14 Hektare Hutan Adat Dibabat, Pembalak Justru Gugat Amma Toa Kajang di Pengadilan

0
194
- Advertisement -

PINISI.co.id- Ketua Umum DPP Kerukunan Masyarakat Bulukumba (KM- Bulukumba), Jumrana Salikki, turun langsung ke kawasan tanah adat Amma Toa Kajang di Dusun Bantalan, Desa Pattiroang, Kecamatan Kajang, Bulukumba. Kunjungan tersebut dilakukan setelah diketahui sebagian kawasan hutan adat dibabat secara brutal oleh oknum warga.

Hutan yang selama ratusan tahun terjaga dan dikenal gelap oleh rimbunnya pepohonan kini berubah terang benderang. Sedikitnya 14 hektare kawasan hutan adat dilaporkan telah ditebang dan bahkan dipagari. Padahal, hutan yang dikeramatkan ini memiliki pohon-pohon besar, sebagian berdiameter hingga tiga pelukan orang dewasa.

Secara turun-temurun, Kawasan Adat Amma Toa dikenal sebagai penjaga keseimbangan alam terbaik, bahkan disebut sebagai “Possi Tanah” atau pusar bumi—jantung paru-paru kehidupan. Dalam hukum adat Kajang, satu pohon diibaratkan satu tubuh manusia. Tidak satu pun pohon boleh ditebang tanpa izin Amma Toa, pemimpin adat tertinggi, dan setiap pohon yang ditebang wajib diganti dengan penanaman baru.

Hutan adat Suku Kajang yang dibabat oleh pembalak namun justru masyarakat adatnya yang digugat.

Prinsip adat ini telah dijaga ratusan tahun dan dipatuhi seluruh masyarakat adat. Pelanggaran terhadapnya dikenai sanksi adat yang tegas namun manusiawi, termasuk mekanisme pemulihan melalui ritual Ammole Passau bagi pelanggar yang bertobat.

Dalam peninjauan lapangan, Jumrana didampingi Ketua DPW KM-Bulukumba Kalimantan Barat Mustafa Saad, Bendahara Mirzalena, serta putra-putri Amma Toa, di antaranya Ramlah dan Nurhaedah. Mereka menyusuri kawasan hutan adat yang telah rusak.

Kegeraman Jumrana memuncak ketika diketahui para pelaku pembalakan—delapan orang bersaudara berinisial Mappi dan Ambo, justru menggugat Amma Toa secara personal di Pengadilan Negeri Bulukumba. Gugatan ini menjadi preseden buruk, bahkan disebut sebagai yang pertama dalam sejarah, di mana seorang Amma Toa digugat secara hukum negara.

“Ini sungguh ironis. Pelaku yang seharusnya dihukum berat secara adat justru menjadi penggugat, sementara pemimpin adat yang menjaga hutan ratusan tahun diseret ke pengadilan,” tegas Jumrana.

Lebih mengejutkan, perkara ini telah bergulir sejak Mei 2025 namun nyaris tanpa pemberitaan. Jumrana menduga ada pihak-pihak yang sengaja meredam kasus ini dengan harapan para penggugat mencabut gugatannya dan bertobat. Hingga Kamis, 18 Desember, sidang telah memasuki agenda ke-10, menguras tenaga dan batin masyarakat adat Kajang.

Menurut Jumrana, perkara ini bukan sekadar gugatan perdata, melainkan telah menyentuh siri’ atau harga diri masyarakat adat Bulukumba dan Sulawesi Selatan secara luas.

“Ini bukan hanya melawan Amma Toa, tetapi mencederai martabat masyarakat adat dan merusak tatanan kearifan lokal yang dijaga ratusan tahun,” ujarnya.

Ia menyerukan seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, untuk menjaga benteng peradaban adat dan melindungi hutan adat Amma Toa Kajang sebagai warisan dunia.

Menjelang sidang lanjutan pada 5 Januari 2025, Jumrana berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Bulukumba mempertimbangkan seluruh bukti dan menjunjung keadilan dengan menjaga marwah Amma Toa sebagai pemimpin adat tertinggi.

“Hutan lestari, adat ditegakkan,” tandasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Amma Toa, Juju, berharap putusan pengadilan berpihak pada kebenaran dan tidak menyeret Amma Toa sebagai tergugat, mengingat perannya sebagai penjaga salah satu hutan tropis terbaik di dunia.

Diketahui, Kawasan Hutan Adat Amma Toa memiliki luas 313,99 hektare dan tersebar di empat desa, yakni Pattiroang, Tana Toa, Malleleng, dan Bonto Baji.

Save Hutan Adat. Paru-Paru Dunia. Hutan Lestari. (PK)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here