PINISI.co.id- Salah satu rangkaian HUT KKSS Ke-46 yang ditunggu-tunggu adalah Pertemuan Cendekiawan Bugis-Makassar (PCBM) II yang rencana digelar secara hibrida pada 29 Oktober 2022 di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Di sini warga bakal mendapat pencerahan dan pengayaan wawasan mengenai nilai-nilai budaya dan sejarah terkait kearifan lokal Sulawesi Selatan oleh para cendekiawan terkemuka asal Sulawesi Selatan.
Hal itu mengemuka saat Wakil Ketua Umum KKSS Prof.Dr.Awaluddin Tjalla memaparkan rencana seminar dan diskusi tentang nilai-nilai budaya siri na pacce dalam rapat panitia HUT KKSS Ke-46 di Waroeng Ngupingupi, Bellagio Mall, Jakarta, Kamis, (29/9/2022) pekan lalu.
Menurut Tjalla, ada dua opsi bahasan yaitu
Seminar Nasional Raja Ali Haji: Nalar Pemberontakan Kata-kata yang Membentuk Indonesia dan Nilai Budaya Siri Na Pacce.
Kegiatan ini dihelat secara daring dan luring dengan
narasumber Dr. Hc. H.M Jusuf Kalla, Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA dan Prof.Dr. Ahmad Syahid, MA.
Perlu diketahui, Raja Ali Haji berjasa dalam pengembangan bahasa Melayu dan dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tokoh ini terkenal lewat karya sastranya Gurindam Dua Belas. Ia juga membuat sebuah pedoman yang menjadi standar bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.
Raja Ali Haji merupakan keturunan dari bangsawan dan prajurit Bugis yang datang ke Riau pada abad ke-16. Ayahnya bergelar Engku Haji Tua. Adapun ibunya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari keturunan Bugis.
Sementara topik siri na pacce ditinjau secara filosofis oleh Prof. Nurhayati Rahman, Dr. Mukhlis Paeni, Dr. Mukhlis Hadrawi,
Prof. Dr. H. Abdul Malik, Dr. Alimuddin Hassan Palawa, dan Dr. Syahrul Rahmat.
Menurut Mochtar Pabottingi, dalam seminar siri pada 1989, siri belum diisi dengan pandangan jauh serta visi yang lebih luhur dan universal. Prinsip siri yang dipahamai secara rabun jauh (miopis) membuat sebagian orang Bugis-Makassar banyak melanggar tentang kesucian, kejujuran dan kebenaran.
“Prinsip siri dipraktikkan justru untuk menginjak-injak bukan hanya prinsip siri itu sendiri melainkan boleh dikata seluruh prinsip yang mendasari pangngadereng,” ujar budayawan peraih cendekiawan berdedikasi ini.
Orang luar seperti cendekiawan Yudi Latif, melihat siri perlu direaktualisasi dan diorientasi untuk tegar mempertahankan prinsip luhur dengan semangat membangun dan menumbuhkan.
Sementara Mattulada berpendapat sebagaimana dikutip dalam buku Latoa, orang Bugis Makassar menghayati siri sebagai panggilan yang mendalam dalam dirinya untuk mempertahankan sesuatu nilai yang dihormati, dimiliki dan dihargai.
Namun, cilakanya bagi orang yang mate siri tak lain adalah orang yang hilang harga dirinya dan dianggap sebagai bangkai hidup dan derajatnya lebih bawah ketimbang hewan! (Lip)