“Saya tak pernah takut kematian fisik.Yang saya takutkan hanya kematian sejarah.”
PINISI.co.id- Tak sedikit hikmah dan pelajaran berharga dari momentum satu abad mengenang Mayjen TNI (Pur) H. Andi Mattalatta, 1920-2020.
Andi Mattalatta laksana sumur dalam yang airnya tak pernah kering. Ia adalah sumur inspirasi.
Dia juga cermin sejarah yang setia memantulkan keindahan cahaya teladan pengabdian dari sosok pejuang sejati tanpa pamrih. Di balik kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, segudang prestasi telah ditorehkan. Buah manis dari pikiran dan tindakan terbaiknya untuk daerah dan negerinya.
Menariknya, manusia pejuang tangguh ini tak pernah gentar. Meski dalam keadaan genting mencekam karena kecamuk perang, ia selalu tampil gagah berani dan terdepan di banyak medan tempur. Lincah bergerak mengecoh musuh. Mengusai ilmu bela diri tingkat tinggi. Jago tembak dan matang dalam taktik perang gerilya.
Tak hanya menyandang status komandan tentara yang merintis lahirnya Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi, tapi juga berperan penting dan aktif dalam barisan pejuang kemerdekaan RI di Pulau Jawa.
Tuhan menakdirkan sekaligus mengaruniainya kemampuan dan bakat berlebih sebagai manusia multitalenta sehingga dijuluki atlet serbabisa. Menguasai ilmu bela diri: silat, kuntao, jujitsu, karate, dan tinju sekaligus. Mahir atraksi berkuda dan menembak. Terlatih dalam cabang atletik: lari, lompat indah, senam, dan renang. Gemar olahraga dirgantara. Terbang layang dan layang gantung. Meraih sederet prestasi olahraga perairan: ski air, jumping boat, dan jet ski.
Bapak pencetus lahirnya olahraga ski air di Indonesia ini tercatat sebagai orang Asia pertama dan satu-satunya yang masuk “Hall of Fame” dari International Waterski & Wakeboard Federation (IWWF) pada 2013.
Teladan Inspirasi
Andi Mattalatta adalah bangsawan. Yang berjuang untuk rakyat yang terjajah. Dia anak Raja Bugis yang rendah hati dan merakyat. Lahir 1 September 1920, di Jampue-Barru Sulawesi Selatan. Wafat pada 26 Oktober 2004 di Makassar. Ayahnya bernama Pawiseang Daeng Ngerang Arung Mangempang Petta Pandegara, Raja Barru XVII merangkap Komandan Pasukan Kerajaan Barru. Ibunya, Majjajareng Daeng Kanang Petta Indo Datu Salonro, adalah putri dari Padduppa Datu Salonro Arung Ujung, Soppeng.
Andi Mattalatta pernah ditempa dan mengenyam pendidikan modern di sekolah Belanda. Dari tingkat dasar di Openbaar Schakel School, lalu ke tingkat lanjutan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Juga aktif dalam klub bergengsi olahraga atletik dan senam Belanda, Sport Staal Spieren (SSS). Meski pernah menimba ilmu di sekolah Belanda seperti lazimnya anak-anak bangsawan tempo dulu, tapi pelajaran-pelajaran itu menempanya kelak balik melawan pengajar dan penjajah yang menindas bangsanya.
Ia tak rela melihat derita rakyat di negerinya direndahkan sebagai kaum inlander. Jiwanya sering berontak terhadap segala sikap diskriminatif dan penindasan oleh pasukan KNIL Belanda. Saat waktunya tiba, Mattalatta menjadi komandan pejuang Sulawesi Selatan yang paling dicari Belanda. Dia selalu bikin para meneer Belanda beserta pasukannya susah tidur.
Andi Mattalatta dikenal gagah berani pada era revolusi kemerdekaan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sahabatnya itu mengagumi sederet aksinya. Sultan Jogya itu sering mengajak bercurah pikir dan meminta pendapatnya di masa perjuangan. Panglima Besar Jenderal Soedirman juga mengakui ke tangguhannya. Dan dari tangan Panglima Soedirmanlah, dia menerima mandat untuk membentuk tentara Indonesia di Sulawesi.
Sebelum menerima mandat Panglima Soedirman, Andi Mattalatta satu-satunya pemuda pejuang yang berani menggebrak meja Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan Yogyakarta, 26 Januari 1946. Turut mendampingi Andi Mattalatta dalam rombongan pembawa petisi raja-raja Sulsel itu H. Baba, Saleh Lahade, Muhammad Amin, La Nakka dan Lanca.
Peristiwa gebrak meja secara spontan dan tanpa sadar dilakukan Andi Mattalatta. Saat Presiden Soekarno bertanya soal keseriusan para raja-raja dan pemuda Sulawesi Selatan, yang menyatakan diri siap merdeka dan mau bergabung dalam negara Republik Indonesia.
“Apakah raja-raja, pemuda dan rakyat Sulawesi Selatan sudah matang untuk merdeka?” Tanya presiden.
“Kami tidak akan berada di sini, kalau belum siap untuk merdeka!” Jawab Andi Mattalatta bersemangat, sambil tak sadarkan diri menggebrak meja di depan presiden.
“Saya senang melihat keberanianmu. Saya teringat waktu datang ke Makassar, pada bulan Mei 1945. Dalam pidato itu, saya mengajak seluruh masyarakat dan pemuda Sulawesi Selatan, untuk bersatu merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu saya kembali ‘menantang’ para pemuda: Saya tidak perlukan satu juta pemuda. Saya tidak perlukan seribu pemuda. Saya hanya perlukan seratus pemuda yang berjiwa banteng, dan saya akan berikan bangsa Indonesia kehidupan yang layak.
Apa kamu ingat peristiwa itu?” Tanya Soekarno. “Saya ingat Bapak Presiden.” jawab Andi Mattalatta. “Dari 100 pemuda yang saya perlukan itu, salah satunya adalah kamu.
Sekarang, saya perintahkan kamu menghadap Panglima Soedirman, untuk menerima petunjuk dan pengarahan.” Demikian perintah sang presiden mengakhiri pertemuan. Andi Mattalatta dan rombongan pun pamit meninggalakan istana. Selanjutnya dia mempersiapkan diri menghadap Pangliima Soedirman.
Segala perintah dan penugasan pentingnya, tercatat dalam buku memoar setebal 644 halaman berjudul Meniti Siri’ dan Harga Diri. Memoar itu ditulis sendiri oleh Mattalatta di usia 80 tahun. Dia menuliskan kisah sejarah semasa hidupnya dengan baik.
Mattalatta juga menyingkap cerita teman-teman seperjuangannya. Termasuk kisah seorang pemuda dari tanah Bugis bernama Andi Mo’mang (Jenderal M. Jusuf). Dari Sulawesi dia berlayar dengan perahu Pinisi dan berlabuh di Pelabuhan Tegal lalu ke Jogya. Tiba di Kota Gudeg itu, pada 11 April 1946. Tujuannya, mencari barang dagangan apa saja di pulau Jawa, untuk dijual ke Singapura dan Filipina. Saleh Lahade, sahabat Andi Mattalatta menawarkan 60 Ton gula pasir kepada Andi Mo’mang untuk diangkut ke Singapura. Syaratnya, hasil penjualan gula itu dibagi dua. Dan Saleh meminta semua jatahnya dibelikan senjata, untuk perjuangan di Sulawesi. Andi Mo’mang setuju. 600 karung gula pasir diangkut perahu Pinisi ke Singapura, dan berhasil terjual.
Pada 25 April 1946, Andi Mo’mang tiba kembali d Jogya. Saleh Lahade menagih hasil dalam bentuk senjata api. Andi Mo’mang gagal. “Semua perahu digeledah pasukan Inggris. Tidak ada yang bisa lolos. Kalau di atas perahu saya kedapatan bawa senjata api, pasti saya ditembak mati. Pak Saleh tentu tidak ingin saya mati? Ini saya beli tekstil sebagai pengganti senjata.” bela Andi Mo’mang. Saleh paham dan bisa terima pembelaan Andi Mo’mang. “Lebih baik saya bawa kain tekstil ini ke Sulawesi untuk dijual. Hasilnya kita beli senjata bekas pasukan sekutu yang akan berganti tugas. Mereka biasanya menjual senjatanya dengan harga murah. Senjata itu bisa langsung disalurkan kepada pasukan kita,” kata Andi Mo’mang. Saleh Lahade pun setuju!
Berangkatlah Andi Mo’mang. Berlayar kembali Sulawesi. Selamat berlabuh di Bone. Baru saja merapat di Maret-Bone datang polisi dari pengadilan, mau menangkapnya atas perintah hadat tinggi yang dijabat oleh kakak kandung Andi Mo’mang. Sang kakak bersiasat menangkapnya lebih awal sebagai tindakan penyelamatan, sebelum tentara Belanda membunuhnya, karena ketahuan dari tanah Jawa membantu para pemuda dan tentara pejuang kemerdekaan RI. Andi Mo’mang tak mau menyerahkan diri. Tidak terima tindakan kakaknya. Dia lari kembali ke Jawa.
Tiba di Jogya. Dia meminta kepada Andi Mattalatta untuk diterima menjadi ‘tentara resmi’ yang berpangkat di pundak. Rencana, setelah itu mau kembali ke Sulawesi berjuang sekaligus “melampiaskan amarahnya” kepada kakanya. Tapi Andi Mattalatta menolaknya. “Tujuan revolusi itu bukan untuk mengumbar amarah, apalagi dengan kakak sendiri.” kata Andi Mattalatta.
Ditolak jadi tentara oleh Andi Mattalatta, Andi Mo’mang menemui Kahar Muzakkar. Dia meminta bantuan Kahar untuk meyakinkan Andi Mattalatta. Kahar paham perasaan dan jiwa Andi Mo’mang. lalu mendatangi Andi Mattalatta. Berdua mereka ‘menggarap’ dan membujuk Andi Mattalatta. Akhirnya hati Andi Mattalatta luruh, mau menjadikan Andi Mo’mang ‘tentara resmi’. Dan di pundaknya disematkan pangkat kapten.
Setelah itu, dia dipersiapkan berangkat ke Sulawesi bersama anggota pasukan ekpedisi lainnya, yang akan berlayar dari Probolinggo pada 2 Mei 1946. Di tengah pelayaran, Kapten Andi Mo’mang dan rombongan terkepung patroli pantai Belanda. Disuruh menyerah. Mereka lalu dibawa ke penjara Kalisosok di Surabaya, sebagai tawanan perang. Selama dua tahun Kapten Andi Mo’mang dan satu peleton anggotanya meringkuk di Kalisosok.
Hanya ada satu cara menyelematkan kembali Andi Mo’mang dan pasukannya ini, melalui ‘tukar tawanan’ perang. Setelah lama mencari, Andi Mattallatta meminta Lettu TNI Bahar Mattaliu membujuk pasukan Gurkha. Bahar Mattaliu berhasil mempengaruhi satu peleton pasukan Gurkha untuk jadi tawanan pengganti. Dulu, pasukan ini datang menyerah dan bergabung dalam Kompi Bahar Mattaliu. Peleton Gurkha sangat patuh dan disiplin. Kapten Andi Mo’mang dan peletonnya pun berhasil dibebaskan.
Setelah dikeluarkan dari Kalisosok, Andi Mo’mang ini seperti kehilangan semangat hidup. Kurang bergairah. Kahar Muzakkar lalu mengusulkan kepada saya, untuk menikahkan Andi Mo’mang. “Kita kawinkan saja dia dengan salah seorang putri terbaik di Jogya ini, namanya Maisaroh. Putri Ibu Hilal, penasihat Bapak Presiden Soekarno. Saya kenal baik Ibu Hilal. Beliau sangat menghormati orang Sulsel, terutama golongan bangsawan tinggi seperti Andi Mo’mang. Saya yakin, kalau kita datang meminang putrinya, pasti diterima.” urai Kahar.
Andi Mattalatta setuju. Ibu Hilal pun merestui. Sebelum hari peminangan dan pesta pernikahan yang sukses itu, selama delapan hari Andi Mattalatta sibuk berkeliling dengan mengendarai mobil dari Markas Besar Tentara (MBT), untuk mencari dan meminjam pakain adat Bugis-Makassar. 40 set pakaian adat Bugis-Makassar milik orang-orang Bugis-Makasar yang ada di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Tuban, Blitar, Kediri, Madiun, dan Surakarta berhasil dikumpulkan. Setelah menikah, Kapten Andi Mo’mang selalu mengantar mertuanya sebagai penasehat presiden ke Istana Jogya. Kapten Andi Mo’mang pun dianggap sebagai anak Bung Karno.
Andi Mo’mang adalah adik kandung Petta Gappa, anggota Adat Tinggi Sulawesi Selatan. Andi Mo’mang adalah nama lain dari seorang tokoh petinggi tentara. Bahkan pernah menjabat panglima TNI di era Presiden Soeharto. Namanya kemudian berganti dan lebih populer disapa Jenderal M. Jusuf.
Menyelematkan Bu Nas
Suatu hari, 16 Januari 1949, Andi Mattalatta mendapat berita bahwa anak buah Kapten Alief, Komandan Wehrkreise Klaten, menangkap seorang wanita Belanda bersama seorang lelaki Belanda. Mereka sudah mau dibunuh dengan tuduhan mata-mata, tetapi sewaktu mereka diinterogasi, perempuan itu mengaku isteri Kolonel TNI AH Nasution, Panglima MBKD. Sementara si lelaki mengaku ipar dari AH Nasution.
Setelah mendengarkan laporan itu, Andi Mattalatta segera menulis nota kapada Kapten Alief, supaya tawanan yang mengaku isteri Kolonel Nasution bersama seorang lelaki yang mengaku ipar Nasution itu agar dibebaskan atas tanggungan Andi Mattalatta. Dia menandatangani nota itu sebagai Komandan Resimen Hasanuddin. Letda TNI Anwar Bey ditugaskan mengantar nota tersebut. Anwar Bey diharuskan menyaksikan tawanan itu betul-betul dibebaskan. “Jika Kapten TNI Alief tidak menaati isi nota Andi Mattalatta, maka Andi Mattalatta akan datang membebaskan tawanan sekaligus menghancurkan pasukan Alief yang berasal dari Kelasykaran Hisbullah,” kata Andi Mattalatta. Akhirnya, pukul 21.00, Letda Anwar Bey datang melapor: Nyonya Nasution bersama adiknya sudah dibebaskan.
Ada salah satu penggalan cerita menarik yang ditulisnya. Kisah haru penarik becak dari Matasiri. Pada awal Juli 1947, Andi Mattalatta kembali berlayar, menyisir laut menuju Pulau Jawa untuk melanjutkan tugas memimpin Resimen Hasanuddin. Kala itu cuaca buruk, anging kencang menerpa. Dia terombang-ambing di lautan tanpa makan dan minum selama tiga hari. Setelah diselamatkan nelayan, Andi Mattalatta dan tiga anggotanya tertangkap pasukan NICA, tentara militer Belanda, lalu ditahan di Surabaya.
Dalam penyamaran panjangnya membebaskan diri, Andi Mattalatta menjadi kuli panggul di pelabuhan. Juga menjadi tukang becak di Surabaya untuk mengelabui musuh. Waktu itu Andi Mattalatta berusia 27 tahun, tapi sudah mengemban jabatan perwira di pundak. Status perwira tak membuatnya gengsi melakukan apa saja. Sayang kisah ini serba ringkas diceritakan, nyaris terputus saat Andi Mattalatta bertemu gadis cantik nan cerdas peranakan Indo-Belanda bernama Roosmini Amalia Van Doodenaarden Suryalegawa. Gadis pejuang ini, berperan sebagai ‘mata-mata’ pendamping Andi Mattalatta untuk menembus kota Jogya dari Surabaya. Akhirnya, setelah melewati banyaknya pos-pos dengan penjagaan ketat, Rosmini berhasil mendampingi Andi Mattalatta memasuki Kota Jogya sebelum bertemu Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Begitu panjang dan berkelok jalan perjuangan Andi Mattalatta, dalam melawan penjajah dan membasmi pemberontak, termasuk sejumlah pemberontakan di Indonesia Timur. Nama Andi Mattalatta disegani para tantara pejuang kemerdekaan seantero Nusantara, karena pemberani, merakyat, dan mencintai pasukannya melebihi cintanya pada diri sendiri. Semua itu dia lakukan demi kemerdekaan dan keutuhan bangsanya.
Andi Mattalatta tantara pejuang dan pecinta olahraga. Dialah pemrakarsa penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV di Makassar pada 1957. Tujuan Andi Mattalatta menggelar PON di Makassar, selain cinta olahraga, karena ingin menjalankan taktik uitholling (penggalian). Uitholling adalah taktik untuk menarik kembali para gerilyawan yang masuk ke hutan bersama Kahar Muzakkar ketika itu. Taktik ini diperkenalkan Kolonel Gatot Subroto pada 1952. Dengan uitholling, pemuda-pemuda yang masuk ke hutan mengangkat senjata untuk memberontak, terpanggil kembali ke jalan yang benar melalui olahraga.
Amal baktinya yang paling nyata dan sangat dirasakan faedahnya adalah membangun Stadion Mattoanging. Stadion kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Pembangunan stadion dan fasilitas nya pun dikebut, untuk perhelatan PON IV di Makassar.
[ Zulfikar ]
Silakan saksikan, tonton, baca, dan simak buku-buku dilengkapi koleksi foto dan aneka film rekam jejak, karya, dan prestasi: Sang Pejuang Sejati & Atlet Serbabisa! Disajikan khusus dan unduh gratis di kanal: andimattalatta.id