Oleh Imran Duse
Alhamdulillah, saya kembali berkesempatan mengikuti kuliah daring Ramadan BPP KKSS (8/5/2020), yang menghadirkan pembicara Prof. Dr. H. Hafid Abbas dengan moderator Prof. Dr. H. Awaluddin Tjalla. Seperti empat kuliah sebelumnya, juga diikuti peserta dari dalam dan luar negeri.
Selama ini, Prof. Hafid Abbas dikenal sebagai tokoh Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelumnya Konsultan Internasional UNESCO untuk Kawasan Asia-Pasifik (1992-1995), Direktur Jendral HAM Depkumham RI (2001-2006), Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI (2012-2017), dan saat ini Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Prof. Hafid Abbas mengawali kajiannya dengan mengutip Surah Al-Ashr. Menurutnya, surah ini memang tergolong pendek, hanya terdiri tiga ayat, tetapi mengandung pesan yang sangat serius. Allah SWT menyampaikan pentingnya menggunakan setiap waktu yang dilalui untuk berbuat amal saleh dan senantiasa bersabar supaya tidak termasuk golongan mereka yang merugi.
Penghayatan demikian boleh jadi memotivasi Syekh Yusuf Al-Makassari (kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626) hingga berjuang di Afrika Selatan. Di sebuah tempat ‘pembuangan’ nun jauh dari tanah leluhurnya, Syekh Yusuf tidaklah ingin merugi. Pada setiap waktu digunakannya sebagai ladang amal: mengajari murid-muridnya dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang ia yakini. Hingga kemudian menghembuskan nafas terakhir di Cafe Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699.
Tentang ini, Prof. Hafid punya cerita. Dalam dua kali kunjungannya ke kediamanan Nelson Mandela, tokoh revolusioner antiapartheid dan Presiden Afrika Selatan (1994-1999) itu selalu menyinggung sosok Syekh Yusuf dengan penuh kehangatan. Nelson Mandela –yang dalam sejumlah forum resmi menyebut Syekh Yusuf Al-Makassari sebagai “salah satu putra terbaik Afrika”– menyebutkan ada empat keutamaan Syekh Yusuf dibanding dengan dirinya.
“Pertama, Syekh Yusuf berjuang demi kemanusiaan, sedangkan aku untuk bangsaku. Kedua, dia dibantu orang yang tak dikenalnya, sedangkan aku dibantu orang-orang yang mengenalku. Ketiga, dia berjuang bukan di tanah kelahirannya, sedang aku dilahirkan di sini. Dan, keempat, dia berjuang dan tak menikmati hasil perjuangannya, sementara aku bahkan bisa menjadi presiden,” kata Prof. Hafid menirukan ucapan Nelson Mandela kepadanya.
Oleh karena itu, Syekh Yusuf Al-Makassari mendapat tempat terhormat di hati masyarakat Afrika Selatan, sampai hari ini. Hingga pada 2009 dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki kepada ahli warisnya, dan disaksikan Wakil Presiden RI, Drs. H.M. Jusuf Kalla.
Sebelumnya, pada 1995, Presiden Soeharto memberikan gelar Pahlawan Nasional. Sehingga barangkali Syekh Yusuf satu-satunya orang di dunia yang memiliki dua gelar Pahlawan Nasional dari dua negara berbeda dan lintas benua.
Nilai-nilai budaya yang kuat telah memengaruhi transformasi manusia Bugis-Makassar-Toraja-Mandar (selanjutnya disingkat Bugis-Makassar) di manapun ia berada. Dan itu juga berlangsung dalam periode perjuangan kemerdekaan, di mana masyarakat Bugis-Makassar ikut bersama warga bangsa lainnya dalam melawan kolonial.
Termasuk juga dalam sejarah Indonesia modern. Ketika terjadi transisi politik di tahun 1998, sejumlah orang Bugis-Makassar memegang kendali kekuasaan. Sebutlah Presiden RI Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Jaksa Agung Andi M. Ghalib, Menteri BUMN Tanri Abeng yang menyelamatkan BUMN, Menteri Penerangan M. Yunus Yospiah yang membuka kebebasan pers, Menteri Negara Otonomi Daerah Prof. Dr. Ryaas Rasyid yang merumuskan sistem desentralistik, dan sebagainya.
Pada era reformasi kita juga mencatat Drs. H.M. Jusuf Kalla sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa sebagai Menteri Kehakiman, dan Prof. Dr. H. Alwi Shihab sebagai Menteri Luar Negeri.
Dan kita bersyukur bahwa negeri ini terhindar dari ramalan buruk banyak pihak. Kita ketahui, bahkan negara sebesar Uni Soviet akhirnya runtuh berkeping-keping menjadi 15 negara baru yang independen. Begitu juga Yugoslavia, salah satu negara balkan, yang juga hancur menjadi serpihan negara-negara kecil.
Tentu bukan semata karena faktor orang Bugis-Makassar. Tetapi, peran dan andil orang-orang Bugis-Makassar dalam proses transisi politik ketika itu tentu bukanlah kecil. Jejak kontributifnya terekam dengan baik oleh pena sejarah.
Menurut Prof. Hafid Abbas, setidaknya ada empat nilai atau etos manusia Bugis-Makassar yang luar biasa. Pertama, adaptif, yakni mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan tempatnya berada. Kedua, fokus pada tujuan. Dia tidak akan berhenti hingga mencapai cita-citanya. Bahkan tujuannya ia gambarkan terlebih dahulu, sebelum kemudian memulai sesuatu.
Ketiga, kemampuan merawat ukhuwah. Ini terbukti dengan para saudagar dan warga KKSS yang ada di seluruh nusantara dan bahkan dunia. Tanpa kemampuan membangun dan merawat ukhuwah, tentu akan sulit untuk bertumbuh dan survive. Dan, keempat, adalah adanya seperangkat nilai yang mengalir dalam darahnya, yakni ‘macca’ (pintar), ‘warani’ (berani), ‘malempu’ (jujur), dan ‘getteng’ (berintegritas).
Lebih jauh, Prof. Hafid menguraikan keempat etos manusia Bugis-Makassar itu memiliki kemiripan dengan empat kebiasaan masyarakat Jepang, yang kini tumbuh menjadi raksasa.
Keempat kebiasaan itu adalah, pertama, menghargai budaya. Kita menyaksikan, bagaimana di Jepang pakaian kimono dan alat makan sumpit tetap dilestarikan dengan penuh kebanggaan. Kedua, memiliki falsafah untuk selalu menjadi yang terbaik, dalam bidang profesi apapun yang dikerjakan. Kalau dia tukang sapu, selalu ingin menjadi tukang sapu terbaik. Manajer selalu mau menjadi manajer terbaik, dan seterusnya.
Ketiga, semangat kompetitif yang tinggi. Mereka selalu akan menampilkan keunggulan dan malu jika melanggar etika publik, apalagi jika melanggar hukum. Karena itu, pernah terjadi di Jepang seorang menteri mengundurkan diri karena terbukti menerima sogokan sekira Rp 25 juta dari tetangganya saat kampanye. Dan, keempat, masyarakatnya yang gemar membaca.
Prof. Hafid lalu mengutip Peter Drucker, pakar manajemen abad 20, yang menyatakan sebenarnya tidak ada negara besar atau kecil. Juga tidak ada perusahaan besar atau kecil. Yang ada adalah negara yang dikelola dengan serius dan negara yang salah kelola; perusahaan yang dikelola serius dan perusahaan yang salah kelola, dan seterusnya.
Itulah yang menjelaskan mengapa Korea Selatan –negara yang dalam banyak aspek dulu berada di bawah Indonesia– kini tumbuh baik sebagai negara maju. Begitu juga Jepang, yang pernah luluhlantak akibat bom atom, tapi kemudian berkembang menjadi negara maju dengan pengelolaan yang baik. Atau Singapura, yang luasnya bahkan hanya sepertujuh dari Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan.
Selain itikad dan pengelolaan yang serius, sebuah negara juga dapat maju dengan memelihara nilai-nilai yang tumbuh dalam kebudayaan mereka. Indonesia sungguh berpeluang menjadi negara maju, karena memiliki nilai-nilai budaya yang cukup kuat. Barangkali itu!
Ir. H. Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kalimantan Timur dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI.