Kaballangan di Pinrang, Sulawesi Selatan. Lalu meraih gelar Sarjana (1996), Magister (2001) dan Doktor (2013) di IAIN (sekarang UIN) Alauddin, Makassar.
Di tahun 1999, lelaki Mandar ini menyeberang lautan, menuju pulau impian. Menjadi saksi dan pelaku sejarah transformasi STAIN menjadi IAIN hingga kini mewujud sebagai UINSI Samarinda, di mana Prof. Abzar mengajar dan saat ini sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Ia juga aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.
Ia adalah sosok yang hangat, humble, dan smart. Ia bekerja, berorganisasi, dan merawat keakraban persahabatan dengan tulus. Dan itu berangkat dari sebuah adagium: di balik sukses seorang lelaki, terdapat wanita hebat yang setia di sisinya.
Prof. Abzar mengamini, sebagaimana tersirat di sela pidatonya. Ia menyampaikan terima kasih ke Wasriah, S.Ag., sang istri tercinta, yang selalu hadir dalam pertumbuhan visi keilmuannya, dalam keseimbangannya sebagai manusia, dan kesadarannya untuk selalu mensyukuri hidup dan pekerjaan.
Obor Peradaban
Dalam pidatonya, Prof. Abzar secara menarik menguraikan pentingnya mengindahkan nilai-nilai teologis sebagai kerangka dasar dalam bertindak. Pada batas itu, yang profan dan yang transenden hendaknya bisa saling menyapa. Dan ayah 3 orang putra ini menawarkan perlunya suatu kesatuan paradigmatik.
Secara eksplisit, ia menolak wacana mengeluarkan pendidikan agama dari kurikulum. Bahkan, hemat kita, di tengah masa yang ditandai defisit moral dan keteladanan dewasa ini, pendidikan agama baiknya justru di perkuat. Termasuk juga pengajian ibu-ibu.
Bagi yang tidak setuju, mungkin ada baiknya membaca Charles Darwin, yang menguraikan betapa berbahayanya jika manusia kehilangan ‘kekayaan rohaniah’.
Kata Darwin (kita pinjam dari E.F. Schumacher, 1973): “Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusak kecerdasan dan lebih-lebih lagi mungkin berbahaya bagi moral, karena hal itu melemahkan kehidupan emosi kita.”
Albert Einstein, genius abad ke-20, tanpa ragu menyebutnya agama, saat menyampaikan ungkapannya yang masyhur: “Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang. Agama tanpa ilmu adalah buta.”
Kita tahu, 12 abad sebelum Einstein mengucapkan itu, seorang hafidz, ilmuwan dan cendekiawan muslim yang cukup disegani di Barat, Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi (780-850 M) bahkan sudah menunaikannya dengan gemilang. Kendati pemikiran al-Khwarizmi baru tiba di dunia Barat tiga abad kemudian, namun sangat kontributif memengaruhi perkembangan sains dan menjadi pijakan bagi renasains di Eropa.
Ia adalah penemu algoritma (juga angka “nol”), yang dengan itu kini kita bisa menikmati kemajuan teknologi digital dan artificial intellegence (AI): computer, facebook, whatsApp, games, instagram, dan seterusnya.
Pemikir besar revolusi ilmiah abad ke-17, Isaac Newton, tanpa ragu menyebut al-Khwarizmi (dan masih banyak yang lain) sebagai raksasa ilmu pengetahuan, ketika seorang murid menjulukinya sebagai saintis terhebat. Kata Newton, “Jika aku dapat melihat lebih jauh, hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.”
“Berdiri” artinya terkoneksi, terhubung melalui sitasi. Begitulah ilmu pengetahuan bekerja. Mendayung dalam dialektika tesis-antitesis-sintesis, melampaui berlapis generasi, pada sepanjang tepian sejarah umat manusia. Dari sanalah kesinambungan kebudayaan terjaga dan peradaban dibentuk. Dan pidato Prof. Abzar adalah bagian dari upaya memelihara kesinambungan itu.
Sebagaimana halnya keterhubungan yang tercipta saat air mata jatuh dan kita mendengar suara Prof. Abzar anjak berguncang. Dari sebuah dunia dengan dimensi berbeda, Allahuyarham H. Duraesa Yussul dan Hj. Fatimah, dua nama yang dieja dengan suara bergetar di ujung pidato tadi, sesungguhnya ikut menyaksikan sembari tersenyum bahagia dalam kedamaian dan keabadian rasa syukur.
Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis, Dosen FUAD UINSI Samarinda dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI BPP KKSS, Jakarta.