Kiprah La Maddukelleng, Arung Peneki/Arung Singkang, Sultan Paser

0
1839
- Advertisement -

Catatan Andi Wahida Tuan Guru Sulaiman

La Maddukkelleng adalah Arung Matoa Wajo Ke-31 lahir dan mangkat di Wajo, Sulawesi Selatan (1700 – 1765 ) dan dikenal sebagai seorang kesatria

Puatta La Maddukkelleng Daeng Simpuang Sultan Pasir Petta Pammaradekaengngi Wajo, Arung Peneki, Arung Singkang, Raja Paser Ke-8 (1726-1736), Raja Wajo (Arung Matowa Wajo) Ke-31 (1736-1754), dan Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan SK Presiden RI No.109/TK/Thn.1998, tertanggal 6-November-1998.

Inilah La Maddukelleng adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesso To Ma’dettia dan We Tenri Angka Arung ( Raja ) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada 1714 disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor — Malaysia sekarang.

- Advertisement -

Sejak berusia 9 tahun, La Maddukelleng meninggalkan tanah kelahirannya Kerajaan Peneki ( Kerajaan Lili Wajo) dan tinggal di Tosora pusat Kerajaan Wajo.

Pada usia 11 tahun ada juga pendapat saat usia 14 tahun, La Maddukelleng melawan karena diperlakukan tidak adil dan  membunuh 11 orang saat baru saja disunat di Kerajaan Bone.

Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pesta sabung ayam yang saat itu berlangsung. Akibat perkelahian yang terjadi, hubungan Kerajaan Wajo dan Kerajaan Bone menjadi kurang harmonis.

Alhasil La Maddukkelleng berlayar ingin menemui Daeng Matekko di Johor  yang merupakan pedagang kaya Johor. Namun, ia tidak sempat bertemu saudaranya ( kakaknya ) Daeng Matekko di Johor. 

Kakaknya telah gugur saat ia tiba di Tumasik. Daeng Matekko tidak satu kubu dengan Daeng Parani.

La Maddukelleng memulai perjuangannya pada tahun 1715 saat membantu Daeng Parani berperang di Johor yang kemudian berhasil mereka menangkan.

Daeng Parani beserta 5 saudara dan anak-anaknya memihak Sultan Sulaiman, sedangkan Daeng Matekko dan beberapa bangsawan Wajo /Makassar memihak Raja Kecil dari Siak. Daeng Parani beserta saudara memenangkan perang di Johor. Sedangkan Raja Kecil dan beberapa orang-orang Wajo terdesak keluar kemudian mendirikan kerajaan Buantan ( Kerajaan Siak Sri Indrapura), mereka ini terhubung dengan kisah Laksamana Raja Di Laut.

Dalam perantauan bersama pengikutnya, kemudian menetap di Pulau Laut dan menjadi pemimpin yang disegani, disekitar perairan Selat Makassar. Tak pelak lagi La Maddukkelleng merajai laut di Selat Makassar.

Dalam perantauannya menikah dengan seorang Puteri Kerajaan Kutai. Pada tahun 1726, La Maddukelleng diangkat menjadi Sultan Pasir Kalimantan Timur.

Sebelumnya La Maddukelleng menikah dengan Puteri Sultan Sepuh Alamsyah Raja Pasir yang bernama Andin Anjang.

Keduanya dikaruniai anak bernama Aji Doya.

Aji Doya menikah dengan Sultan Aji Muhammad Idris, Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura keXIV dan Aji Doya setelah menikah berganti nama menjadi Putri Agung.

Catatan ini bersumber dari Andi Ade Lepu, dari dua  versi berbeda, yang satu dari Kutai Aji Doya dengan Petta To Sibengngareng adalah Cucu La Maddukkelleng, ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dari rentang waktu dan kejadian. La Maddukkelleng bermenantu langsung Sultan Muhammad Idris, bukan menantu cucu.

Lamaddukkelleng jadi Sultan Paser 1728 (Umur 28 tahun) dan menikahi Andin Anjang tiga tahun sebelumnya sekitar tahun 1725.

Sultan Idris meninggal di Wajo pada tahun 1739. Jadi hanya bertaut 14 tahun sejak La Maddukkelleng menikahi Andin Anjang dan meninggalnya Muhammad Idris.

Tidaklah mungkin 14 tahun cukup waktu punya cucu dan menikah. Ini berarti, Ajis Doya adalah puteri La Maddukkelleng dari Andin Anjang.

Terkait To Sibengngareng bin La Maddukkelleng, ia merantau meninggalkan Wajo saat La Maddukkelleng telah berhenti jadi Arung Matowa pada 1754, karena dituduh mencuri kuda Arumpone. Umurnya berkisar 20 tahun.

Jadi diperkirakan lahir pada 1734. Tidak mungkin bagi To Sibengngareng memiliki puteri yang sejaman dengan Aji Muhammad Idris.
2. Petta To Sibengngareng.
3. Petta Rawe.
4. Petta To Siangka.

Selama di Pasir, Kalimantan, La Maddukelleng selalu berusaha mempertahankan adat istiadat kerajaan Wajo. Padahal saat itu kerajaan Wajo sedang diduduki oleh Kerajaan Bone.

Berharap catatan ini mendapat koreksi untuk penyempurnaannya.

Wallahu ta’ala a’lamu bishshawab.

Sidiarjo, 27 Desember 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here