UU Omnibus Kesehatan dan Kebutuhan Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan

0
713
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

UU Omnibus Kesehatan 2023 meski telah disahkan, namun tetap menuai kontrovesi. Ada yang mendukung dan ada yang pula yang menolak. Alasan pihak yang menolak dapat dibaca diberbagai media.

Sementara alasan pihak yang mendukung pun dapat pula dibaca di berbagai media terutama di media sosial. Pihak yang mendukung acap kali mengatakan bahwa UU Omnibus Kesehatan 2023 adalah untuk kepentingan rakyat. Pembentuk UU juga sering mengatakan seperti itu.

Ada pula yang mengatakan, ”UU Omnibus Kesehatan 2023 memang bukan UU Organisasi Profesi dan Tenaga Kesehatan, melainkan public health law sebagai dasar transformasi kesehatan yang komprehensif”.

Enam pilar kebijakan Transformasi Kesehatan yang dijadikan alasan oleh Kementerian untuk membentuk UU Omnibus Kesehatan 2023: 1) Transformasi Layanan Primer, 20 Transformasi Layanan Rujukan, 3) Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, 4) Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan, 5) Transformasi SDM Kesehatan, dan 6) Transformasi Teknologi Kesehatan.

- Advertisement -

Penyebutan kata atau istilah “komprehensif” tentu saja tidak salah sebab memang tertera di dalam konsederan UU Omnibus Kesehatan yang merupakan buah dari kebijakan transformasi kesehatan Kementerian Kesehatan. Bahkan terdapat pula kata, “integratif dan holistik.”

Selanjutnya, perhatikan definisi yang tertera di dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 1 UU Omnibus Kesehatan 2023. Tertulis: “Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.”

Bandingkan dengan UU Kesehatan sebelumnya. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

UU No. 9 Tahun 1960 tentang Kesehatan: “Yang dimaksud dengan kesehatan dalam Undang-undang ini ialah yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.”

Tampaknya pengertian kesehatan yang tertera di dalam UU No. 9 Tahun 1960 di atas diadopsi langsung dari definsi sehat WHO (1948). WHO (1948) mengatakan sehat tidak hanya terbatas pada masalah fisik semata, tapi juga masalah mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.

Definisi WHO tersebut dapat dikatakan bahwa capaian akhir dari kesehatan fisik, mental, dan sisial sebetulnya bukan hanya heath atau sehat semata, melainkan wellness atau tindakan mempraktikkan perilaku sehat secara terus-menerus.

UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 menambahkan frasa, “yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Frasa ini seolah-olah keadaan sehatnya manusia Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa hanya diperuntukkan untuk menjadi “mesin” produksi atau produktif di sektor sosial dan ekonomi.

Sementara UU Omnibus Kesehatan 2023 hanya menyebutkan untuk memungkinkannya hidup produktif. Tidak dijelaskan produktif secara apa dan di bidang apa?

UU Omnibus Kesehatan 2023 memang menyebutkan “Sehat Sosial” dalam definisi, namun tidak ditemukan pembahasan di dalam batang tubuhnya. Padahal manusia dikatakan sehat seutuhkan bila sosialnya juga sehat. Karena itu UU Omnibus Kesehatan bukan hanya lahir prematur, namun juga “cacat kongenital”.

Persoalan lain muncul karena ada yang menyebut UU Omnibus Kesehatan 2023 sebagai UU Kesehatan Publik atau public health law saja. Mereka hendak melupakan bahwa UU tersebut telah menghapuskan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; UU No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan; UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, kemudian menggabungkan menjadi UU baru.

Kalau pun mau disebut UU Kesehatan Publik tentu juga kurang pas. Mengapa kurang pas? Sebab tidak satu pasal pun di dalam batang tubuh UU tersebut yang membahas tentang Air Bersih dan Ketersediaannya, Udara Bersih, dan Ruang Terbuka Tak Berbayar untuk Berolahraga dan Rekreasi.

Padahal udara bersih, air bersih, ruang terbuka yang tak berbayar untuk olahraga dan rekreasi adalah komponen utama dan kebutuhan mendasar bagi publik untuk hidup sehat.

Semua orang juga tahu bahwa air bersih dibutuhkan untuk water sanitation and hygiene (WASH). Dan air secara umum dibutuhkan untuk keperluan untuk bersuci saat ingin beribdah kepada Allah, sumber energi terbarukan, pertanian dan perkebunan, olahraga dan wisata, industri, pertambangan, dan petahanan dan keamanan. Air juga dibutuhkan untuk pelayanan kepada orang yang telah meninggal dunia, seperti memandikan jenazah.

Air bersih adalah kebutuhan sangat urgen saat bencana (sekali pun dalam kondisi banjir) dan pandemi. Namun demikian ketersediaan air bersih sering disepelekan. Buktinya, baru saja pandemi berlalu, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU Omnibus Kesehatan sudah melupakan pentingnya air bersih.

Krisis air bersih dapat menyebakan konflik dan perang. Dan di dalam perang sumber air bersih sering-kali menjadi rebutan. Menurut mereka yang berperang, “siapa yang menguasai sumber air bersih dialah yang menjadi pemenang.”

Selain itu masalah krusial terkait kesehatan masyarat ialah ditiadakannya mandatory spending dan tidak adanya pembahasan tentang Pemimpin dan Kepemimpinan di bidang kesehatan. Padahal masalah besar yang dihadapi sektor kesehatan saat ini bukan sekadar SDM kesehatan, tapi soal pemimpin dan kepempinan.

Bidang kesehatan sangat membutuhkan kepemimpinan yang menginspirasi, mempersatukan gagasan (tidak memecah belah), membangun kesetaraan, dan membangun kolaborasi untuk mencapai cita-cita bersama.

Catatan Akhir

Bila ada kebijakan transformasi kesehatan, apalagi kesehatan masyarakat, tapi minus serta terabaikannya kesehatan sosial, udara bersih, air bersih, ruang terbuka tak berbayar untuk berolahraga dan rekreasi, kepastian anggaran, dan kepemimpinan, lalu transformasi kesehatan apa yang diharapkan? Dan, apanya yang integratif, holistik dan komprehensif? Billahit Taufik Walhidayah.

Penulis, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, perode 2012-2015

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here