Kisah Inspiratif H. Abidin Syam
“Saya hanya ingin menyakinkan kita semua, terutama anak-anakku yang tadi dilepas berangkat melanjutkan kuliah di Mesir, bahwa berkah itu ada, meski kadang kita harus menunggu datangnya”, kalimat itu meluncur dari bibirnya yang bergetar. Matanya menyiratkan haru saat mengucapkan kalimat tersebut. “Saya harus menunggu 53 tahun untuk merasakan berkah itu”, lanjutnya menambahkan.
Kalimat tersebut terucap saat acara Peletakan Batu Pertama Pembangunan Mesjid Raya Ahlussuffah Kampus 2 Putra Nurul Jihad Tonronge. H. Abidin, sang donatur utama turut hadir dan meletakkan langsung batu pertama pertanda dimulainya pembangunan masjid yang terletak di puncak bukit Tonronge. Ia hadir bersama Anregurutta H.M. Faried Wadjedy, Kepala Kanwil Kemenag Sulsel, Kepala TU Kanwil Kemenag Sulsel, Kepala Bidang PD Pontren Kemenag Sulsel, Kepala Kantor Kemenag Kab. Barru, dan sejumlah pembina pesantren.
H. Abidin Syam, demikian nama lengkapnya. Usianya sudah sepuh, tahun ini hampir memasuki delapan puluh tahun. Bila berjalan, kadang harus dipapah. Mengerjakan salat pun harus duduk di atas kursi. Tapi kondisi fisik tidak menyurutkan niatnya melakukan kebaikan, bahkan ia kian bersemangat. Hampir setiap acara di Pesantren DDI Mangkoso, baik di Kampus 1 Mangkoso, Kampus 2 Putra Tonronge, atau di Kampus 3 Putri Bululampang, ia hadir membersamai Anregurutta. Ia merasa sangat dekat dengan Anregurutta Mangkoso.
“Selepas SR di kampung halaman saya di Barru, saya sekolah di Mangkoso sekitar tahun 1958 di tingkatan ibtidaiyah. Saya masih diajar langsung oleh Anregurutta Faried Wadjedy dan Anregurutta H. Amberi Said. Tapi saya tidak sampai tamat”, ia menuturkan kisah hidupnya. Tahun 1960 ia lalu merantau ke Kalimantan dan Papua. Hampir semua wilayah Papua, termasuk kampung di pelosok, dijelajahnya untuk mengadu nasib. “Saya orang miskin jadi harus bekerja keras. Hampir semua pekerjaan kasar, asal halal, saya kerjakan. Mulai sebagai kuli bangunan, jual minyak tanah, tukang reparasi arloji, yang penting menghasilkan uang”.
Penderitaan dan kegetiran hidup hampir setiap saat ia rasakan. Saat itulah ia kadang ragu, apakah berkah itu memang ada? “Dulu Gurutta pernah bilang, assaleng pura mukko magguru ki Mangkoso, namuni lao mo teme mulisu, engkato tu barakka muruntu, tapi mengapa hidup saya sepertinya belum pernah merasakan berkah itu? Atau jangan-jangan ucapan Gurutta tidak benar. Hati saya mulai diliputi keraguan”, matanya terlihat berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat itu.
Lima puluh tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2013 ia bertemu Anregurutta Mangkoso dalam salah satu acara DDI di Merauke Papua. Saat itulah ia mendekati Anregurutta dan memperkenalkan diri. “Tabe Puang, tallupaina kapang, iya pura tapagguru ri Mangkoso tahun 59 – 60”. Ucapnya ketika itu sambil mencium tangan Anregurutta Faried Wadjedy. Dalam tradisi pesantren, mencium tangan kyai atau anregurutta sama sekali bukan wujud feodalisme atau penghambaan kepada manusia. Tetapi tanda penghormatan santri kepada sosok yang telah menorehkan ilmu dan menanamkan akhlak kepadanya. Anregurutta lalu menatap pria yang menjabat dan mencium tangannya. Ingatannya melintas masa ke puluhan tahun silam. Perlahan Anregurutta mulai mengingat bahwa sosok di depannya adalah seorang anak kecil yang saat dilatih baris berbaris dalam kepanduan suka berdiri di barisan belakang, padahal tubuhnya paling kecil sehingga tersembunyi di balik tubuh teman-temannya. “Iyaq Abidin, Puang”, katanya menyebut nama.
Sejak saat itu ia semakin dekat dengan Anregurutta. Ia kerap mengundang Anregurutta ke Papua, baik untuk acara keluarga, maupun acara di Pesantren DDI. Lalu, ia merasakan ada sesuatu yang berubah dalam hidupnya. Usahanya kian meningkat pesat. Maka, ia segera menyadari. Inilah berkah yang selama ini ia tunggu-tunggu. “Hampir semua acara Anregurutta di Papua saya hadir, saya merasa mendapatkan berkah setiap bersama beliau”. Sampai kemudian ia memutuskan kembali ke Barru.
Beberapa tahun kemudian H. Abidin kembali menetap di kampung halaman yang telah ditinggalkannya puluhan tahun. Perlahan ia mulai meninggalkan dunia bisnis dan menyerahkan pengelolaan semua usaha yang telah dirintis dan dibangunnya dari nol kepada anak-anaknya. Ia ingin fokus ke amal ibadah, khususnya ibadah sosial. Maka, ia membangun musalah di samping kediamannya yang sekarang telah berubah menjadi masjid yang megah. Ia pun mulai terlibat langsung membantu pembangunan sarana dan prasarana di almamaternya, Pondok Pesantren DDI Mangkoso. Tidak perlu proposal. Tidak perlu diliput, tidak perlu publikasi. Tidak perlu gembar gembor. Setiap Anregurutta menyampaikan bahwa pesantren memerlukan ini dan itu, ia langsung membantu. Mulai dari membangun masjid di Kampus 3, pembangunan ma’had aly, hingga yang terbaru pembangunan masjid raya di Kampus 2 Putra Tonronge.
Tidak tanggung-tanggung, sehari sebelum peletakan batu pertama ia menyerahkan cek senilai sepuluh milyar kepada Anregurutta Mangkoso disaksikan beberapa pembina. Beberapa waktu lalu, ketika mobil Anregurutta mengalami kerusakan karena tertabrak, ia langsung menyerahkan mobilnya, Toyota Fortuner untuk digunakan oleh Anregurutta. Mobil itulah yang dipakai berkeliling menebar dakwah sampai sekarang. “Hanya tiga bulan setelah saya menyerahkan mobil ke Anregurutta, Allah SWT langsung menggantinya dengan Toyota Alphard yang saya pakai sekarang. Rupanya Allah bukan hanya menggantinya dengan yang lebih baik, tapi juga memberi kemudahan karena inilah satu-satunya mobil yang saya beli kontan, tanpa menyicil”.
Hari itu, bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan dan sejumlah pejabat provinsi lainnya, di tengah acara peletakan batu pertama, kami semua mendapat pelajaran penting dari kisah H. Abidin. Tentang keikhlasan. Tentang Barakka. Tentang sesuatu yang tidak bisa dilogikakan, hanya bisa dirasakan. Sesuatu yang seringkali tidak bisa dimengerti oleh mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia pesantren. “Percayalah, barakka itu pasti ada, hanya terkadang kita harus menunggunya”. Ujarnya mengunci pembicaraan. Dari bibirnya yang bergetar saat bicara, saya melihat bahwa sesungguhnya yang bicara adalah hatinya yang ikhlas. Mulut hanya tempat keluarnya kalimat. Itulah sehingga acara hari itu, dalam rangkaian Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2025 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan yang ditempatkan di Kampus 2 Putra Tonronge, terasa berbeda dengan peringatan sebelumnya. Penuh makna. Penuh Barakka. Inilah kado terindah di Hari Santri untuk DDI Mangkoso, untuk kita semua.














