Obituari: Nurdin Arsyad Telah Menyempurnakan Hidupnya

0
1155
- Advertisement -

PINISI.co.id- Baru belakangan Nurdin Arsyad (67) saya tahu kalau ia adalah alumni PPSP IKIP Ujungpandang angkatan 75. Jauh sebelumnya saya mengenalnya sebagai pribadi yang hangat, romantis dan kebapakan.

Pada dekade 80-an Nurdin adalah seorang aktivis. Ia kuliah di dua tempat yaitu di Universitas Indonesia jurusan sastra dan di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Aku suka menyambangi tempat tinggal Nurdin di asrama Muhammadiyah Rawamangun dan kerap berdiskusi soal sastra Barat yang melahirkan peradaban-peradaban unggul di kancah intelektual dan humanisme universal. Maklum, ia menggemari karya-karya Goethe, Boris Pasternak hingga Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kondang yang dibungkam orde baru.

Saat itu, dengan sejumlah teman, kami mendorong agar Nurdin menjadi Ketua Pengurus Besar IKAMI – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Sulawesi Selatan. Dan ia menerimanya dengan antusias. Tapi di IKAMI Nurdin cuma sesaat namun berhasil melakukan konsolidasi internal di kalangan mahasiswa dan pelajar.

Relasi dengannya makin erat tatkala Nurdin menjadi pimpinan usaha Majalah Panji Masyarakat, majalah islamis yang berhenti terbit setelah era disrupsi datang seiring digitalisasi media. Sejumlah kawan menjadi wartawan di situ. Banyak penulis beken saat itu di Panjimas seperti Prof. Azyumardi Azra dan Prof Komaruddin Hidayat yang keduanya adalah adik Nurdin. Buya Hamka juga dibesarkan oleh Panjimas.

Dari situ Nurdin jatuh cinta kepada Ninda, istrinya yang juga adalah wartawan ASRI — majalah tentang arsitektural dan interior yang jadi kiblat para arsitek.

- Advertisement -

Belakangan aku baru ngeh setelah mengetahui Nurdin adalah jebolan PPSP. Wualah. Kami rupanya sealumni dan seperjuangan di Ibu Kota. Hal itu kutahu saat pertemuan alumni PPSP di Sentul, Bogor, beberapa tahun lalu.

Di PPSP DAJ Jabodetabek, Nurdin termasuk aktif meskipun ia termasuk paling senior. Ia selalu mengedepankan silaturahmi. Nurdin adalah pria yang ramah, kosakatanya datar, dan tak jemu membimbing adik-adiknya di DAJ. Kami lebih banyak mendengar ketika ia memberi wasiat seusai misalnya shalat berjamaah dalam bepergian.

Termasuk soal penyakit. Jantung Nurdin telah dipasang cincin, dan aku sering berkonsultasi dengannya perihal jantung. Buntu dan mampet sehingga tak jarang nafasku sesak sekonyong-konyong ada malaikat yang hendak mencomotnya.

“Kalau Alif mau operasi bypass di RS Harapan Kita aja,” sarannya. Di situ peralatannya sudah canggih.

“Iye kak Nurdin,” sepulang dari Yogyakarta, tambahku kemudian.

Cerita ke Yogya 3-5 Maret lalu, ada tiga orang yang rentan sakit. Aku, Nurdin, dan Bachran Mile. Aku cemas, Jokka-jokka DAJ yang dirancang jauh hari itu, kami lewati dengan perasaan was-was karena begitu lama kami menunggu. Seperti menghitung hari, kok lama sekali hari H-nya. Kerap, aku ditelpon Bachran, bahwa ia juga mengidap ciri yang sama denganku. Dadanya sesak dan perih.

Akan halnya Nurdin, sekian bulan ia tak pernah komen di grup percakapan DAJ. Aku pikir, mungkin dia sedang melawan rasa sakit. Sehari sebelum ke Yogya, Nurdin baru memutuskan berangkat. Kami semua senang alang kepalang.

Sementara Bachran juga tampak sumringah ketika kepastian berangkat pada 2 Maret sore. Tiga pesakitan akhirnya berangkat semua.

Nurdin tiba di titik penjemputan di Antam, dipapah istrinya dan ditopang oleh sebuah tongkat. Dalam keadaan sakit, ia antusias dan bilang, “Kapan lagi kita bisa ngumpul-ngumpul.”

Dalam bis, saya duduk di belakang kursinya. Aku suka mengeluh karena lututku tak bisa ditekuk normal. Aku melihat Nurdin tampak sabar dan sama sekali tak ada protes sampai tiba di Yogyakarta. Sesekali ia mengembang senyum menyimak banyolan konyol dari penumpang lainnya. Demikian juga istrinya. Mereka menikmati perjalanan ini dengan heppy.

Di kota Gudeg itu, meski dibantu tongkat, Nurdin tampak ceria dan selalu mengedepankan pesan-pesan kebajikan ketika berinteraksi dengan yunior-yuniornya.

Tak lama sepulang dari Yogya, Nurdin jatuh sakit dan ia dirawat di RS Bakti Yudha Depok beberapa lama. Aku sempat membesuknya bersama Ketua DAJ Ichsan Gaffar, Eka dan dr. Alfee.

Semasih dirawat, eh, giliran Bachran juga masuk ke rumah sakit di Bekasi. Nurdin pindah ke RS Halim. Aku sendiri berobat mata kiri karena katarak dan sudah tidak bisa membedakan yang cantik dan manis.

Serta merta tanpa tanda-tanda, Bachran pulang ke Haribaan Allah pada 5 April dan kemudian disusul Nurdin sepekan berikutnya pada hari Rabu, 12 April.

Keduanya telah paripurna hidupnya. Bisa jadi Nurdin akan bertemu Bachran di surga dan merancang reuni DAJ kelak pada suatu masa.

Alif we Onggang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here