Kolom Dr. H.M. Amir Uskara
Ekonomi awalnya suci. Sesuai dengan fitrah manusia. Seperti orang hidup butuh makan dan pakaian. Lalu orang bekerja untuk mendapatkannya. Sesudah kebutuhan itu tercapai, cukup. Kalau hasilnya berlebihan, sisanya diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.
Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makah ke Madinah, Nabi minta para sahabatnya untuk saling mengasihi sebagaimana layaknya keluarga. Sahabat Anshar di Madina menjadikan sahabat Muhajirin dari Makah seperti keluarga sendiri. Jika sahabat Anshar punya dua baju, satu baju diberikan ke “saudara”nya itu. Demikian juga uang dan makanan. Nabi Muhammad mengibaratkan orang Anshor dan Muhajirin seperti tubuh. Jika bagian tubuh tertentu sakit, seperti luka atau bisulen di kaki, maka seluruh tubuh akan merasakan perihnya
Konsep tubuh yang menggambarkan kekeluargaan sahabat Anshar dan Muhajirin itu, kemudian berkembang ketika Nabi Muhammad membangun — apa yang oleh Dr. Abdul Aziz, now Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia, disebut Chiefdom Madinah. Atau negara kemimpinan.
Di Chiefdom Madinah, makna umat diperluas; bukan hanya untuk umat Islam. Tapi untuk seluruh penduduk Madinah. Yang beragama Islam, Kristen, Yahudi, Manusia, bahkan penganut agama lokal yang jumlah banyak sekali. Di masa inilah, Nabi membangun umat melalui pendidikan politik, ekonomi, hukum dan hak asasi manusia. Tentu semuanya atas kesepakatan umat yang di-drive Wahyu Allah. Semua pasal dan ayat tentang pembangunan umat tersebut tercatat dalam Piagam Madinah.
Muhammad sendiri adalah pribadi yang ramah dan berpikir kosmopolit. Muhammad tidak melihat manusia berdasarkan agamanya. Tapi berdasarkan akhlaknya. Islam dibawa Muhammad untuk memperbaiki akhlak manusia. Yaitu akhlak yang berbasis pada ketaatan dan keikhlasan untuk menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Pengasih Penyayang. Itulah Islam hakiki.
Ini sesuai prinsip dasar Islam. Seperti disebutkan Qur’an, prinsip dasar Islam, Muhammad dijadikan Rasul Allah untuk memperbaiki akhlak manusia. Diksi “memperbaiki akhlak manusia” dalam Qur’an itu perlu ditulis dengan huruf tebal. Sebabnya, semua jenis arogansi, intoleransi, merasa paling benar, dan mengaku memegang kunci sorga berasal dari pengingkaran terhadap diksi prinsip Kerasulan Muhammad tadi — “memperbaiki akhlak manusia”.
Kemudian Allah juga menyatakan, DIA sengaja menciptakan berbagai macam agama. Kalau mau, Tuhan bisa menciptakan satu agama saja. Tapi itu tak dilakukanNya. Secara obyektif, jika Tuhan menciptakan hanya satu agama, tak ada pembanding untuk melihat mana komunitas agama yang paling baik akhlaknya. Dan Muhammad berhasil membangun Chiefdom Madinah dengan prinsip akhlak, keadilan, kesejahteraan, dan persamaan hak asasi tadi di jazirah Arab.
Maka, jangan heran kalau di antara tentara Chiefdom Madinah yang ikut memerangi “musuh Islam” adalah orang Yahudi. Disebut musuh Islam di sini adalah kabilah-kabilah yang tidak mau diajak damai, arogan, intoleran, memusuhi Islam, dan destruktif. Jika perangai kelompok ini dibiarkan, maka merusak bangunan umat yang sedang ditegakkan Chiefdom.
Sejarah Islam mencatat, seorang pemimpin Yahudi dari Kabila Qainuqa, Mukhairiq, ikut berperang membela Rasul. Bahkan ia sengaja menjadi tameng Muhammad dari sabetan pedang musuh. Mukhairiq, karena luka parah akhirnya meninggal. Sebelum wafat, ia berpesan kepada Nabi, agar hartanya dipakai untuk kepentingan Chiefdom. Karena harta Mukhairiq sangat banyak, Muhammad memutuskan membangun Baitul Mal di masjid Nabawi. Dari sinilah Baitul Mal pertama umat Islam berdiri. Modalnya dari umat Yahudi bernama Mukhairiq.
Kelak Baitul Mal ini menjadi “Center of Welfare Economics” umat Islam. Baitul Mal menampung sadaqah, infak, zakat, hibah, dan lain-lain, kemudian harta yang terkumpul dipakai untuk kesejahteraan ekonomi umat. Catat ya, umat di sini adalah penduduk Chiefdom Madinah untuk semua agama dan etnis.
Pada tahap inilah, ujar Guru Gembul di podcastnya, Muhammad memperkenalkan Islam secara elegan. Menyejahterakan orang miskin, menghormati semua manusia, dan mendistribusikan ekonomi secara adil. Dari situlah Islam didakwakan. Umat pun suka cita mengikutinya.
Ekonomi profetik — pinjam istilah EF Schumacher penulis buku monumental Small is Beautiful — sebetulnya sederhana. Ekonomi adalah distribusi harta dan upaya-upaya mendapatkannya dengan konsep sederhana. Ekonomi berhasil ketika kehidupan manusia tercukupi secara nutrisi, secara alami, dan secara manusiawi. Itulah prinsip ekonomi Fitri.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan ambisi, ekonomi Fitri porak poranda. Politik dan kekuasaan yang ambisius merontokkan semua bangunan kemanusiaan yang diinisiasi Nabi.
Kalimat Tauhid sebagai deklarasi kesatuan dan persatuan umat — kata Buya Syakur Yasin di kanal tivi Wamimma — kini telah didegradasi menjadi sekelumit kata “dua syahadatain” yang eksklusif, nyaris tanpa perspektif (Ketuhanan dan Kerasulan Muhammad untuk memperbaiki akhlak manusia). Dampaknya, manusia tak hanya serakah terhadap harta dan kuasa. Tapi juga serakah terhadap agama dan ibadah.
Salah satu contoh paling ril di tengah umat Islam Indonesia, muslim yang kaya menunaikan ibadah haji dan umrah berkali-kali dengan biaya mahal. Padahal di sekitar rumahnya masih banyak orang miskin yang membutuhkan pertolongan ekonomi.
Akhirnya, Idul Fitri, kalau kita renungkan, mengingatkan kita pada kondisi ekonomi yang harus diperbaiki paradigmanya. Konsep ekonomi bukan melulu pasar bebas, bukan melulu menimbun kekayaan, bukan melulu eksploitasi buruh murah, bukan melulu mengekstrak kulit bumi untuk diambil batu bara, minyak, dan logamnya. Bukan itu semua. Ekonomi adalah pendistribusian kekayaan alam secara adil, manusiawi, dengan basis kesederhanaan. Guru Mahatma Gandhi menyatakan, bumi Tuhan mampu memberi kesejahteraan semua penghuninya. Tapi tidak mampu untuk memenuhi keserakahannya.
Puasa Ramadhan sebulan penuh sepertinya merupakan kilas balik mengenang “conditio sine quanon” untuk membangun Ekonomi Fitri yang terlupakan. Dan Idul Fitri adalah hari pertama bagi umat Islam untuk kembali melaksanakan ekonomi Fitri ajaran Nabi yang terpinggirkan itu.
Tapi tidak mudah melaksanakannya. Polusi di hati umat telah membutakan pandangannya terhadap ekonomi ajaran Nabi ini. Dampaknya, alih-alih Idul Fitri menjadi hari yang memamerkan kesederhanaan dan keikhlasan darma, yang terjadi sebaliknya: memamerkan kemewahan.
Penulis, Wakil Ketua Komisi XI DPR RIWakil Ketua Komisi XI DPR RI