Kolom Syamsul Bahri
Dalam pandangan Islam, kesulitan ekonomi adalah bagian dari ujian Allah SWT agar manusia kembali melakukan introspeksi diri (muhasabah). Ujian ini mengingatkan kita untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Allah berfirman,” Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Menguatkan Tauhid dan Ketergantungan kepada Allah
Kesulitan ekonomi mengajarkan bahwa rezeki sepenuhnya berasal dari Allah. Ini menjadi momentum untuk mengevaluasi keimanan: apakah selama ini kita terlalu bergantung pada manusia dan melupakan Allah sebagai Ar-Razzāq?
Ujian ini juga mendorong kita memperbanyak doa, zikir, dan istighfar, sebagaimana dalam QS. Nuh: 10–12, serta meningkatkan ketakwaan agar Allah memberi jalan keluar dari kesulitan (QS. At-Talaq: 2–3).
Mengevaluasi Sumber dan Pengelolaan Rezeki
Kita perlu meninjau kembali dari mana dan bagaimana harta diperoleh serta dibelanjakan: Apakah rezeki kita halal Apakah kita hidup sederhana atau justru boros dan pelit? Sudahkah kita menunaikan zakat dan sedekah dengan benar?
Kesulitan ekonomi dapat menjadi peringatan agar kita kembali pada prinsip hidup qawam — seimbang, sederhana, dan penuh tanggung jawab.
Melatih Kesabaran dan Syukur
Ujian hidup mengajarkan sabar dan syukur. Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan jika ditimpa kesusahan, ia bersabar — keduanya baik baginya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, kesulitan ekonomi bukan akhir segalanya. Ia adalah madrasah ruhaniyah — sekolah spiritual dari Allah SWT untuk melatih hati agar lebih sabar, bertawakal, dan senantiasa memperbaiki diri.