Catatan Egy Massadiah
Pendaki Mount Everest itu kini memuncaki satuan baret merah. Iwan Setiawan ditunjuk menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) TNI-AD. Ia menggantikan Mayjen TNI Widi Prasetijono yang ditugaskan menjadi Panglima Kodam IV/Diponegoro.
Saya menyimpan sejumlah ingatan, dalam kurun ruang dan masa berbeda beda, sejak Iwan pangkat Letda hingga hari ini. Jika ditarik garis waktu, terbilang panjang, nyaris mendekati 30 tahun. Sama panjangnya dengan jalan persahabatan yang terjalin dengan teman-teman seangkatannya, antara lain Letjen TNI Maruli Simanjuntak (Pangkostrad), Mayjen TNI Richard Tampubolon (Pangdam XVI/Pattimura), Mayjen TNI Aswardi (BIN) dan lain-lain.
Kala itu, mereka (kebanyakan akmil 92) acap nongkrong di tempat tinggal saya di bilangan Cinere, Depok. Mereka masih berpangkat Letnan Dua. Ya, tak lama setelah keluar dari kawah candradimuka Lembah Tidar.
Persahabatan saya dengan Iwan dan teman-temannya (hampir semua Akmil 90, 91, 92, 93,94 yang berada di Korps Baret Merah), tak lepas dari “Aju factor”. Aju adalah sapaan akrab Andi Sirajuddin Kube Dauda. Aju pernah menjadi bagian dari Sat 81 Gultor Kopassus serta sejumlah penugasan di Timor Leste dan Aceh. Saat meninggal dunia November tahun 2016, Aju bertugas di Kemenhan dengan Pangkat Kolonel. Saya hadir melayat di RS Gatot Subroto menyaksikan jenazah Aju dimandikan sebelum diterbangkan ke Makassar.
Aju memang “teman rasa keluarga” sejak kami masih Taman Kanak-kanak di Sengkang Wajo, Sulawesi Selatan. Aju juga prajurit baret merah lulusan Akmil 1991. Ayah Aju bernama Andi Kube Dauda, mantan Bupati Bulukumba dan Polman, Sul-Sel. Ia seperjalanan karier ayah saya sebagai pegawai negeri.
Ditilik secara lichting, Aju adalah kakak angkatan Iwan. Angkatan 91 dan 92 memang sangat akrab. Terbukti, Iwan, Maruli dan yang lain acap main ke kediaman Aju, “kakak angkatan” yang tinggal di Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur. Saya pun sering main ke sana. Usai bercengkerama, kami biasanya melanjutkan acara dengan kulineran.
Bahkan, keseharian mereka pun masih terekam di benak saya. Setidaknya dibantu ingatan Pasekel, yang juga akmil 92. Mereka, termasuk Maruli, Iwan dan Aju adalah atlet bela diri Kopassus dari cabang judo. Di luar itu, Aju menekuni pencak silat Merpati Putih. Setiap hari mereka latihan beladiri di Mako Kopassus Cijantung, Jakarta Timur. Kerap saya mencermati dan menunggui mereka berlatih.
Saat mereka sedang getol latihan judo, Danjen Kopassus Prabowo Subianto merencanakan pendakian Mount Everest. Maka dibentuk lah Tim Ekspedisi Everest dalam rangka menyambut HUT ke-45 Kopassus pada 1997.
Melalui proses seleksi, Iwan Setiawan termasuk yang terpilih. Sejak itu, yang lainnya tetap menekuni judo, taekwondo, pencak silat merpati putih, sementara Iwan beralih fokus latihan mendaki gunung. Mereka belatih sangat keras, melebihi porsi latihan pada umumnya.
Hasilnya, mereka semua menjadi kampiun dunia. Maruli, misalnya, pada tahun 1997 menyabet juara 1 kejuaraan Judo Military ASEAN di Filipina, untuk kelas 71 kilogram sekaligus juara 1 kelas bebas. Sementara, di tahun yang sama, Iwan dan tim sukses menancapkan bendera merah putih di puncak gunung tertinggi di dunia, gunung yang sudah menewaskan ribuan pendaki dari berbagai negara.
Jika Anda pernah membaca, atau setidaknya mengetahui buku catatan pendakian Mount Everest oleh Iwan dan tim, maka saya pun pernah menjadi bagian dari buku tersebut, sejak proses pembuatan hingga pencetakan.
Alkisah, tak lama sepulangnya dari pendakian, Iwan main ke kantor saya membawa draft tulisan untuk dicetak menjadi buku. Iwan tahu, saya akrab dengan dunia tulis-menulis dan cetak-mencetak. Saat itu saya berkantor di lantai 8 Gedung Mustika Ratu, Pancoran. Selain sebagai redaktur tabloid Wanita Indonesia, saya juga bekerja di sebuah perusahaan percetakan.
Berkah Everest
Jika hari ini Jenderal Iwan memuncaki karier prajurit komando sebagai Danjen Kopassus, saya menyebutnya sebagai “berkah Mount Everest”. Betapa tidak, prestasi yang ia torehkan saat masih berpangkat Letnan Satu (Lettu) itu, adalah prestasi tingkat dunia. Di samping, sebuah pencapaian langka.
Sejarah kemudian mencatat, Tim Baret Merah yang terdiri dari Pratu Asmujiono, Sertu Misirin dan Lettu Iwan Setiawan menorehkan kebanggaan bagi kita semua, khususnya TNI.
Mount Everest dikenal sebagai gunung tertinggi di dunia (8.849 m). Sebagai perbandingan, gunung tertinggi di Indonesia adalah Puncak Jaya atau Jawa Wijaya Papua (4.884 m). Itu pun sudah sangat menakjubkan, karena hanya di Puncak Jaya Indonesia yang negara tropis ini memiliki salju. Dan, tahukah Anda berapa tinggi Gunung Salak yang jika langit cerah bisa Anda lihat dari Jakarta? Hanya 2.211 meter. Semoga Anda bisa membayangkan ketinggian Mount Everest.
Saking tingginya, oksigen menjadi sangat-sangat tipis, nyaris tak ada. Tidak semua manusia bisa hidup di ketinggian 8.500 meter dengan suhu minus 50 derajat Celcius. Selama mendaki, Iwan menyaksikan banyak sekali jazad manusia di sepanjang jalur pendakian. Jazad mereka utuh, beku. Mereka adalah pendaki naas yang terjemput ajal sebelum sampai di puncak Everest.
Tak heran, atas prestasi itu, Iwan dan tim disambut luar biasa saat kembali ke Tanah Air. Iwan juga diundang khusus ke kediaman Presiden Soeharto dan diberi hadiah ke Tanah Suci. Untuk diketahui, inisiator dan pemberi tugas pendakian Mount Everest adalah Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto (sekarang Menteri Pertahanan RI).
Saat menerima tugas dari Prabowo, Iwan sama sekali tidak memiliki bayangan tentang Mount Everest. Sekali pun ia belum pernah mendaki gunung. Lantas ia memberanikan diri untuk meminta satu syarat kepada Komandan Prabowo. Ia minta izin dan restu untuk menikah sebelum mendaki Everest.
Prabowo merestui. Iwan pun menikahi kekasih hati, Betty Siti Supartin. Sepulang dari menunaikan tugas “hidup dan mati” itu, Iwan dikaruniai putra yang langsung diberinya nama Arya Everest Setiawan.
Cerita panjang jika kita menguak drama pendakian Mount Everest yang memang luar biasa. Dari serangkaian aline di atas, hingga kata terakhir yang tengah Anda baca, tidak ada satu pun kata “menaklukkan”. Benar, dalam beberapa kali perjumpaan saya dengannya, ketika menyinggung soal Mount Everest, ia selalu menolak julukan “penakluk Mount Everest” atau kata-kata “berhasil menaklukkan Mount Everest”.
“Terlalu jumawa kalau kita sebut menaklukkan. Alam tak bisa ditaklukkan. Sebagai orang yang pernah berada dalam bekapan suhu minus 50 derajat Celcius, tanpa matras dan body bag, pilihannya hanya satu: kematian. Jika saya dan tim bisa menancapkan bendera merah putih di puncak Everest, seratus persen karena izin Tuhan,” ujar lelaki kelahiran Bandung, 16 Februari 1968.
Iwan memang prajurit komando sejati. Di darahnya meresap Himne Kopassus “Lebih baik pulang nama daripada gagal di Medan laga”. Setiap tugas adalah kehormatan. Karena itu, ketika ditugasi mendaki Mount Everest, Iwan hanya punya satu kata dalam kamus hariannya: Berlatih.
Jago Yel-yel
Ada satu lagi catatan menarik tentang sosok Danjen Kopassus yang baru ini. Di kalangan korp baret merah, Iwan Setiawan dikenal sebagai “jagoan yel-yel”. Ia terkenal sangat piawai membakar semangat pasukan dengan yel-yel atraktif, baik kata-kata maupun gerakannya.
Beberapa yel-yel kreasinya terbilang “sangar”. Kata-kata yang dibawaka seperti penyanyi rap, atau dilagukan dengan irama mars, serta gerakan-gerakan menghentak dan ritmis, sungguh bisa membakar semangat prajurit.
Aura semangat lekat dalam kesehariannya. Contoh, saat saya meneleponnya, yang terdengar bukan jawaban “hallo”, melainkan “KOMANDO HANTU RIMBA, PRAJURIT SAPTA MARGA… pam… pam… pam… pam… pam… pam… pam… Merah Putih….!!!” Saya hanya bisa menikmatinya sambil tertawa. Tak urung, ikut terbakar semangat pula.
Catatan karier militer Iwan terbilang cemerlang. Sebagian besar penugasannya memegang tongkat komando. Sebut saja misalnya, ia pernah menjadi Komandan Batalyon 22/Grup 2 Kopassus Kartasura (2008).
Sukses di Kartasura, ia menapaki penugasan berikut menjadi Wadan Pusdikpassus (Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus/Kopassus), (2012-2013). Salah satu tugas berkesan adalah saat menjadi Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Ekspedisi Khatulistiwa di Kalimantan, Maret – Juli 2012. Ia bertugas di bawah komando Brigjen TNI Doni Monardo, yang saat itu menjabat Wadanjen Kopassus.
Kegiatan Ekspedisi Khatulistiwa meliputi penelitian, penjelajahan dan komunikasi sosial. Penelitian mencakup penelitian sosial budaya, flora fauna, kehutanan dan geologi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Ekspedisi ini termasuk salah satu “silaturahim” korps baret merah yang fenomenal dan membekas dihati banyak pihak.
Jabatan komando berikutnya adalah Komandan Brigif 22/Ota Manasa (2013-2014), lanjut menjabat Komandan Pusdikpassus (2014-2015). Nah di posisi Dan Pusdikpassus itulah, ia kembali bersinggungan langsung dengan Letjen TNI Purn Dr (HC) Doni Monardo. Mantan Kepala BNPB/Ketua Satgas Covid-19 itu yang saat itu menjabat Komandan Jenderal Kopassus 2014-2015.
Lepas jabatan Dan Pusdikpassus, ia menjabat Komandan Rindam Jaya (2015-2016), lanjut menjadi Komandan Korem 052/Wijayakrama (2016-2018) yang bermarkas di Karawaci, Tangerang. Setelah itu Iwan masuk Lemhannas. Masih ingat dalam ingatan, ketika suatu hari, di hari Jumat ia menelepon, “just say hello”. Tentu dengan jawaban berupa yel yel pam pam-nya.
Dari telepon itulah saya tahu, ia sedang Lemhannas. Sementara saya berada di kantor Wapres. Kantor Lemhannas dan Kantor Wapres segaris, di Jl. Medan Merdeka Selatan. Karenanya, saya undang dia untuk shalat Jumat di komplek kantor Wapres. Usai shalat Jumat, kami makan siang bersama Wapres Jusuf Kalla (Wapres periode kedua).
Sempat “parkir” sebentar di Mabes TNI-AD, ia kembali mendapat penugasan Komandan Korem 173/Praja Vira Braja (2020-2021) di Biak Numfor, Papua. Di sana, saya kembali saling sapa dengannya. Dia sebagai Danrem, saya sebagai Tenaga Ahli Kepala BNPB. Sayang saat berkunjung ke Biak dalam kapasitas tugas BNPB, kami tak sempat bertatap muka. Sebab saat bersamaan Iwan dan pasukannya sedang berada di tengah hutan untuk tugas operasi.
Saya juga mencatat Iwan beberapa kali “sowan” ke seniornya (Kepala BNPB Doni Monardo). Karakternya tidak berubah, tetap kocak, ramai, dengan ciri khas “urang Sunda” yang kental.
Mungkin Iwan tidak tahu, bahwa suatu hari Doni Monardo menyampaikan keinginannya menarik Iwan ke BNPB untuk memimpin Pusdiklat BNPB di Sentul. Doni ingin tim kebencanaan BNPB terlatih dan profesional. Menangani bencana tidak bisa dilakukan dengan SDM yang tidak terlatih.
Sayang, perjuangan untuk mengakomodir masuknya militer aktif di jajaran pejabat BNPB belum tuntas, hingga Doni pensiun. Belakangan aturan itu memang disetujui, namun hanya untuk pejabat eselon satu (setingkat mayor jenderal untuk kedeputian darurat yang sejak Desember 2021 mulai dijabat TNI aktif yakni Mayjen TNI Fajar Setyawan). Sedangkan pejabat setingkat eselon dua belum terakomodir.
Setelah itu, nyaris setahun tak berkabar, tiba-tiba muncul pesan dari Pasekel, seangkatan Iwan di Akmil. Isinya kabar promosi dari jabatan Waaslat Kasad Bidang Kermamil menjadi Danjen Kopassus.
Pasekel kemudian mengingatkan saya peristiwa 25 tahun silam. Kala itu, semua prajurit komando Akmil 92 (mungkin sekitar 10 orang) baru saja naik pangkat dari letnan dua ke letnan satu. Berbekal honor saya sebagai wartawan, kami syukuran kecil di sebuah restoran di Cinere Mall. “Saya ingat itu, sangat berkesan,” kenang Pasekel di ujung telepon.
Atas nama rasa syukur dan bahagia, saya langsung video call ke HP Iwan. Saat kabar bahagia itu datang, saya sedang di Bengkulu siap-siap terbang ke Pulau Enggano menemani kunjungan Ketua Umum PPAD Letjen TNI Purn Dr HC Doni Monardo. Saya dan Doni kemudian mengucapkan selamat dan bangga atas kehormatan yang dipercayakan kepada Iwan. Nurani kecil saya berkata, “dia memang layak!”
Komando!!!
Penulis adalah Ketua Yayasan Kita Jaga Alam dan juga wartawan senior