PINISI.co.id- Sepekan lagi orang merayakan Lebaran Idul Fitri, namun gegara pandemi Covid, terbit putusan pemerintah yang melarang orang mudik ke kampung halamannya masing-masing. Hal ini untuk memangkas penyebaran virus korona baru yang menghasilkan penyakit Covid-19.
Alhasil perkara mudik dan pulang kampung sempat heboh, bahkan menyeret organ pemerintah dan rakyat untuk saling silang pendapat ihwal pulang kampung. Yang satu membolehkan, eh satunya lagi melarang. Yang jelas, bakal ada ribuan yang tetap nekat pulang kampung dengan berbagai cara. Menyelundup di mobil truk, naik sepeda motor lewat jalan tikus, atau pura-pura naik ambulans.
Namun buat suku Bugis Makassar (Mandar dan Toraja) yang dikenal sebagai komunitas yang DNA-nya memang gemar merantau, jauh sejak abad lampau, perkara mudik tidak terlalu pusing baginya. Apa pasal? Sebab tempatnya mencari nafkah dianggap sebagai kampung sendiri. Bahkan tak jarang dilihat sebagai kampung pertama.
Apakah Perdana Menteri Malaysia Muhyuddin Yassin kalau ingin merayakan Lebaran harus ke Wajo? Tidak. Ia mudik ke Johor, daerah kelahirannya, di mana orang Bugis pernah menjadi raja di Kesultanan Johor. Atau mungkin ke Benut, Johor Baru, yang sampai kini mudah kita jumpai gedung Wisma Daeng Jarrek, Lapangan Upacara Ma’Jallok. Penanda kota Benut sendiri adalah badik terhunus di mana di kedua bilahnya tertera aksara lontara.
Sejawatnya PM Malaysia sebelumnya, Nadjib Razak, kalau berhari raya, tidak pernah ke Sungguminasa, asal leluhurnya, tetapi ke Pahang, tempat di mana turunan raja Gowa membangun dinasti.
Pada generasi sekarang juga serupa. M. Yusuf, kalau pulang kampung bukan ke tanah leluhurnya di Bone, akan tetapi ke Kuala Enok, Riau. Karena di sanalah pria yang fasih berbahasa Bugis ini, dibesarkan oleh orangtuanya yang puluhan tahun menjadi penduduk setempat. “Saya sendiri belum pernah ke Bone,” kata ayah dua anak ini.
Pantas saat PINISI.co.id menanyakan Pantai Losari, Yusuf tampak kebingungan. Pantai kebanggaan penduduk kota Makassar itu ia cuma bisa pandang lewat televisi di rumahnya di Depok, Jawa Barat.
Bagaimana dengan Maharia Sanre? Guru dan aktivis lingkungan di Jakarta ini jika hendak pulang kampung, bukan ke Jeneponto, melainkan ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Di pulau itu, Maharia mendidik warga menciptakan lingkungan bersih sehingga pulau itu terbebas dari sampah Ibu Kota. Prestasinya membuahkan Piala Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup. Sampai kini Maharia tetap mempertahankan nilai-nilai dan prinsip budaya Makassar seperti siri na pacce.
Andi Bakri, politisi beken dari PAN, yang tinggal di Jakarta, bila hendak mudik bukan ke Bone, namun ke Jambi. Di kota inilah orangtuanya mengembangkan hidup hingga membesarkan Bakri sebagai pengusaha dan politisi. Kini Bakri berniat untuk maju sebagai calon Gubernur Jambi. Penggunaan bahasa ibu dan gelaran perkawinan tetap dipertahankan menggunakan adat Bugis. “Budaya masih kita pegang erat dan terus dipelihara,“ kata Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Jambi ini.
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalititi bukan ke kampungnya di Enrekang jika tiba hari raya Idul Fitri. Dia pulang kampung ke Surabaya. Di kota buaya itu, keluarga La Nyalla menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah kota itu.
Tak jauh berbeda dengan politisi Golkar Idris Laena. Apabila mudik ke kampung, ia tidak memilih Bone, melainkan ke Pulau Kijang, Riau. Di Pulau Kijang, orang-orang Bugis mengganggap daerah ini merupakan tanah tumpah darahnya.
Mirip dengan nasib Agusnawati. Perempuan bercucu satu, yang tinggal di Jakarta ini, selalu mudik ke Palu, meskipun genetiknya 100 persen Soppeng. Pasalnya, di Palu, orangtuanya merenda hidup sebagai mana orang-orang Soppeng yang berwirausaha di situ.
Pun Nurhasanah yang tinggal di Bandung tidak mudik ke kampung ke Sidrap menjelang Lebaran. Ia melepaskan rindu ke Samarinda Seberang, di mana banyak orang-orang sekampungnya menetap, termasuk sanak keluarganya. “Saya lebih banyak ke Jakarta daripada ke Sidrap,” katanya.
Begitu faktanya. Banyak orang Bugis Makassar yang tidak mudik apabila hari Lebaran datang. Daerah tempatan merupakan kampung halamannya sendiri. Tak heran jika di mana-mana, di seluruh Tanah Air, mudah didapati Kampung Makassar, atau Kampung Bugis. Terbitlah istilah Bugis Pagatan (Kalimantan Selatan) Bugis Tolitoli (Sulawesi Tengah) Bugis Tembilahan (Riau), Bugis Serangan (Bali) Bugis Johor, Bugis Singapura, dan seterusnya.
Sesepuh orang Sulawesi Selatan Jusuf Kalla sering mengatakan, bahwa orang Bugis Makassar mudik baru setelah hari Lebaran. “Kalau orang Jawa mudik sebelum Lebaran, sebaliknya orang Bugis Makassar pulang kampung setelah bersilaturahmi dulu ke tetangganya,” kata Kalla.
Pulang kampung dalam konsep Kalla, adalah mudik di zaman ketika banyak orang Sulawesi Selatan mencapai taraf kelas menengah baru. Ketika moda trasportasi mudah dan murah diakses. Namun, pulang kampung bukan merupakan kewajiban.
Pada akhirnya, orang Bugis Makassar sudah kadung memandang bahwa daerah tempatan tak ubahnya adalah kampung sendiri. Jangan diherankan jika mereka getol membangun kehidupan baru situ. Bahkan berinvestasi dan sering lupa menanamkan uangnya di kampung asalnya. Di rantaulah, atau di kampung pertamanya ia hidup hingga menutup mata.
Namun tidak sedikit yang bingung jika hendak mudik. Jaenal Mappe misalnya, lahir di Sengkang, sukses di Gorontalo, berkembang di Makassar, dan pesat di Jakarta. Semua kota tempat bisnisnya berkecambah, sehingga dianggap adalah kampungnya sendiri.
Jangan-jangan memang orang Bugis Makassar banyak kampungnya. Di mana kaki memijak, di situlah kampung halamannya.
[Alif we Onggang]