Kolom Muchlis Patahna
Zaman niscaya berubah, dan setiap zaman punya anak kandung sendiri. Bisa saja zaman sekarang adalah pengulangan zaman dulu.
Misalnya zaman jahiliah. Ia adalah hukum rimba, karena tidak ada aturan dan ketertiban hukum; yang kuat memangsa yang lemah (sianre bale), korupsi masif dan merajalela. Inilah peradaban terendah umat manusia.
Bangsa Indonesia yang digolongkan negara modern sudah barang tentu berlandaskan pada norma hukum. Segenap prinsip-prinsip bernegara sejatinya taat terhadap norma hukum tersebut. Filosofinya Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Negara hukum (Machtstaat) hanya tumbuh di negara yang menganut sistem demokrasi, sebaliknya negara berdasarkan kekuasaan (Machtstaat) adalah negara yang menganut faham monarki.
Jadi semangat yang diperjuangkan Orde Reformasi pada 1998 dalam memberantas KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) hingga ke akar-akarnya diniatkan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Itulah sebabnya Orde Baru tumbang karena kentalnya KKN.
Orde Reformasi lahir dan masyarakat menyambut dengan eforia akan terbitnya pemerintahan baru yang anti KKN.
Awal-awalnya ada harapan. Pemerintahan baru lahir dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Akan tetapi dari waktu ke waktu, pemerintah berganti dan tidak terasa reformasi telah berusia 25 tahun.
Apa hasilnya? Apa yang diimpikan reformasi mencapai titik nadir karena banyaknya penyelewengan kekuasaan. Orang tidak pernah belajar dari sejarah. Di ujung pemerintahan Joko Widodo, gejala otoritarian mencuat kembali. Buktinya indeks demokrasi menurun, lembaga tinggi negara dijadikan instrumen penguasa untuk menekan lawan politik. Masyarakat sipil terbelah, partai politik dikooptasi.
Ironisnya pula, aroma dinasti politik penguasa, dalam hal ini Presiden Jokowi memanfaatkan instrumen hukum untuk memberi karpet merah kepada putranya untuk menjadi cawapres. Ini tak lebih dari politik sayang anak.
Selain itu, penguasa menggunakan data intelijen negara untuk mengawasi partai dan lawan politiknya. Bahkan, muncul rumor bahwa Presiden memiliki kartu truf semua partai politik.
Kita merasakan bahwa ini adalah politik penjara. Ketua partai hampir semua tersangkut masalah hukum, sehingga kalau tidak ikut kemauan politik presiden, maka bisa jadi akan dimunaslubkan, dipanggil KPK, Kejaksaan dan ujung-ujungnya masuk penjara.
Isu terkini, sekiranya Khofifah Parawansa tidak bergabung ke tim Prabowo, maka “politik penjara” kembali dimainkan.
Dan drama politik pun makin panas menjelang Pilpres 2024.