Kolom Dr. H. M. Amir Uskara
Silicon Valley Bank (SVB), bank terbesar ke-16 di AS yang berpusat di California bangkrut, paruh Maret 2022 lalu. Bank dengan aset 209 milyar USD (tahun 2022) ini koleps karena nasabahnya — para pengusaha startup dan teknologi digital — menarik dana besar-besaran (bank run). Ini terjadi akibat kenaikan suku bunga The FED (Federal Reserve/Bank Sentral AS) yang agresif dan bertubi-tubi pasca pandemi untuk mengatasi inflasi di negeri Uncle Sam.
Kenaikan suku bunga the FED ini mengakibatkan deposan di SVB yang mayoritas pengusaha teknologi digital dan start up menarik dananya secara siginifikan. Lalu dialihkan kepada bank-bank tertentu yang kuat atau instrumen investasi lain yg lebih menguntungkan.
Dampaknya luar biasa. SVB “kehabisan dana” kemudian dinyatakan bangkrut oleh otoritas perbankan Amerika.
Kebangkrutan SVB ternyata berefek domino. Menyusul jatuhnya SVB, Signature Bank yang berpusat di New York, juga koleps. Lalu, Bank yang sangat populer di Eropa, Credit Suisse pingsan. Penyebabnya hampir sama. Bank run oleh para nasabahnya yang ketakutan uang simpanannya rugi atau hilang. Dampaknya, nilai saham Bank terbesar kedua di Swiss ini jatuh hingga 24 persen.
Krisis Credit Suisse tersebut kemudian berimbas pada jatuhnya nilai saham perbankan di Prancis seperti BNP Paribas dan Sociate Generale; lalu di Jerman seperti Kommerzbank dan Deutsche Bank. Saham bank-bank besar Eropa tersebut turun hingga 10 persen lebih.
Untuk meredakan kepanikan nasabah, Bank Sentral Swiss (BSS) pun turun tangan. BSS menyuntikkan modal sampai 54 milyar dolar AS. Credit Suisse pun terselamatkan. Credit Suisse ini, menurut otoritas keuangan Eropa, tidak boleh bangkrut. Ini karena Credit Suisse adalah salah satu dari 30 bank besar dunia yang “too big to fail”. Maksudnya, jika ia bangkrut maka akan menimbulkan efek domino yang amat luas.
Sebuah studi di lembaga keuangan Amerika memprediksi sebanyak 186 bank di AS beresiko koleps seperti dialami Silicon Valley Bank (SVB), meski hanya setengah dari deposan mereka yang memutuskan untuk menarik dana. Menurut studi tersebut, adalah prediksi ini akan menjadi realitas karena kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) untuk meredam inflasi. Akibatnya nilai aset bank — seperti obligasi pemerintah dan sekuritas yang didukung hipotek — terkikis habis. Jadi sebetulnya faktor utama kebangkrutan kedua bank besar di AS ini awalnya adalah kenaikan suku bunga agresif dari The FED untuk meredam inflasi. Dari sana, lalu merambat ke hal-hal lain yang terkait manajemen aset perbankan tersebut.
Mencermati krisis perbankan di Amerika dan Eropa di atas, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati dengan kegentingan ekonomi global setelah kebangkrutan SVB dan Signature Bank. Jokowi mengatakan bahwa kebangkrutan bank yang banyak mendanai perusahaan rintisan itu harus menjadi perhatian perbankan nasional.
“Semua negara sekarang menunggu efek domino akan ke mana,” kata Presiden Jokowi. Solusinya, lanjut Jokowi, Indonesia harus sebisa mungkin mengurangi ketergantungan dari pihak asing, baik dari aspek finansial, industrial, maupun komersial. Salah satu caranya, tegas Jokowi, jika suatu produk manufaktur atau industri sudah bisa diproduksi di dalam negeri, jangan sekali-kali impor untuk produk yang sama atau serupa. Ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan nasional. Jika tidak, negeri kita akan mudah terseret gejolak finansial dan perbankan di luar negeri.
Sejauh ini, kalangan perbankan Indonesia menganggap kasus SVB, Signature Bank , dan Credit Suisse tak akan berpengaruh besar terhadap perbankan Indonesia. Menkeu RI (2013-2014) dan dosen ekonomi UI Dr. Muhammad Chatib Basri menyatakan, kebangkrutan SVB dan Signature Bank di AS pengaruhnya kecil terhadap perbankan Indonesia. Kinerja dan performance perbankan Indonesia, ujar Chatib Basri, jauh lebih baik ketimbang kedua bank yang gagal tersebut, baik dalam pengelolaan aset maupun permodalan.
Tapi jangan lupa, ini kasus keuangan yang sangat sensitif secara individual. Terutama di kalangan orang super kaya. Terbukti, kasus SVB dan Signatur Bank segera berimbas pada Credit Suisse, lalu BNP Paribas dan Societe Generale (Prancis); terus Commerzbank dan Deutsche Bank (Jerman). Masih puluhan bank lainnya yang terimbas kasus SVB dan Signature di Eropa dan Amerika.
Apa arti semua itu? Kebangkrutan perbankan — apalagi bank besar — berefek domino. Dan efek domino tersebut — pinjam pakar ekonomi Prof. Rhenald Kasali — bersifat butterfly effect. Efek kupu-kupu ini menggambarkan besarnya kekuatan trust recession. Artinya, meski suatu perbankan di negara tertentu tak ada kaitannya dengan kebangkrutan SVB, tapi karena faktor psikologis (akibat trust recession) demikian kuat terhadap nasabah perbankan di dunia — maka bukan tidak mungkin akan terjadi “rush money” di negara-negara lain yang tak terkait. Seperti di Indonesia. Apalagi di era digital, di mana informasi beredar sangat cepat dan masif.
Mengingat hal-hal semacam itulah, apa yang dikhawatirkan Presiden Joko Widodo di atas — akan terjadi efek domino kebangkrutan SVB dan Signature Bank di perbankan nasional — perlu kita waspadai. Memang secara ril dan rasional, kemungkinan efek domino tersebut kecil. Tapi secara psikologis — butterfly effect — bisa saja terjadi. Untuk mengantisipasinya, dunia perbankan Indonesia harus siap mengatasi gejolak tersebut. Lalu Bank Indonesia sebaiknya siap siaga mengantisipasi efek domino (yang mungkin saja), akan muncul.
Penulis adalah Anggota DPR RI