Kolom Muchlis Patahna
Untuk pertama kali pemerintah membuka ruang dalam pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan. Namun, kebijakan itu langsung menuai pro-kontra di kalangan masyarakat sipil, bahkan di pihak internal Ormas itu sendiri.
Sebaliknya sebagian besar Ormas keagamaan sudah menyatakan menolak mentah-mentah IUPK tersebut. Seperti diketahui hanya PB NU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) yang mau menerima tawaran pemerintah.
Melalui PP No 25 thn 2024, Pemerintah memberikan ruang bagi Ormas kesgamaan untuk mengelola tambang di Indonesia.
NU adalah ormas keagamaan yang telah mendapat IUP formal dari Pemerintah dan PB NU menerima dengan alasan kebutuhan pendanaan untuk biaya organisasi. Cara pandang ini masih perlu kalkulasi yang mendalam dengan melihat persoalan tambang dari segala sudut pandang. Setelah NU mendapat IUP, alhasil menyisakan kontroversi, dan ternyata sebagian kader NU menolak tawaran pemerintah ini utamanya dari kelompok Gusdurian (pengikut Gus Dur).
Memang keputusan PB NU meninggalkan tanda tanya besar. Apakah reputasi NU sebagai organisasi besar sebanding dengan nilai finansial yang akan didapatkan? Pebisnis papan atas, Warren Buffet mengingatkan bahwa reputasi membutuhkan 20 tahun untuk mencapainya, sebaliknya keruntuhan hanya perlu waktu 5 menit.
Izin formal baru mencai 25%, sementara 75% izin sosial dan masalah yang rumit lainnya dengan berbagai implikasi sosialnya, seperti lingkungan, konflik antarwarga masyarakat.
Patut diingat bahwa Social Licence Operate (SLO), SLO atau ijin sosial ini kerap menjadi batu sandungan yang tidak hanya mengganggu operasional, melainkan juga dapat menghentikan aktivitas pertambangan. Semula mencari untung namun hasilnya buntung. (Bersambung)
Penulis Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS)