Khazanah Sejarah: Matahari Islam Akan Terbit di Dunia Barat (1)

0
489
- Advertisement -

Kolom Ahmad M. Sewang

Judul di atas, sebuah prediksi, berdasarkan beberapa argumentasi, yaitu: 1. Sejak setelah Perang Dunia I, negara-negara Eropa Barat membutuhkan banyak tenaga kerja dari negara-negara dunia ketiga dari Asia dan Afrika. Mereka kebanyakan beragama Islam yang beramai-ramai memasuki Eropa. Mereka inilah yang mengisi peluang itu untuk mengisi tenaga kerja.

2.Negara-negara Eropa mengenal dwi kewarganegaraan sama dengan negara-negara Asia lainnya. Bagi pekerja di Eropa yang memiliki dwi kewarganegaraan lebih menguntungkan dilihat dari sisi kemudahan. Berbeda dengan Indonesia yang hanya mengenal satu kewarganegaraan, jika memilih warga negara lain secara otomatis kewarganegaraannya batal dengan sendirinya sebagai warga negara Indonesia.

  1. Umumnya, para pekerja dari dunia ketiga datang di Eropa dengan membawa keluarganya. Populasi mereka jauh lebih cepat dibanding penduduk setempat, misalnya yang saya saksikan jika ke mall-mall, para emigran membawa serta keluarganya, mereka berjejer dengan anak-anaknya. Sementara penduduk setempat populasi mereka zero atau 0%.
  2. Penulis menyaksikan sendiri setelah setahun penuh tinggal di negeri “Kincir Angin,” banyak gereja kosong pada hari Ahad, tidak ada peminatnya untuk datang melaksanakan misa. Akhirnya rumah ibadah mereka diperjualbelikan. Umat Islam pun yang beremigrasi ke Belanda membelinya dan mengubahnya jadi masjid. Sehingga penulis selalu salat di bekas gereja yang sudah diubah jadi masjid, karena masjid tersebut kebetulan dekat dengan Universiteit Leiden.

Banyak peristiwa yang tidak bisa saya lupakan dalam penelitian di Pusat Zending di Leiden. Antara lain, suatu ketika Pendeta Sloof kedatangan tamu dari Indonesia, yaitu Pendeta Sumartono dari Yogyakarta. Kami dari enam orang peneliti dari IAIN seluruh Indonesia sengaja diundang Pendeta Sloof untuk berdiskusi tentang kemunduran agama Kristen di Belanda, buktinya banyak gereja yang kosong dan dijual. Hasil riset menunjukkan bahwa pada hari Ahad tinggal 12% jamaah yang datang ke geraja. Kemana sebagian? Ternyata mereka menjadi agnostisisme, yaitu beragama atau tidak beragama, sama saja, mereka sudah tidak lagi peduli pada agamanya. Itulah tantangan yang dihadapi umat Kristen di dunia Barat.

Bagaimana umat Islam di Indonesia? Apakah akan mengalami nasib sama dengan saudaranya di dunia Barat? Itulah salah satu pertanyaan yang mengemuka saat itu, dan masalah itulah yang akan dijawab dalam artikel singkat ini. Indonesia akan sulit mengalami nasib seperti dunia Barat, sebab Indonesia berbeda dengan dunia Barat dilihat dari dasar negara. Dasar negara RI adalah Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Berbeda dengan dunia Barat, seperti Belanda, dasar negaranya adalah sekuler. Akibat pemisahan antara agama dan negara, sehingga pemerintah tidak bisa membangun sarana keagamaan. Bantuan pemerintahan Belanda untuk pembangunan masjid di Redderkerk, tidak bisa disebutkan bantuan pembangunan masjid, sebab negara tidak bisa membantu sarana keagamaan, melainkan diistilahkan bantuan pembangunan kebudayaan. Dengan dasar negara sekuler di Benada sehingga negara tidak bisa mencampuri urusan agama, misalnya gereja semakin banyak yang kosong dari jamaah seperti yang saya saksikan sendiri. Tidak heran jika almarhum Prof. Karel Stembrink secara berselero berkata, “banyak gereja masuk Islam.” Banyaknya gereja yang alih fungsi, sampai banyak yang bertanya, apakah nanti Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Belanda? Saya jawab seperti di atas bahwa Belanda berbeda dengan Indonesia. Di Belanda terjadi, scheiding van staat en kerk, pemisahan negara dan gereja atau dasar negaranya adalah sekuler, sedang Indonesia berdasarkan Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekalipun Indonesia bukan negara agama, namun bukan juga negara sekuler.

- Advertisement -

Wasalam,
Makassar, 24 Januari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here