PINISI. co.id – Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperpanjang aturan jam malam untuk 25 kota di 16 negara bagian menyusul kerusuhan rasial yang meletup 28 Mei 2020 lalu. Sejumlah kota yang dihuni warga Sulawesi Selatan seperti di New York, Texas, Washington, Chicago terus bersiaga untuk terhindar dari kerusuhan.
Aturan jam malam diberlakukan sebagai langkah antisipasi meluasnya kerusuhan di tengah aksi protes atas kematian George Floyd, seorang warga berkulit hitam di Minneapolis, Minnesota, Senin 25 Mei.
Aksi unjuk rasa memerotes tindakan rasialis tersebut mendorong warga Sulsel turun ke jalan bersama ribuan demonstran lainnya merangsek Gedung Putih di Washington, Minggu (31/5/20).
Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Houston Irwan Thamrin Tantu mengajak istri dan putranya bergabung dengan pengunjuk rasa lainnya meneriakkan yel yel seraya membawa poster antirasis. Namun, pendemo tidak bisa masuk ke pagar Gedung Putih karena dalam keadaan terkunci.
“Jadi demonstran dimundurkan sejauh satu taman. Begitu kami tinggalkan Gedung Putih, terjadi pembakaran di sana sini. Bahkan bom molotov dilempar oleh para penyusup kerusuhan,” jelas Irwan yang menambahkan bahwa sampai pukul 23.00 Minggu malam (31/5) waktu setempat masih ada pertarungan antara polisi dengan para penyusup.
“Saya juga tengah menggalang keamanan masyarakat Muslim di AS untung menentang rasialisme. Memang sudah keterlaluan sikap rasis kulit putih terhadap orang-orang yang berwarna, termasuk kita, orang Asia,” ujar Irwan kepada PINISI.co.id.
Menurut pria asal Pangkep ini, kentalnya sikap rasis kulit putih karena mereka merasa terlindungi oleh hukum dan Presiden Trump. “Dalam dua bulan ini ada tiga orang kulit hitam yang dibunuh tanpa adanya peradilan,” ucap Irwan sedih.
Padahal, menurut pengakuan Irwan tuntutannya tak lebih dari perlakuan yang sama di depan hukum, keadilan dan jaminan hak azasi manusia sebagaima bunyi konstitusi AS.
Ketua KKSS New York Mustari Siara mengutarakan, hingga saat ini warga KKSS di New York terkendali. “Warga Indonesia aman dan KJRI New York sudah mengimbau untuk hati-hati dan hindari bila ada kerumunan massa. Warga KKSS juga aman,” katanya dalam pesan WhatsApp.
Tokoh muslim New York asal Bulukumba Imam Shamsi Ali menyayangkan ketika ada pihak-pihak yang dengan simplistik hanya melihat kesalahan itu dari permukaan peristiwa yang terjadi. Hanya menyalahkan perilaku anarkis tanpa ada keinginan moral untuk melihat lebih jauh di balik dari anarkis itu.
“Kekisruhan yang kita saksikan di Amerika saat ini sesungguhnya tidak harus mengejutkan banyak kalangan. Semua ini menjadi sesuatu yang (expected) terjadi kapan-kapan saja jika menemukan pemicunya. Dan insiden kekerasan kepada minoritas, khususnya Afro American bukan barang baru. Kejadian dari masa ke masa, dan menimbulkan reaksi yang sama bahkan lebih dahsyat dari kejadian saat ini terlalu banyak untuk diingat-ingat kembali,” ujar Direktur Jamaica Islam New York Center ini, seperti dikutip dalam kolomnya, Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan, (1/6/20).
Shamsi berpendapat, kekerasan demi kekerasan yang kerap terjadi kepada kaum minoritas di Amerika adalah indikasi adanya paham ras superior di kalangan mayoritas putih di Amerika. Puncak dari paham superioritàs ini terwujud belakangan ini dengan istilah “white supremacy”. Yang kemudikan melahirkan politisi-politisi ekstrim dan rasis seperti Presiden Amerika saat ini.
“Rasisme di Amerika sekali lagi bukan barang baru. Bahkan sejujurnya seolah telah menjadi “trade mark” tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Dari masa ke masa minoritas di negara ini mendapat perlakukan yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan konstitusi negara sendiri,” imbuh pemuka lintas agama di AS ini.
Kemenangan Donald Trump, di mata Shamsi, yang salah satunya mengusung isu ras dalam kampanye pemilu menjawab asumsi bahwa kaum putih ingin balas dendam kepada non White yang seolah kemenangannya diwakili oleh kemenangan Barack Obama ketika itu. Dan itu terlihat dengan berbagai kebijakan Donald Trump yang anti Obama. Bahkan kebencian Trump secara pribadi kepada Obama mengindikasikan itu semua.
“Pernyatan Donald Trump menyikapi beberapa kejadian rasisme akhir-akhir ini tidak bisa lagi menyembunyikan fakta di atas. Ketika KKK dan kelompok “White Supremacy” melakukan kekerasan, biasanya disikapi secara lunak. Bahkan tidak jarang ada pembelaan. Minimal akan memberikan argumentasi bahwa itu adalah kejadian yang bersifat kasuistik.
Tapi ketika terjadi anarkis yang dilakukan oleh kaum minoritas Minnesota dan beberapa kota lainnya, maka tanpa berpikir panjang dia mengatakan: “when the looting begins, the shooting begins” (kalau terjadi penjarahan maka harusnya juga terjadi penembakan). Karena ini ucapan seorang Presiden maka jadi memiliki dampak di lapangan,” jelas nya.
Dan tampaknya rasialisme di negeri Paman Sam itu tidak berhenti sampai di sini. ( Lip )