Perkawinan dalam Budaya Bugis (IPASIALA)

0
3362
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

DALAM tradisi budaya masyarakat Bugis dan Makassar perikatan Pernikahan / Perkawinan termasuk bagian yang disakralkan untuk penyatuan keturunan dan kekerabatan.

Bentuk Perkawinan itu memiliki tahapan : PeLamaran, Pernikahan/ ijab kabul dan Resepsi/ walima. Selain itu dikenal pula adanya upacara Mappacci / Paccing (simbol pensucian) dilakukan sebelum Pernikahan / ijab qabul pada malam hari atau siang hari.

Tradisi ini juga dikenal dengan Widodaremi di komunitas Jawa, Nguleg Sereh di komunitas Sunda dan Malam Bainei di komunitas Minangkabau.
Acara itu dirangkaikan dengan upacara selamatan, Barasanji (Maulid Nabi) dan penamatan / Khatam Quran (Mappanre Temme).

Proses Lamaran dari pihak lelaki diantar oleh keluarga datang ke rumah perempuan untuk menyampaikan Lamaran/ Peminangan dengan membawa (Erang-erang) yang biasanya terdiri dari aneka kue-kue khas pilihan.
Salah seorang sebagai wakil keluarga lelaki menyampaikan sambutan maksud kedatangan memperkenalkan anggota keluarga yang datang melamar.

- Advertisement -

Demikian pula dibalas dengan sambutan jawaban dari wakil keluarga dari perempuan yang memperkenalkan anggota keluarganya dalam ungkapan Bugis / Makassar penyampaian Lamaran ini dengan bahasa sastra pantun yang bermakna simbolik antara lain Poleka Mabela Inininawa Madeceng Kusappa (Saya datang dari jauh mencari ketenangan hidup).

Kemudian disambut oleh pihak keluarga dari perempuan dengan ungkapan : Enreki Mai Bolae Tejjali Tettappere Banna Masemase (Naik dan masuklah kerumah yang tanpa alas tikar dengan hati terbuka dan bahagia menyambut kedatangannya).

Kurang lebih seperti itu ungkapannya lalu kemudian diteruskan dengan pengikatan cincin kawin ke perempuan sebagai tanda tali kasih yang nanti akan diteruskan ke upacara Pernikahan / Ijab Qabul.

Dengan perkenalan itu sebagai bentuk terciptanya Kelembagaan Keluarga kedua belah pihak yang kemudian diteruskan dengan ramah tamah perjamuan.

Di lain waktu, diadakan proses pembicaraan yang bersifat teknis mengenai waktu dan tempat Pernikahan dan Resepsi. Juga dibicarakan tentang Uang Belanja (Doi Panai) untuk persiapan pesta Pernikahan serta perangkat perangkat lainnya. Tak kurang perlu juga dibicarakan mengenai prosedur administrasi di KUA setempat untuk melaksanakan Pernikahan.

Tentang mahar tidak dibicarakan terbuka, cukup hanya untuk keluarga inti terdekat kedua belah pihak yang nantidiumumkan / disampaikan pada saat ijab Qabul dihadapan penghulu sebagaimana lazimnya.

Strata Sosial

PERKAWINAN biasa orang Bugis dilakukan dengan bahasa Bugis “Ipasialah”. Artinya Laki-laki dan Perempaun saling mengambil (memiliki). Tidak ada unsur dominasi dari salah satu pihak, dua-duanya adalah “given” yang memiliki kesederajatan dan kesetaraan dalam pengertian masing-masing memiliki peran sosial keluarga (urusan domistik) dan peran publik kemasyarakatan.

Perkawinan di tanah Bugis itu sama halnya dengan Perkawinan di daerah-daerah adat lainnya yang masing-masing memiliki panduan dan rujukan yang sangat diperhatkan antara lain dikomunitas Jawa memperhatikan tentang garis keturunan dari Bobot, Bibit dan Bebet.

Lebih lanjut dalam Lontara strata sosial masyarakat Bugis Makassar dilihat dari Gen keturunan posisinya teridiri dari :
Arung / Anak Karung (Turunan Bangsawan) Topantrita, Cendikiawan Keagamaan, Toacca, Cendikiawan / Intelektual pada umumnya, Tosugi, orang yang berharta dan berjiwa sosial dapat mengatur kesejahteraan rakyat.

Towarani, Pemberani yang senantiasa siap siaga tampil membela rakyat dalam situasi kacau / peperangan. Tosulesana, orang yang memiliki kearifan dan jabatan di pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.

Tobiasa, dikategorikan sebagai Ata / hamba sahaya, orang yang mengabdikan diri pada raja karna kalah perang atau orang orang yang terhukum atas pelanggaran adat.

Kasta ini sekarang sudah terhapus dan tidak dikenal lagi di masyarakat sejak Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada tiga bentuk jenis Perjodohan di tanah Bugis sebagai berikut :Assialang Marola (Perjodohan Wajar) Pernikahan yang dilakukan antara sepupu sekali.

Assialang Memeng (Perjodohan yang semustinya), Pernikahan antara sepupu dua kali. Ripaddepe Mabelae (Mendekatkan yang jauh) Pernikahan antara sepupu tiga kali.

Bagaimana bila Orang Biasa yang bukan keturunan bangsawan akan menikahi perempuan bangsawan ? Dalam adat Perkawinan Bugis tidak mengenal adanya perbedaan strata sosial atau keturunan. Semua manusia sama dan sederajat di hadapan Sang Pencipta Allah SWT yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya.

Mereka orang biasa itu dapat melakukan pernikahan dengan perempuan bangsawan dengan ketentuan persyaratan adat yang disebut “Mengelli Darah” artinya membeli darah yang diwujudkan dengan membayar mahar yang sepadan dan layak, dikutip dari buku Prof. Dr. Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis penerbit pro de leader Juni 2016.

Berkaitan dengan Pernikahan mengeli darah tersebut ditemukan pada Perkawinan putra A. Baramuli SH tokoh masyarakat putranya saudara Emir mempersunting Bau Nora putri Datu Lolo Kuneng Bau Massere beberapa tahun silam di Jakarta.

Dapat juga kita sebutkan pada sebuah Perkawinan adat Bugis yang tergolong akbar sepanjang generasi antara Andi Suryaman A. Musari Fide dengan Andi Wao Faisal di kawasan Rumah Adat Sumaryo Batu Batu Kabupaten Soppeng tahun 1980 an.

Selamat Tahun Baru 2021
Beranda Inspirasi Ciliwung, 31 Desember 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here