PINISI.co.id- Setiap 2 November PSM Makassar memperingati ulang tahunnya. Tahun 2020 ini pasukan Juku Eja sudah berumur 105 tahun — kesebelasan yang tertua di Tanah Air.
Klub sepak bola PSM berdiri sejak 1915, dan embrionya berasal dari Makassar Voetbal Bond (MVB).
Sejak dulu, tak terhitung pemain PSM direkrut sebagai bintang nasional mulai Ramang, Jhon Simon, Bertje, Hary Tjong, Suaib Rizal, Ronny Pattinasarany, Abdi Tunggal hingga Alimuddin Usman.
Salah satu pesebakbola PSM yang melegenda adalah Suwardi Arland.
Suwardi pernah sangat dominan dalam era Perserikatan, hingga akhir 1950-an. Masa itu PSM tampil aktraktif dengan trio mautnya, Suwardi, Ramang dan Nursalam.
Pencapaian terbaik klub kebanggaan Kota Daeng tatkala meraih trofi juara dua musim beruntun, 1955-1957 dan 1957-1959. PSM malah nyaris mencetak hattrick pada musim berikutnya. Tapi, ambisi itu digagalkan Persib Bandung, seteru abadi mereka saat itu.
Pada periode tersebut, Ramang memang selalu menjadi pusat perhatian publik karena raihan golnya. Tapi, sejatinya, ketajaman Ramang tak bisa dilepaskan oleh peran penting Suwardi. Suwardi yang memiliki teknik tinggi melewati dua sampai tiga pemain lawan sebelum melepaskan umpan terukur ke Nursalam dan Ramang. Boleh dikata, 90 persen gol Ramang berasal dari asis Suwardi.
Tampilan terbaik Suwardi saat menghadapi Persib pada musim 1957-1959 di Lapangan Ikada – Monas sekarang. Kala itu, PSM bertengger di puncak klasemen sementara 7 besar dengan koleksi 10 poin atau unggul dua poin dari Persib.
Persib yang di atas kertas masih berpeluang juara mengejutkan PSM pada dua menit awal pertandingan lewat gol Omo Suratmo. Tapi, empat menit kemudian, PSM membalas lewat gol Ramang.
Pada pengujung babak pertama, menit ke-42, Suwardi jadi pahlawan kemenangan Juku Eja lewat aksi solo runnya sebelum menjebol gawang Persib. Gol itu pun jadi penentu kemenangan PSM untuk meraih trofi juara secara beruntun. Suwardi pun meraih penghargaan sebagai pencetak gol terbanyak dengan 11 gol.
Tak ayal lagi, Suwardi yang lahir di Bone tahun 1936, kesohor sebagai playmaker kawakan era keemasan PSM dan PSSI tahun 50-60-an. Di PSM, Suwardi bersama Ramang dan Nursalam paling ditakuti di Tanah Air dan sering tampil memukau di turnamen Asia.
Pernah pada satu pertandingan, Suwardi dan Nursalam sepakat tak ingin memberikan bola ke Ramang. Sebelumnya, keduanya mendengar Ramang kerap mendapat hadiah stelah mencetak gol, tapi rekannya itu tak pernah berbagi.
Ramang yang merasa ada yang aneh pada Suwardi dan Nursalam pun sadar. Ia pun membisiki Nursalam yang kemudian menyampaikannya ke Suwardi.
“Nursalam bilang ke saya, tadi Ramang berpesan, sinampe pi ku bagei (sebentar saya bagi), saya kembali tampil normal dan Ramang pun mencetak gol dan memenuhi janjinya,” ucap Suwardi.
Namun, Suwardi tidak terlalu lama bercokol di PSM dan PSSI lantaran tempurung lututnya cedera akut sehingga ia ingin berhenti total mengolah si kulit bundar. Tapi karena masih dibutuhkan, ia dipanggil lagi untuk menyokong PSM. Alhasil, PSM menjuarai PON pada 1961 minus Ramang dan Nursalam.
Setelah itu ia gantung sepatu. Suwardi lalu melanjutkan karier sebagai pelatih PSM, paruh 1960-an. Sebagai pelatih, ia meraih trofi juara Piala Jusuf 1965 dan Perserikatan 1965-1966. Waktu itu, Ramang masih bermain.
Ia juga memunculkan Ronny Pattisarani dan Gaffar Hamzah yang kala itu masih berusia belasan tahun tapi sudah membela PSM Senior pada 1968. Dua pemain binaannya itu pun masuk dalam skuat PSSI Junior. Ia sukses meremajakan pemain PSM sehingga melahirkan bibit-bibit muda dan kelak sebagai pemain andalan PSM bahkan PSSI.
Hijrah ke Jakarta, membuat sekitar 30 pemain PSM kocar kacir dan berpindah main di sejumlah perserikatan lainnya di daerah.
Dalam melatih, selain pengetahuan dan pengalamannya sebagai pemain, Suwardi mengaku kerap menggunankan instingnya saat melihat potensi pemain.
Suwardi terbilang mumpuni sebagai pelatih. Ia tercatat dua periode jadi pelatih Timnas Indonesia, yakni 1972-1974 dan 1976-1978. Saat itu PSSI dipimpin oleh Ali Sadikin yang juga Gubernur DKI Jakarta.
Pun tim nasional yang diasuh Suwardi diakui sebagai salah satu skuat disegani di Asia.
Suwardi sempat melatih tim Galamata, yakni Jakarta Putra, Angkasa, Tunas Jaya, Jayakarta dan Indonesia Muda secara bergantian. Prestasi semua tim ini lumayan bagus.
Pensiun dari sepak bola, Suwardi bekerja sebagai komentator bola di stasiun TV. Apa boleh buat, ia kecewa karena mengaku tidak mendapatkan penghargaan setimpal dari apa yang telah ia sumbangkan pada kemajuan sepakbola Indonesia. Dalam beberapa lama ia sampai emoh menonton bola. Ia merasa getir dan gundah akan nasib sepak bola Indonesia ke depannya.
Tak dimungkiri, banyak atlet nasional yang mengukir reputasi internasional, namun tidak memperoleh kelayakan di hari tuanya. Seperti diri Suwardi.
Dalam acara-acara yang dihelat KKSS era Beddu Amang, Suwardi bersama pemain PSM lainnya yaitu Sanca Bachtiar dan Rusdi Akib kerap tampil menghadiri acara seraya bernostalgia tentang masa keemasan sepak bola. Kebetulan ketiganya adalah penasehat BPP KKSS.
Pada 24 Agustus 2005, Suwardi mengembuskan nafas terakhir karena penyakit hipertensi. Ia meninggalkan istri Wasimah Salman Sapo (77) dua anak berikut tiga cucu. (Alif)
(Sumber Alif we Onggang, Tentang Sejumlah Orang Sulawesi Selatan, 1998 dan Bola.com)