Kolom Ahmad Robbani
Baru-baru ini, salah satu tokoh ahli hukum di Indonesia yang juga seorang pebisnis klub malam meresmikan klub malam barunya di Makassar. Klub ini diklaim sebagai yang terbesar dan termegah di kota tersebut.
Namun, peluncuran ini tidak hanya mengundang sorak-sorai para penggemar hiburan malam, tetapi juga menciptakan gelombang protes dari kalangan agamawan dan masyarakat yang memegang teguh filosofi hidup siri’ na pacce.
Siri’ na pacce, filosofi yang erat kaitannya dengan marwah seorang Muslim dan agamanya, menjadi landasan kuat bagi banyak masyarakat Sulawesi Selatan dalam menilai setiap tindakan dan perubahan di lingkungan mereka.
Ustaz Das’ad Latif, tokoh agama terkemuka dari Sulawesi Selatan, menjadi salah satu suara pertama yang mengkritisi pendirian klub malam ini secara terang-terangan di media sosial.
Protesnya dengan cepat disambut oleh para tokoh agama lain, menciptakan resonansi di kalangan umat Islam yang merasa tanah kelahirannya, yang mereka banggakan sebagai kota yang religius, dicemari oleh kehadiran klub malam tersebut.
Menjelang hari raya Idul Adha, yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan refleksi spiritual, masyarakat Muslim di Makassar merasa marwah Islam di tanah mereka telah ternoda.
Tanah kelahiran Sultan Alauddin, yang menerima Islam dengan hati terbuka dan penuh semangat, kini seolah tercoreng di mata anak cucunya.
Semangat perjuangan Sultan Hasanuddin seakan kembali membara, memantik amarah para pemuka Islam yang dengan passapu (ikat kepala) berkibar di atas kepala mereka, menegaskan sikap protes terhadap tindakan yang mereka anggap mencoreng adat siri’ mereka.
Bagaimana mungkin, mereka bertanya, negara yang diperjuangkan dengan semangat Islam bisa ternodai generasi mereka dengan maksiat dan dosa yang terbuka? Filosofi Bugis Tellu Cappa’, yang menyatu dengan semangat Makassar Siri’ na Pacce, seakan tak lagi dihargai.
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menunjukkan respons cepat terhadap isu ini, gerak cepat para ulama di dewan tarjih Muhammadiyah patut menjadi contoh.
Umat butuh literasi dan keputusan yang cepat dan tepat dari para pemimpin mereka untuk mengambil sikap dan memantapkan hati dalam menghadapi isu-isu kekinian.
Masih teringat dengan jelas bagaimana Muhammadiyah dengan tegas menyatakan, “Tidak ada bid’ah hasanah, seluruh bid’ah sesat!” Sikap tegas ini menunjukkan keteguhan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan melindungi masyarakat dari penyimpangan.
Sebagai masyarakat yang beradab dan memiliki pandangan kuat terhadap nilai-nilai agama dan budaya, sudah sepatutnya kita mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap perubahan yang terjadi di lingkungan kita.
Pendirian klub malam termegah di Makassar ini bukan sekadar isu hiburan, melainkan mencerminkan tantangan terhadap nilai-nilai yang telah dijaga turun-temurun.
Mari kita renungkan dan ambil sikap yang bijak demi menjaga marwah dan kehormatan bersama.