Pena Sipil Institute
Cuaca pagi sangat cerah melambai ke sang fajar yang perlahan-lahan beranjak naik ke horison menyebarkan sinar kehidupan. Senafas dengan langit biru di cakrawala yang bersih dari gerombolan awan-awan gelap. Matahari pun semakin merekah tersenyum menyapa kehidupan. Suasana pagi semakin syahdu tatkala angin berhenbus manja menyentuh kulit malu-malu, lebih syahdu lagi ketika aliran sungai-sungai turut bernyanyi berdendang mengikiti siulan burung-burung yang terbang rendah bergembira melagukan simponi kedamaian.
Alam tampaknya membaca kalau sebentar lagi di langit-langit istana Raja Cina akan muncul pelangi warna-warni rasa cinta, rindu, air mata, tangis, kedamaian, dan kebahagiaan. Benar, pagi itu seluruh isi istana Raja tiba-tiba diam sunyi di tengah keramaian para keluarga kerajaan, penjaga, pelayan, dan dayang-dayang yang biasanya hilir mudik mengurus keperluan istana. Semuanya berkumpul di depan kamar sang putri yang belum siuman dari pingsannya setelah melihat langsung cahaya di kamarnya.
Raja dan Permaisuri pun datang menepuk-nepuk pundak sang putri sambil memercikkan air kemukanya. Sesaat kemudian We Cudaiq mulai sadar dan menggerakkan tubuhnya, bibirnya nampak masih bergetar seakan ingin berteriak memanggil sebuah nama, tapi tak mampu mengeluarkan suara. Permaisuri mendekat memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya yang terurai bak lembayung sutera.
Ketika sudah mulai merasa tanang, We Cudaiq meminta dibangunkan duduk. Matanya mulai basah dengan butiran-butiran kristal yang membentuk anak sungai di pipinya yang seputih kapas. Permaisuri mulai bertanya dengan nada lembut, anakku ada apa gerangan yang membuat kamu bisa pingsan dan kemudian menangis? Apa yang membuatmu bersedih seperti itu? Bukankah tadi pagi pamit mau pergi mandi bersama dayang-dayang istana? We Cudaiq masih saja dian menunduk menahan tangis. Sambil perlahan-lahan mengangkat mukanya, We Cudaiq tidak menjawab pertanyaan ibundanya, tapi tangannya justru menggapai mau berdiri mencari sesuatu.
Matanya memandang ke sekeliling mencari cahaya itu tapi tidak ditemukannya, ia kemudian memanggil Paduka Raja lalu berucap dalam tangis, maafkan anada baginda Raja, mana Sawerigading? Mana Sawerigading? Mana Sawerigading? Tanyanya tiga kali tanpa memberi kesempatan Raja menjawabnya.
Raja, Permaisuri, dan seluruh pengawal istana serentak membuang pandangannya ke sekeliling mencari Sawerigading, tapi tak menemukan sosok yang berlulit hitan pekat itu selain hanya melihat seseorang duduk di atas ranjang pengantin membelakangi mereka. We Cudaiq pun berjalan setengah berlari ke arah sosok itu sambil berteriak memanggil nama Sawerigading. Mendengar namanya dipanggil We Cudaiq, Sawerigading pun perlahan memalingkan mukanya ke arah suara itu.
Sebagai istri yang selama ini mengabaikan suaminya yang ternyata ketampanannya menyerupai Malaikat dari Surga, We Cudaiq pun bersimpuh di mata kaki Sawerigading sambil menangis sesenggukan meminta maaf. Raja, Permaisuri, dan seluruh pelayan istana yang menyaksikan pemandangan itu berdiri mematung melongo tidak mampu berucap apa-apa selain memegang mulut semua sebagai bahasa nonverbal tidak mampu melukiskan keindahan pemandangan di depanya.
Sawerigading kemudian membungkuk menarik tubuh We Cudaiq berdiri lalu saling berpandangan tanpa narasi terucap. Baru saja We Cudaik mau berucap, tangan Sawerigading langsung menutup mulutnya, sambil berkata “tidak usah berkata apa-apa apalagi meminta maaf, saya memahami sikapmu menutup diri selama seminggu di labirin”. Mereka pun berdua berpelukan erat bahagia melepas rindu tak berbatas, sambil menghiasi bumi dengan senyumnya tanpa limit.
Bagaimana pasangan laksana Malaikat dan Bidadari ini tidak bahagia dan tersenyum, sementara baginya telah ditumbuhkan taman-taman yang hijau, kebun subur yang menyegarkan, yang padanya terdapat pohon-pohon yang indah menari-nari, dan tumbuhan yang penuh keindahan. Bagaimana pasangan ini tidak bahagia dan tersenyum, sementara baginya bintang-bintang penuh cahaya, hamparan lautan biru sebiru langit yang luas, tanah yang subur berkelok-kelok, dan planet-planet yang berputar pada porosnya. Bagaimana pasangan ini tidak bahagia dan tersenyum, sementara burung-burung bernyanyi, merpati berdendang, matahari bersinar lembut, bulan bercahaya indah. Bagaimana pasangan ini tidak bahagia dan tersenyum, sementara angin bertiup sepoi-sepoi, daun-daun gemerisik, burung kenari bersiul, aroma harum berhembus, air jatuh di antara bebatuan mendendangkan lagu cinta, dan menceritakan pagar keindahan dan kebahagiaan.
Bagaimana kedua pasangan ini tidak tersenyum bahagia, ketika “Labirin Cinta (perjalanan cinta berliku) Sawerigading kini sudah berada dalam pelukan Bidadarinya We Cudaiq”. Sebuah labirin cinta yang harus melewati peperangan dan penghancuran di laut dan di darat untuk mendapatkannya. Waktu terus berlalu, dengan cinta menggebu di atas ranjang pengantin, La Galigo mulai di proses. Semua lampu penerang dimatikan, gelap sudah menyatu dengan pasangan muda ini, hanya bahasa noverbal yang berlaku memberi isyarat kelau keduanya tak mampu lagi menanhan gelora yang terus membara. Dalam kesunyian hanya desahan nafas yang sesekali mengusik malam. Paginya keduanya menyambut fajar dengan senyum merekah penuh makna. Waktu pun semakin berjalan, hingga akhirnya sang pengeran flamboyan yang perkasa Sawerigading dan permaisurinya We Cudaiq melahirkan buah cintanya bernama La Galigo.
Sahabat pembelajar, sampai seri ke-7 ini perlahan jemariku mulai melemah, energi cintaku menyusut. Mungkin karena larut dalam narasi yang ditulis dengan cinta ini, tiba-tiba ada rasa sedih menyelinap masuk ke dalam kalbu, mataku pun basah tulisan ini harus berakhir untuk sementara. Semoga berkah.
(Salam literasi tanpa batas tanpa syarat untuk sahabat pembelajar, terimakasih atas apresiasinya selama ini, wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, mohon maaf jika ada narasi yang salah)