Kolom Fiam Mustamin
KATA menyapa ini adalah bentuk perhatian khusus Petta/Kerabat Arung di Saoraja, saat saya sedang di kampung maupun ketika di luar.
Karena itu, saya memaknainya dalam bentuk dalamnya ingatan / Pessena Petta kepada saya.
Kepergian Petta Mammud usai menunaikan ibadah Umrah sekeluarga di awal puasa ramadhan 1444 Hijriyah begitu dalam duka cita saya rasakan itu.
MASA kanak-kanak prasekolah saya di Kampong Baru. Di Kampong itu ada rumah Seppuh/ Katabang namanya Saoraja/ bermukim Datu sekekuarga.
Dan dekat dari situ juga ada permukiman kerabat dan pemakaman para kerabat Datu, namanya Labotto Ulu.
Di satu kawasan areal sekitar itu, saya kanak-kanak bermain sampai di sebelah selatan; Tajuncu, Pising, Tajuncu Yawa / bantaran sungai, la Toppo dan Yajang Salo/ seberang sungai.
Sungai itu tempat saya bermain dan menangkap ikan di musim makkaja/ mattua bale.
Di sebelah utara Kampong Baru areal persawahan, tempat saya mencari Bojo/ keong kecil di saat padi setinggi pematang.
Di perbatasan areal persawahan, namanya Kabaro, penuh dengan aneka tumbuhan pohon mangga.
Di musim mangga sudah matang, kami anak-anak pada sore hari sudah datang ke situ membawa Sulo/Anyaman daun kelapa yang dinyalakan pada saat kelelawar sedang beraksi mencucut buah mangga yang sudah ranum.
Dipastikan ada yang terjatuh dan itulah yang jadi rebutan, kecuali yang jatuh ke sungai atau di area pekuburan.
Hingga subuh anak-anak menunggu, mujur bisa membawa pulang sekeranjang jala-jala, sungguh membahagiakan kenangan masa kanak itu.
Bersepeda Sampai Ke Paddangeng dan Pekkae
AYAHKU/ amboku La Fiabang bersama ponakannya La Talla, sepupuku mengumpulkan hasil bumi / padangkang lalu diangkut dengan truk terbuka ke Juppandang/Makassar melalui wilayah gerembolan La Ringgi, Amparita dan pebukitan Lawowoi, bagaimana bisa lolos dari hadangan. Itu cerita menarik.
Saya tau kemudian dari cerita Pung Tatta, bahwa oto/mobil yang mengangkut hasil bumi itu miliknya Puang Tobo, Kepala Lapao Soppeng Riaja yang begitu disegani oleh para gerombolan.
Dengan sepeda yang ditinggal ayah, saya pakai belajar mengendarai sepeda ke Paddangeng dan Pekkae.
Begitu sayangnya Ambo Fiabang pada puteranya dimasa kecil.
Saya tumbuh menyerap Pangadereng di Saoraja.
Kedua orang tua saya yang yang selalu membawa ke Saoraja.
Hingga turunan Datupun selalu merawat hubungan kekerabatan itu.
Saya dapat merasakan hal itu yang puluhan tahun merantau dan tetap mengingatnya hingga saya menikah.
Kerabat Datupun terlibat mendukungnya antra lain dengan mengizinkn saya memakai perangkat kebesaran adat perkawinan Anak Karung.
Beberapa saat setelah menikah, saya dan keluarga sering pulang puasa lebaran dan saya dapatkan shalat tarwih warga di Saoraja.
Lalu saya ke Petta, mohon izin untuk membeli dua petak lahan peruntukan mushallah di lahan yang sekarang berdiri masjid Annur Ihsan atas kesungguhan dan kerja keras Petta Mammud dan Petta Rusli bersaudara.
Masjid ini terbangun sebagi bakti amal jariyah anak kepada orangtua dan leluhurnya, aamiin.
Saat ini pun dengan melihat masjid itu, merasakan arwah Petta Mammud tetap hadir, kita hanya berbeda alam, bila Datu dan turunannya mangkat sebut Mallinrungni/ Lesuni Ripammasena PuangngE, semoga Petta mendapatkan tempat terbaik disisinya, Al Fatiha, aamiin.
Ada Pung Bunia dan Petta Rusli sekeluaga yang selalu menyapa, topada salama to siallapereng sungek, aamiim.
Legolego Ciliwung 26 Juli 2023