Mengenang Nirwan Ahmad Arsuka :  Membaca dan Menafsir Gerakan Nurani dan Pemikirannya

0
531
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

BERSYUKUR, dapat menarasikan judul itu, belum pernah bertemu fisik dan almarhum boleh jadi tidak mengenal saya yang terpaut jauh umurnya.

Mengenalnya dari media dan pembicaraan dengan sejumlah komunitas pemerhati budaya antaranya Kak Aspar Paturusi, Zulfikar Yunus dan Alif we Onggang.

Dari situ mengetahui bahwa NAA ini seorang inovator dan penggerak pemasyarakatan buku-buku bacaan kepada generasi yang terisolasi jauh dari akses pencerdasan anak bangsa.

Apa yang perlu dilakukan? Tidak menunggu datangnya fasilitas, restu dan legalitas dari birokrasi  pemerintahan yang responsif tanggap.

- Advertisement -

Dengan apa yang dimiliki oleh NAA bergerak, turun naik gunung, menyebrang sungai, menerobos jalan setapak dan menanjak mendatangi anak-anak di perkampungan nan jauh sana.

Berhari dan berbulan tak ada keluh kesah dengan ikhlas sukacita ia lakukan tanpa pamrih, terpilih manusia yang mendapatkan amanah melakoni hal seperti itu, dan itulah legasi dari seorang putra bangsa yang dilahirkan di tanah Bugis: Tanete Riaja salah satu daerah yang melahirkan To Acca/ To Sulesana/ Panrita.

Bersama Prof. Nurhayati Rahman, mereka aktif melakukan revitalisasi kebudayaan Sulawesi Selatan.  Ketika Nurhayati sudah doktor dan kembali di Makassar, Nurhayati diserahi tugas oleh Rektor untuk memimpin lembaga kecil-kecilan yaitu “Divisi Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas” yang membawahi “Pusat Studi La Galigo”. Dan NAA adalah juru bicara La Galigo yang mumpuni di sejumlah negara.

Akan lahirkan generasi berikutnya seperti itu …

Kemudian dengan Andi Nurhayati Rahman yang menghadiahkan dua buku refrensi : La Galigo Menelusuri Jejak Sastra Dunia, 20O3 dan Mendayung di Tengah Gelombang Zaman Guru Besar Universitas Hasanuddin 1956 – 2002, tahun 2005.

Kedua buku itu diberikan pada tahun 2005 yang belum saya tanyakan mengapa saya dibekali dua buku berharga itu, sedangkan saya ini bukan akademisi, apa harapan beliau ?

Fokus ke buku La Galigo itu, saya baru baca intens buju itu di tahun 2021, artinya 16 tahun kemudian, buku setebal itu saya baca selesai 556 halaman selama dua bulan penuh dengan garis coretan yang perlu dibaca berulang dari 31 nara sumber.

Tiba pada ke dua tulisan NAA itu di buku Ls Galigo itu, saya seperti sedang membaca esai yang kaya dengan nuansa gagasan dan dengan referensi La Galigo dan Canon Satra Dunia Penemuan dan Penciptaan Manusia, 26 halaman dan La Galigo, Odisei, Trah Buendia, 28 halaman dengan 9 referensi pustakanya.

Tulisan itu termuat dalam edisi khusus Harian KOMPAS pada 1OOO tahun Nusantara, 11 Januari, 2000.

Di halaman akhir tulisan itu, saya memberi catatan : Saya perlu membaca berulang untuk memahami makna yang tersirat dari penafsiran itu, untuk di bagian mana yang menjadi pelestarian warisan dan di bagian mana yang dapat di aktualisasikan menjadi nilai-nilai kehidupan dan berdemokrasi masa kini.

NAA kelahiran Kampung Ulo, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 6 September 1967, telah pulang ke pangkuan Ilahi, dan dimakamkan di kampungnya di Desa Lepee, Barru, 8 Agustus 2023.

Selamat jalan silesureng, kami teruskan yang telah dirintis tulisan tulisan dan gerakanmu abadi sumber inspirasi kami.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here