Selama Pandemi, Udhin FM Tetap Berkesenian Dalam Rumah

0
1128
Udhin FM (kiri) bersama koleganya di Ba'ngopi,Palu. Di tempat ini pula seniman Palu kerap mengadakan diskusi lintas seni.
- Advertisement -

PINISI.co.id- Pandemi global memaksa miliaran orang di seluruh dunia bekerja dalam rumah. Bagaimana dengan pekerja seni yang lazimnya bekerja di luar ruang; tersebab seniman memerlukan kerumuman penonton dan tempik sorak.

Namun, virus korona yang mengandung penyakit Covid-19 ini membuat seniman tetap kreatif. Virus tidak mampu membatasi ruang seniman untuk terus berkarya.

Begitulah pada Udhin FM, seniman serba bisa yang tinggal di Palu, mementaskan tarian  “Siklus Covid19”. Udhin yang juga pengurus KKSS Sulawesi Tengah ini, merespon virus lewat gerakan-gerakan ritmis, mengentak, dan mengikuti irama angin untuk menstimulus tariannya.   

Bermula dari tidur, ia terbagun dari kasurnya dan menyadari bahwa dunia tengah didera wabah. Pikirannya berkecamuk, ihwal bencana dari hulu ke hilir.  Mata dunia membelalak seketika lalu panik. Kematian demi kematian manusia tak pandang bulu. Korona merenggut, kesendirian meregang nyawa, pilu tak bertepi, suram tak tertengok, tertanam dalam kesepian.

Ini ungkapan-ungkapan liris yang tercetus dalam hati perupa dan pegiat sosial ini.

- Advertisement -

Ditingkahi tiga musik perkusi, antara lain gong yang berbunyi datar dan siklus, Udhin terus meliuk-liukkan tubuh ringkihnya, meruang dalam kafenya yang tutup selama pandemi. Ia menatap nanar, kadang dengan mata nyalang, sambil jari jemarinya gemulai menekuk dan adakalanya mengentak mirip orang yang terpapar virus.

Sementara dalam hatinya melantun doa sebagai satu-satunya kelanggengan dalam jihad, sebagai pelipur lara. “Kita hanya daging yang bernyawa, meradang dalam keselamatan jiwa, terkurung dalam sangkar rumah yang tak lain adalah surgamu,” tuturnya dalam puisi.   

Tarian tunggalnya, menyiratkan keluh kesah, marah, benci, muak, putus asa, namun apa daya Udhin ingin hidup seratus tahun lagi, harus bangkit, harus semangat, sekalipun menahan rasa penuh mawas diri, segala daya dan upaya, demi memutuskan mata rantaimu sekalipun itu baja berlapiskan emas, tak peduli nyawapun taruhannya, pergilah, matilah dan jangan pernah kembali lagi.

Begitu suara hatinya meletup-letup.         

Dalam sebuah langkah, Udhin kemudian masuk ke drum, menyeruput air dari selang. Ia kemudian keluar, mungkin mencari makan, namun yang ditemuinya dua kaleng cat berwarna primer. Ia memamah, dan membaluri seluruh mukanya dengan cat. Mungkin juga dalam cat itu ada jejak virus membuat ia tidur panjang dalam tidurnya, sampai ia mengakhiri pertunjukan ini dengan ironi. Seperti rombongan Covid-19 yang mencabut nyawa.

Menurut Udhin, pentas seninya adalah sebuah bukti bahwa seni tak pernah mati sekalipun pentas di rumah tanpa penonton. “Siapa peduli maka dialah pemenangnya. Sebelum korona beranjak sebaiknya di rumah saja” pesan koregrafer dan dewan senior Lembaga Seni Budaya Bantaya Sulteng ini. 

Tarian ini divedeokan dan dipentaskan di Ba’ngopi, Palu, 4 Mei lalu.

[Lip]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here