PINISI.co.id- Toleransi dan radikalisme dua hal yang tidak henti dibicarakan dalam masyarakat. Apalagi sejak dibentuknya kabinet baru gong radikalisme kembali ditabuh sehingga mengundang pro kontra.
Yang membuat tidak nyaman dua kosa kata tersebut dipersepsikan dan diasosiasikan dengan umat Islam. Sehingga jelas merugikan dan membuat kaum muslimin tidak nyaman.
Berbicara toleransi sudah banyak yang mengakui bahwa Islam dan kaum muslimin sangat menghargai perbedaan. Namun, amat disayangkan masih saja ada yang membuat opini yang memojokkan umat Islam dengan berbagai isu yang tidak tepat tersebut.
Menurut Dra.Hj.Eny Suhaeny,M.Si, toleransi adalah ajaran dasar dalam Islam. Buktinya, Allah menegaskan bahwa manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Hal ini dengan jelas dikatakan dalam Qur’an surat al-Hujurat ayat 13. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
Dijelaskan oleh Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Banten ini, Islam tidak mungkin melahirkan tindakan radikal dalam bentuk kekerasan. ”Islam itu damai dan rahmat. Rasulullah mengatakan senyum itu adalah sadaqah. Islam mengajarkan tasamuh dan toleransi atau saling menghargai,” paparnya, ketika menjadi nara sumber pada diskusi Merajut Nilai Toleransi Antar Bangsa Dalam Upaya Menolak Radikalisme yang diadakan Perhimpunan Mahasiswa Bima (PMB) Tangerang Raya.
Masalah toleransi di era kemajuan teknologi komunikasi ini memang layak dicermati. Sebab, peluangnya untuk membangun persatuan dan sekaligus perpecahan sangat kuat.
Bagi Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang, mengkhususkan sorotannya pada pemuda generasi mileneal yang hidup di era teknologi digital. Ia berharap para pemuda generasi milenial yang menguasai teknologi tersebut supaya berperan membangun toleransi. Di antaranya dengan memberantas hoaks yang memancing intoleran. “Kalau mau jadi pemuda yang produktif, maka kembangkan toleransi yang intinya adalah menghargai perbedaan,’’ himbaunya pada forum yang sama.
Bagi Nimran Abdurahman, tokoh muda Bima, mengingatkan pentingnya mahasiswa membangun persahabatan, baik dengan ormas pemuda Islam maupun kelompok lainnya. “Hubungan itu bukan hanya fisik, tetapi menjadikan kegiatan yang penuh persahabatan,” paparnya pada acara PMB tersebut.
Nimran juga mengingatkan pentingnya memperhatikan kemajuan indeks pembangunan manusia. Sebab, jika pembangunan manusia tidak meningkat maka dalam kehidupan ekonomi dan sosial rakyat Indonesia akan termarjinalkan perannya. “Padahal kita harus menjadi tuan di negara sendiri,” tegasnya.
Soal radikalisme memang ini masalah yang ditangani pemerintah. Namun, radikalisme ini mengandung arti yang multi tafsir. Ada yang melihat secara negatif, namun ada juga yang positif.
Tampaknya radikalisme dalam wujud kekerasan yang banyak dientang. Bagi Subandi Musbah, Direktur Visi Nusantara dan Aktivis Kabupaten Tangerang, radikalisme ini adalah suatu paham yang tidak lagi menggunakan penalaran atau otak, tetapi cenderung otot atau kekerasan. Dan radikalisme jangan dikaitkan dengan agama. Faktor radikalisme penyebabnya bermacam-macam. “Upaya deradikalisasi atau penyelesaian sebaiknya dengan cara persuasive,” sarannya.
Menurut Eny Suhaeny, radikalisme dalam arti positif adalah ketika menyebarkan pemikiran yang positif dan mengandung kebenaran. “Radikalisme itu tidak selalu harus melakukan demontrasi,” tuturnya.
Hal ini ditambahkan oleh Nimran Abdurahman, jika rakyat menuntut sesuatu kepada pemerintah jangan dikatakan radikal. “Mereka cuma menuntut haknya,” pungkasnya. [Arfendi]