Kolom Ruslan Ismail Mage
Sebagaimana biasanya, setiap selesai melaksanakan shalat subuh, selalu menyiapkan waktu minimal 30 menit bersyikir, bersyukur, dan bersyawalat. Saat itulah saya menemukan narasi mengurai dialog guru dan murid yang membuat mataku basah. Maaf, bukan karena cengeng, tetapi beberapa kali saya membuktikan dan merasakan kisah itu.
Dikisahkan Imam Malik berkata kepada muridnya Imam Syafi’i, “Rezeki Allah itu maha luas dan tak terbatas, dengan “bertawakal” saja kepada-Nya, Allah akan mendatangkan rezekinya yang tidak disangka-sangka”.
Mendengar itu, sesunggunhya sang murid Imam Syafi’i ingin menyanggah pernyataan sang guru, tetapi adab membuatnya hanya bertanya dengan bahasa analogi, “Kalau burung tidak keluar dari sangkarnya bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan rezeki makanan?”
Hikayat di atas memperlihatkan kalau
guru dan murid memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana cara datangnya rezeki. Masing-masing bertahan dengan pendapatnya, hingga waktu berlalu tanpa kesepakatan keduanya.
Kalau dicermati lebih dalam, nampaknya perbedaan pendapat itu disebabkan karena sang guru Imam Malik berpatokan pada “Keyakinan”, sementara sang murid Imam Syafi’i berpatokan pada “logika”. Keduanya masing-masing memiliki argemuntasi pembenar, sehingga membutuhkan data dan fakta yang berkaitan itu untuk menilai keduanya.
Suatu waktu Imam Syafi’i pergi ke luar rumah, dan di tengah jalan bertemu dengan seorang petani yang sedang kewalahan memanen buah anggur yang melimpah. Melihat kondisi itu, Imam Syafi’i berhenti dan berusaha membantu petani memanen anggur.
Setelahnya, Imam Syafi’i hendak melanjutkan perjalanan, namun sebelum beranjak seketika petani tersebut memberi beberapa ikat buah anggur kepada Iman Syafi’i sebagai bekal di bawa pulang. Sebagai imbalan sudah membantu pak tani memanen.
Imam Syafi’i kemudian bergegas pulang membawa beberapa ikat buah anggur. Hatinya pun senang dan bahagia bukan karena mendapat buah anggur, tetapi peristiwa ikut membantu memanen anggur itu menjadi data dan fakta pembenar pendapatnya jika bertemu Imam Malik gurunya.
Dengan percaya diri Imam Syafii meletakkan buah anggur di atas meja dekat Imam Malik gurunya. Sesaat kemudian Imam Syafi’i menceritakan dari awal apa yang baru dialami dengan penekanan bahwa, “Kalau saya tidak ke luar rumah dan membantu petani memanen anggur, tentu tidak dapat buah anggur ini”.
Sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, sang guru Imam Malik mengambil sebutir buah anggur dan mencicipinya. Lalu berkata halus kepada Imam Syafii, “Hari ini saya tidak keluar rumah, cukup menikmati pekerjaan sebagai guru. Bukankah Allah maha luas rezekinya, dan engkau dipilih Allah membawakannya untukku”.
Subhanallah, sungguh Engkau Maha Mengatur segalanya ya Rabb. Jadi berusahalah, beriktiarlah, dan berdoalah sebagai hamba. Namun ketiga hal itu tidak cukup, jangan pernah lupa “bertawakal”. Karena usaha, ikhtiar, dan doa adalah wilayah kita sebagai hamba, sementara “tawakal” adalah zona “Keyakinan” penyerahan diri kepada Allah Swt sebagai menentukan segalanya. Alhamdulillah, Inilah pelajaran dari sang maha guru, dimana logika takluk dari keyakinan.
Akademisi, penulis buku motivasi, inspirator dan penggerak