Catatan Ilham Bintang
Sekurangnya, ada tujuh peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menguak keterlibatan Rosihan Anwar. Tidak hanya sebatas meliput peristiwa tersebut, tetapi sekaligus menjadi pelaku sejarah itu sendiri. Pertama, saat perundingan Linggarjati November 1946. Rosihan muda, saat itu berusia 24 tahun, ditunjuk oleh Pemerintah Republik menjadi ajudan pribadi Lord Killearn dari Kerajaan Inggris
yang memimpin Perundingan Linggajati.
Rosihan Anwar pula lah yang mengumumkan ke seluruh dunia hasil Perundingan Linggajati melalui
corong Radio RI. Kedua, di tahun itu ia ikut kongres pertama pembentukan PWI ( Persatuan Wartawan Indonesia) di Surakarta, 9 Februari 1946.
Ketiga, Rosihan Anwar bersama Letkol Soeharto menjemput Jenderal Sudirman dari pengungsian di Desa Krejo,
Jawa Tengah, 8 Juli 1949, setelah peristiwa Serangan Omoem 1 Maret 1949. Keempat, sebagai pemimpin redaksi Surat Kabar PEDOMAN ia meliput Konferensi Meja Bundar di Belanda,
27 Desember 1949 yang membahas penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Kelima, mengikuti Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, dan mengikuti kembali peringatan 50 tahun KAA itu tahun 2005. Keenam, menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa pemberontakan G 30 S PKI 1965 di rumah Jenderal AH Nasution dari seberang jalan. Tujuh Pahlawan Revolusi gugur di dalam peristiwa traumatik yang mengguncang Indonesia.
Ketujuh, nenjadi saksi peristiwa penyerbuan Kantor PDI Megawati 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro No. 58. Waktu itu di usianya sudah 74 tahun, Rosihan Anwar tetap meliput
kejadian yang sebenarnya. Fakta-fakta itu mengemuka dalam acara “Seabad Rosihan Anwar” yang digelar keluarga Selasa (10/5) malam melalui aplikasi Zoom.
Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, dan wafat 14 April 2011. Istri tercinta Siti Zuraida Sanawi mendahuinya sekitar tujuh bulan, wafat Minggu (5/9/2010) pagi.
Rosihan Anwar dan Siti Zuraida bertemu pada masa pendudukan Jepang. Pasangan itu menikah, 25 April 1947, di masa revolusi kemerdekaan. Mereka merupakan satu dari sedikit pasangan yang merasakan pahit getir perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi. Maka, ketika pagi itu Tuhan menjemput Ibu Siti Zuraida merupakan kehilangan amat besar dan berat bagi Pak Ros.
Lebih 63 tahun pasangan itu mengarungi bahtera perkawinan. Mereka dikaruniai tiga anak, Aida Fatia, Omar Lutfi, dan Naila, serta ada enam cucu. Perjuangan dan cinta seolah ikut berperan dalam perjalanan hidup mereka.
Testimoni Kerabat dan Sahabat
Acara yang berlangsung sekitar 2,5 jam dihadiri secara virtual oleh 150 kerabat, sahabat, dan sejawat almarhum. Tiga putra putri almarhum hadir dr Nonny, Omar Lutfhi Anwar dan dr Naila Karima, serta cucu-cucu. Yang menjadi host, Dhira Anwar, cucu sulung almarhum. Omar Lutfhi Anwar, memberi sambutan atasnama keluarga. Sedangkan Rosman Anwar, mantan Dirut Pelni, adik kandung almarhum –satu-satunya yang masih hidup — menyampaikan pesan dan kesan sebagai anggota keluarga. Adapun para sahabat dan sejawat yang hadir, antara lain aktifis Malari, dr Harriman Siregar, sejarahwan DR Anhar Gonggong, wartawan senior Marah Sakti Siregar, Upiek Sjahrir, dan Ketua Umum PWI Pusat Atal Depari, Wartawan senior Abdullah Alamudi, Rani Sutrisno, Fadli Zon, DR dr Rushdy, dan saya sendiri termasuk diminta untuk menyampaikan kesaksian atau testimoni. Yang memimpin tahlil dan doa Ustaz Lili Chumaedi.
Media & Tulisan Terakhir
Semalam, saya menceritakan, Tabloid C&R menjadi media pers terakhir Rosihan Anwar berkarya dengan menulis kolom secara teratur sekali sepekan di dalam rubrik “ Halo Selebriti”. Pak Ros juga mengantongi kartu pers sebagai wartawan Tabloid Cek & Ricek” yang saya tandatangani. Jangan salah, beliau meminta sendiri kartu itu, untuk ” jaga-jaga”, katanya. Entah apa maksudnya. Tapi saya bangga.
Rubrik Halo Selebriti memang sering diasosiasikan hanya bicara tentang artis dan dunia hiburan semata. Padahal, rubrik itu selama 13 tahun, dimulai sejak terbit pertama kali 24 Agustus 1998 hingga Pak Ros wafat, delapan puluh prosen isinya justru mengkritisi kebijakan pemerintahan Presiden Habibie, Megawati, Gus Dur, hingga SBY. Sampai Pak Ros wafat, saya merahasiakan kepadanya betapa setiap Tabloid terbit saya harus menghadapi protes kiri kanan dari pihak-pihak yang dikritisi di ” Halo Selebriti”. Bahkan, ada yang sampai mengancam saya untuk menutup rubrik itu. Tentu saja ancaman semacam itu tidak pernah saya layani. Tak satu huruf pun saya pernah mau mengoreksi tulisan beliau, walau waktu membacanya sebelum terbit, hati ketar – ketir juga.
Saya pun menolak ketika beliau sendiri meminta saya memberi pengantar pada tulisan terbarunya, yang dia rampungkan beberapa saat sebelum dilarikan ke RS MMC, pada 7 Maret 2011 “ Tolong kasih pengantar, itu tulisan terakhir saya,” kata Pak Ros — melalui sambungan telepon dari ruang perawatannya di RS, waktu itu. Dan, itu memang menjadi tulisan terakhirnya.
Dalam acara kenangan ” Seabad Rosihan Anwar “, saya juga menambahkan kesaksian mengenai peristiwa bersejarah Penyerbuan Kantor PDI ( Partai Demokrasi Indonesia) Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Malam sebelum peristiwa itu, kami — saya, Pak Ros, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Mayjen Amir Syarifuddin bersantap di Resto Ayam Goreng Nyonya Suharti di jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat. Jenderal Amir Syarifuddin yang punya inisiatif itu. Dia meminta saya mengenalkannya dengan Pak Rosihan Anwar. Di sela-sela bersantap, Pak Ros menyampaikan keluhan kepada Pak Amir. Demo – demo yang terjadi di kantor PDI mengganggunya karena kerumunannya berimbas ke depan kediaman beliau di jalan Surabaya. Pertemuan malam itu diakhiri dengan kami bertiga terjun cek ke lapangan, menumpang mobil saya. Saat melintas di depan kantor PDI, separuh ruas jalan ditutup digunakan untuk acara pengajian. Waduh! Bagaimana ini? Tiba-tiba Jenderal Amir seperti “keceplosan” bicara sendiri. Instink wartawan Pak Ros bekerja. Esok pagi Pak Ros jogging di kawasan itu, dan benar : hari itulah terjadi penyerbuan kantor PDI. Pak Ros menulis peristiwa itu esoknya di Harian Kompas. Menurut ceritanya, Amir berada di lokasi, dan bersyukut mengenalinya. Amir langsung mengamankan Pak Ros ke pos jaga rumah almarhum Jenderal Sugandhi.
Big Data
Saya sering menulis Rosihan Anwar adalah sebaik – baik wartawan. Sangat produktif. Kapasitas memorinya sangat besar tak terbatas. Dia adalah Big Data sesungguhnya. Asli. Bukan Big Data Luhut Binsar Panjaitan. Andai saja Tuhan memberi Pak Ros usia panjang, hidup hingga satu abad, niscaya Pak Ros akan ikut ” pertarungan seru di media sosial yang luas ” halamannya” seluas samudera, tak terbatas, demi menyalurkan kegelisahannya sebagai jurnalis.
Informasi Pak Ros pertama kali masuk RS MMC saya upload sore itu di twitter setelah diberitahu Indro Warkop dan berbicara langsung dengan beliau. Info itu segera disambung dengan “retweet” oleh berbagai pihak, selanjutnya berkembang viral di berbagai media online. Sejumlah televisi menyiarkan di running text. Keluarga dan pihak RS terkejut karena kurang setengah jam sejak saya upload, RS MMC diserbu “sejuta umat” insan media. Keluarga sempat cemas, mereka menghubungi saya. Saya menenangkan. Itu hal wajar saja. Pak Ros bukan hanya milik keluarga, bukan hanya milik pers, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Wartawan berhak memberitakan. Pihak RS juga berhak melarang wartawan masuk di RS. Jalan keluarnya, sata minta keluarga menemui dan memberi keterangan kepada wartawan. Selama dirawat, RS melarang Pak Ros dibesuk.
Tapi suatu sore, saya dan rekan Marah Sakti bisa “lolos” membesuk beliau. Dokter memergoki kami. Ia memeringatkan supaya jangan lama-lama. Pak Ros yang menyahuti dokter itu. ” Tidak apa-apa, dia anak saya” menunjuk kami. Sore itu Pak Ros bersemangat sekali menceritakan telah berhasil merampungkan buku kisah Pak Ros dengan almarhum istrinya, Ibu Hj. Zuraida sebelum diopname. Lalu, masuk topik kedua. Dia “mengusut” bagaimana cara saya menyampaikan informasi yang begitu cepat viral. Saya menjelaskan memang begitulah fenomena media sosial. Pak Ros pun tertarik lebih jauh menyelami ketika saya mengatakan media sosial tidak butuh birokrasi berbelit-belit untuk menyampaikan informasi. Tidak seperti karakter media konvensional yang tentu sudah puluhan tahun dialaminya.
” Wah saya juga mau coba. Ajarin yah setelah sembuh nanti,” ucapnya. Itu alasan saya mengatakan, andai diberi umur panjang, hidup seabad, niscaya Pak Ros akan unggul di media baru itu. Pengalaman dan peralatannya paling lengkap. Dia sudah turut menproduksi film bersama Usmar Ismai di Perfini pada tahun 1950 an. Jauh sebelum talkshow tumbuh menjamur di media televisi swasta, Pak Ros sudah pernah punya slot talkshow dan menjadi host di acara yang disiarkan TVRI. Bayangkan Pak Ros punya semacam podcast atau kanal di Youtube yang ditangani secara kreatif dan produktif. Tamu tamunya atau lawan bicaranya seluruhnya adalah tokoh pengambil keputusan di negeri ini, yang digilir tampil tiap hari atau tiap minggu.
Melbourne, 11 Mei 2022