(7 Nopember 1935/ 2025)
Kolom Bambang Oeban
RENDRA …
Engkau lahir di Solo, ketika bangsa ini masih menggeliat di bawah dengkur penjajah, ketika rakyat masih menunduk di bawah derap sepatu serdadu, dan para jongos masih mengucapkan “siap tuan” dengan gemetar. Tapi di matamu, bahkan sebelum engkau bisa membaca, telah ada api yang enggan padam: api yang menolak tunduk pada kebodohan, api yang menolak jadi hiasan di taman kebohongan.
Engkau tumbuh bukan untuk menyanyi di taman istana, tapi untuk berteriak di jalan-jalan; bukan untuk menulis puisi cinta di kafe ber-AC, tapi untuk menyumpah para penguasa busuk yang mabuk kuasa.
Engkau tahu, ada yang busuk di negeri ini, bau amisnya menembus dari gedung DPR sampai ke dapur rakyat. Lalu engkau pun menulis, berteriak, bersyair, mengguncang podium seperti badai mengguncang atap-atap dusta.
“Ini negeri kaya,” katamu,
“tapi mengapa puluhan juta, rakyatnya masih sengsara?”
“Ini negeri merdeka,” katamu,
“tapi mengapa pikiran rakyatnya masih dijajah?”
Engkau bukan penyair salon, tak suka parfum kekuasaan, anti wangi kolonial yang disemprotkan ulang oleh pejabat lokal.
Engkau menolak jadi perabot pesta, lebih memilih menjadi amarah yang mengalir di lumpur rakyat. Anggur dan Rembulan? Itu cuma bait manis untuk mereka yang butuh tidur di bawah bantal sastra. Tapi engkau, RENDRA, tidak pernah tidur. Engkau selalu membangunkan kami dari mimpi-mimpi murahan: tentang demokrasi palsu, tentang pembangunan yang menindas, tentang manusia yang dikerdilkan menjadi angka statistik.
RENDRA
Engkau tidak menulis puisi untuk menenangkan hati, menulis untuk menyalakan perlawanan, tidak bicara soal cinta di taman bunga, tapi tentang kasih pada manusia yang diinjak-injak. Suaramu, seperti meriam tanpa mesiu, menggelegar di setiap panggung:
“Wahai penguasa, jangan kalian pikir rakyat ini buta!” Dan mereka pun ketakutan, bukan karena teriakanmu, tapi karena kebenaran yang kamu bawa. Engkau pernah diadili, dipenjara, dilarang, dibungkam. Tapi bagaimana membungkam burung merak yang sayapnya terbuat dari keberanian?
Engkau menari dengan kata-kata, mempermalukan kaum bedebah di depan rakyat. Mereka yang berjas rapi tapi berhati pencuri, yang bicara soal pembangunan tapi menjarah hakikat kemanusiaan. Dan engkau tertawa getir, menyaksikan negeri yang gemetar setiap kali kebenaran disiarkan.
Kini, enam belas tahun setelah engkau pergi, apakah kata-katamu masih bergema?Ataukah kami kini telah tuli, terbius oleh layar-layar kaca dan janji palsu iklan pemilu?
Kami membangun gedung tinggi,
tapi pikiran kami pendek. Kami punya jutaan ponsel pintar, tapi kebodohan massal tumbuh subur di layar. Engkau pernah berkata,
“Kesusastraan bukan hiasan di etalase universitas. dan bangku sekolah!” Tapi kini kampus jadi pabrik gelar, dan ilmu jadi barang dagangan. Engkau pernah berteriak,
“Negeri ini butuh manusia merdeka, bukan robot birokrasi!” Namun lihatlah sekarang, birokrat lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan nurani. Kami menulis puisi tentang keindahan, tapi menutup mata pada kelaparan. Kami berkhotbah tentang moral, tapi berbisnis di balik mimbar. Kami bicara soal nasionalisme, tapi menjual tanah air dengan surat resmi.
RENDRA, engkau pasti murka, melihat bangsa yang kamu cintai menjadi taman plastik: indah di brosur, busuk di akar.
KUBURAN BANGSA
Barangkali di alam sana engkau menatap kami, dengan senyum getir dan sebatang rokok imajiner di tangan. Mungkin engkau berkata:
“Wahai generasi ponsel, mengapa kalian berdebat soal gaya, tapi lupa isi?”
Engkau menulis pamflet dengan darah nurani, sementara kami menulis status dengan jari yang malas berpikir. Engkau menulis “Sajak Sebatang Lisong”,.sementara kami sibuk menulis iklan diri sendiri..Engkau hidup miskin tapi merdeka. Kami hidup makmur tapi diperbudak opini. Engkau menulis karena cinta pada rakyat. Kami menulis karena takut kehilangan pengikut. Dan jika engkau datang lagi hari ini, mungkin engkau akan kembali turun ke jalan, bukan untuk berorasi, tapi untuk menampar kesadaran kami yang tumpul. Engkau akan berkata lantang:
“Penyair tidak boleh netral! Karena di negeri yang penuh penindasan,
netral berarti berpihak pada penindas!”
Oh, betapa sunyi suara kebenaran di jaman bising ini. Kami menyebut kebohongan sebagai strategi, menyebut kemunafikan sebagai diplomasi, menyebut kerakusan sebagai visi. Bangsa ini telah kehilangan burung meraknya.
Kini panggung diisi badut politik,
yang meniru gerakmu tanpa mengerti maknanya. Mereka bersyair di podium, tapi isinya janji kosong kehilangan jiwa.
DIKUTUK LUPA
Di setiap kampung, di setiap kota, ada anak-anak lapar yang menatap televisi: melihat pejabat tersenyum di atas podium bantuan sosial, sementara ibu mereka menjual nasi untuk sesuap beras. Engkau pernah menulis,
“Pemerintah adalah wajah rakyatnya.” Jika itu benar, maka wajah kami kini adalah wajah yang letih, murung, dan kehilangan malu. Kami punya menteri yang hafal ayat,
tapi lupa makna keadilan. Kami punya pengusaha dermawan, tapi derma mereka menutup dosa. Kami punya rakyat yang rajin berdoa, tapi diam melihat korupsi di depan mata. Engkau pasti akan berkata:
“Negeri ini tidak butuh doa yang pasrah, tapi tindakan yang berani.” Karena iman tanpa keberanian adalah topeng baru bagi kemunafikan.
Dan lihatlah, RENDRA, negeri ini makin pandai bersandiwara dari senayan sampai sinetron, dari mimbar sampai medsos. Engkau pasti menertawakan kami, yang sibuk berdebat soal simbol, tapi lupa substansi. Yang mencaci kolonialisme masa lalu, tapi memeluk penjajahan gaya baru dengan bangga.
ZAMAN CACAT
Wahai para bedebah berseragam lengkap, engkau yang memeluk rakyat untuk difoto, lalu menendangnya saat kamera padam!Engkau yang mencuri dari kas negara, tapi membangun masjid untuk menebus dosa! Engkau yang bicara soal “merdeka”, tapi memperbudak rakyat dengan utang dan aturan. Engkau yang menuduh rakyat malas, padahal engkau yang menjarah hasil kerja mereka!
Wahai kaum cendekia yang menjilat kekuasaan, engkau bukan intelektual, engkau kalkulator berdasi! Engkau jual pikiranmu pada tender proyek, dan mengajarkan kami cara membenarkan kejahatan dengan teori! Dan kalian, para seniman salon, yang menulis puisi untuk tepuk tangan, bukan untuk mengguncang nurani bangsa! Kalian meniru gaya RENDRA, tapi tak punya keberanian RENDRA!
KEMBALI MERDEKA!
Tapi RENDRA, puisi ini tidak hanya ratapan. Kami belajar darimu, bahwa kritik tanpa solusi hanyalah dengki yang bersuara indah. Maka dengarkanlah, dari generasi yang tumbuh di era digital, kami berjanji untuk menyambung suaramu. Kami akan menulis puisi bukan di panggung megah, tapi di dinding-dinding sekolah, di tembok pasar, di layar gawai, di hati rakyat. Kami akan membaca ulang sejarah, bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk menyalakan masa depan.
Kami akan menolak tunduk pada algoritma, dan kembali pada nurani.
Kami akan melawan kejahatan dengan pena, dan menolak jadi budak yang pandai berkomentar tapi malas bertindak. Kami akan hidup sederhana tapi merdeka.
Kami akan menulis, berdiri, dan berteriak — bukan untuk sensasi, tapi untuk menegakkan martabat manusia. Karena bangsa ini tidak butuh lebih banyak politisi, tapi lebih banyak penyair seperti engkau — yang berani berkata tidak ketika semua orang memilih diam. Engkau, RENDRA, si burung merak, telah tiada, tapi sayapmu kini menetas dalam kata-kata kami.
Dan jika kelak sejarah menulis ulang kisah bangsa ini, biarlah namamu berdiri di sana, bukan sebagai penyair salon – anggur dan rembulan, tapi lewat kata-kata ENGKAU PEMBANTAI KAUM BEDEBAH!
AKU CINTA PADAMU, RENDRA!
Dari Timur Bekasi
Jumat, 07 Nov 2025
02.34













