Kerancuan Penerbitan SIP Dokter Pasca UU Omnibus Law Kesehatan

0
960
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Sebelum terbitnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau UU Omnibus Law Kesehatan, semua profesi dan tenaga kesehatan sudah memiliki regulasi masing-masing. Profesi dokter misalnya, telah memiliki UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Di dalam UU Praktik Kedoktean 2004 disebutkan alasan mengapa praktik kedokteran itu perlu diatur. Pasal 3 menyebutkan bahwa pengaturan praktik dokter bertujuan untuk: (a) memberi perlindungan kepada pasien; (b) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; (c) memberi kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

Untuk keperluan registrasi, UU Praktik Kedokteran 2004 memerintahkan pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. KKI ini merupakan lembaga independen dalam mengatur dirinya sendiri, sebagaimana Pasal 9 dan 10 UU Praktik Kedokteran 2004. Demikian pula untuk menangani laporan dugaan pelanggaran disiplin oleh dokter dan dokter gigi telah dibetuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

UU Praktik Kedokteran 2004 juga mengakui keberadaan organisasi profesi dokter dan dokter gigi (IDI dan PDGI), bahkan memberdayakannya. Seperti, mengakui keberadaan kolegium yang dibentuk organisasi profesi untuk mengampu masing-masing cabang disiplin ilmu. Juga mengakui serifikat kompetensi (serkom) yang dikeluarkan oleh kolegium sebagai syarat untuk mengurus atau memperpanjang Surat Tanda Registrasi (STR) lima tahun berikutnya.

- Advertisement -

UU Praktik Kedokteran 2004 pun telah tegas mencantumkan maksiman tiga tempat praktik bagi seorang dokter. Juga mengakui keberadaan Majelis Kehormatan Etik Profesi, (MKEK IDI) untuk menjalankan pembinaan etik dokter dan juga menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang dokter. Pun UU Praktik Kedokteran 2004 mengakui perlunya melampirkan rekomendasi organisasi profesi bila seorang dokter mengajukan Surat Izin Praktik (SIP) kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

Setelah terbitnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan semua mekanisme baku di atas dianggap tidak berlaku. Termasuk pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan (P2KB) juga tidak berlaku. Semua dokter diwajibkan mengikuti UU Kesehatan yang baru, walau sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah yang dijanjikan belum juga terbit. Semua bersandar pada Surat Edaran Menkes.

Penerbitan STR dan SIP dengan Syarat Minimalis

Bila merujuk UU Praktik Kedokteran 2004, syaratnya untuk memperpanjang STR ada lima: (a) memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis; (b) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi; (c) memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; (d) memiliki sertifikat kompetensi dari kolegium pengampuh ilmu; (e) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Syarat yang tercantum di dalam UU Praktik Kedokteran 2004 tersebut sejalan dengan tujuan pengaturan praktik dokter. Berbeda dengan UU No.17 Tahun 2023 yang syaratnya sangat minimalis. Pasal 260 (3) hanya menyebutkan bahwa untuk diterbitkannya STR oleh KKI atas nama Menteri, paling sedikit: (a) Memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan dan/atau sertifikat profesi; dan (b) memiliki sertifikat kompetensi (serkom).

Dengan syarat minimalis tersebut, dapat dikatakan bahwa UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mengabaikan tiga syarat penting lain, yaitu: (a) perlunya melampirkan pernyataan atau bukti telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi; (b) surat keterangan sehat fisik dan mental, serta (c) pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Berhubung UU No.17 Tahun 2023 telah memberlakukan STR seumur hidup, kedudukan STR tidak lebih dari syarat administratif biasa. Tidak dapat lagi diharapkan untuk menjadi bagian dari alasan perlu praktik kedokteran itu diatur sebagaimana UU Praktik Kedokteran 2004. Harapan terakhir tinggal pada pasal syarat penerbitan SIP.

Pasal 264 (4), menyebutkan bahwa untuk memperpanjang SIP diperlukan: STR (STR seumur hidup); tempat praktik; pemenuhan satuan kredit profesi (bukan sertifikat kompetensi). Ternyata untuk peneribitan SIP pun mengabaikan beberapa syarat penerbitan STR yang telah diatur di dalam UU Praktik Kedokteran 2004.

Berikutnya, mari kita membedah urgensi syarat yang diabaikan di dalam UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pertama, melampirkan ijazah pendidikan dan/atau sertifikat profesi terakhir. Dalam UU Praktik Kedokteran 2004, STR diperpanjang setiap lima tahun di KKI. Setiap perpanjangan STR secara berkala selalu diminta untuk melampirkan ijazah dan/atau sertifikat profesi terakhir.

Mengapa ijazah dan/atau sertifikat profesi terakhir? Karena tidak menutup kemungkinan dalam periode waktu lima tahun itu ternyata dokter yang mengajukan perpanjangan STR menempuh pendidikan spesialis dan telah lulus, sehingga memiliki ijazah dokter spesialis. Sekarang karena STR seumur hidup maka mekanisme verifikasi berkala ijazah/atau sertifikat profesi terakhir sudah tidak ada.

Kedua, melampirkan pernyataan atau bukti telah mengucapkan sumpah/janji dokter. Setiap dokter yang mau berpraktik di Indonesia wajib baginya mengangkat sumpah/janji menurut sumpah dokter Indonesia. Sumpah dokter Indonesia adalah lafal sumpah yang dibacakan oleh seseorang yang akan menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates.

Selain itu, sebagai negara yang Ketuhakan Yang Maha Esa (Pancasila) juga mewajibkan dokter tersebut mengangkat sumpah/janji menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Itulah sebabnya mengapa dokter akan diambil sumpahnya ditanya mengenai agama yang dianutnya. Menanyakan agama bukan untuk maksud rasialis atau diskriminasi, melainkan untuk keperluan pengambil sumpah/janji. Dan lagi pula dokter pun dalam kesehariannya seringkali diharuskan menanyakan agama yang dianut pasiennya.

Terkait dengan pengucapan sumpah dokter Indonesia. Dengan perubahan sistem pendidikan kedokteran, tidak semua orang yang sudah selesai perkuliahannya secara serta-merta dapat mengangkat sumpah/janji dokter Indonesia. Sebab, mereka masih harus lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) UKMPPD dulu. Demikian pula bagi dokter WNI lulusan luar negeri, sekali pun sudah bergelar dokter dari luar negeri, bila ingin berpraktik di Indonesia ia pun wajib mengucapkan sumpah dokter Indonesia. Dan, juga tentu sumpah/janji menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Ketiga, surat keterangan sehat fisik dan mental. Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) Pasal 20, seorang dokter wajib selalu memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik. Alangkah berisikonya seorang pasien bila ditangani oleh dokter yang tidak sehat fisik dan mentalnya.

Dalam penjelan Pasal 20 Kodeki, dikatakan tujuan dokter menjaga kesehatannya, yaitu: (a) agar dokter tetap sehat dalam menjalankan tugasnya; (b) karena dokter adalah pendidik dan panutan bagi pasien dan masyarakat; (c) agar tidak memberi risiko kepada pasien (mencegah penularan, mencegah bahaya bagi pasien).

Keempat, pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Mengapa? Sebab, setiap dokter wajib memiliki komitmen untuk selalu menerapkan etika kedokteran dalam praktiknya. Setidaknya tidak melanggar pasal-pasal etik yang tercantum dalam Kodeki.

Masalah etik dokter ini seharusnya tidak dianggap sepele oleh siapa pun. Sebab, dokter yang tidak beretik dapat saja berbuat sesuatu atau melakukan tindak pengobatan yang merugikan atau membahayakan nyawa pasiennya namun tidak diketahui oleh orang awam. Tidak diketahui oleh pasien, keluarga pasien. Bahkan juga tidak diketahui oleh kepala dinas kesehatan maupun menteri kesehatan sekalipun.

Kelima, rekomendasi organisasi profesi. Hakikat rekomendasi organisasi profesi dokter (IDI cabang) untuk anggotanya yang mau berpraktik, yaitu: (a) IDI cabang memberi jaminan bahwa orang yang mengajukan penerbitan SIP adalah benar seorang dokter dan anggota IDI; (b) IDI cabang memberi jaminan bahwa dokter tersebut tidak sedang melanggar etika kedokteran; (c) IDI cabang secara tidak langsung menyatakan bersedia turut mengawasi pelayanan yang dilakukan oleh dokter tersebut.

Ketika rekomendasi dari IDI ditiadakan maka seluruh tanggung jawab berpindah berada di pundak dinas kesehatan kabupaten/kota. Tidak ada lagi yang tersisa di pundak IDI. Dinas kesehatan kabupaten/kota-lah yang wajib memastikan bahwa orang yang mengajukan SIP adalah benar seorang dokter. Dan juga memastikan bahwa dokter tersebut tidak sedang melanggar Kodeki (terkait kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban terhadap dirinya sendiri).

Bila tugas tersebut diabaikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka tidak menutup kemungkinan berpraktiknya dokter gadungan dengan menggunakan ijazah palsu, STR palsu, dan SIP palsu. Dan, juga tidak menutup kemungkinan leluasnya dokter-dokter pelanggar etik berpraktik melayani pasien (masyarakat).

Masih terkait dengan SIP dokter. Meskipun UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah disahkan oleh dalam Rapat Paripurna DPR, tanggal 11 Juli 2023 dan ditandatangani Presiden RI, 8 Agustus 2023, peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah belum juga terbit. Menteri Kesehatan hanya menyodorkan surat edaran. Di antaranya Surat Edaran (SE) Menkes No.HK.20.01/Menkes/6/2024 tentang Penyenggaraan Perizinan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Pasca Terbitnya UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Banyak kalangan, terutama yang belajar ilmu hukum mempertanyakan kedudukan Surat Edaran (SE) Menkes ini. Mengapa? Sebab UU No. 17 Tahun 2023 tidak mengamanatkan diterbitkannya peraturan dalam bentuk SE Menteri. Dan lagi pula, SE Menteri itu tidak dikenal di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Memang, bila tidak ada masalah dalam pelayanan kesehatan di masyarakat tentu siatuasinya baik-baik saja. Namun, bila ada masalah hukum, apalagi masalah serius maka SE Menkes ini tidak cukup kuat untuk dijadikan sandaran hukum.

Kesan Berburu SKP

Salah satu persyaratan yang diperlukan dalam perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) adalah pemenuhan kecukupan Satuan Kredit Profesi (SKP). Ketentuan tersebut tertuang di dalam SE Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/1063/2024 tentang Pemenuhan Satuan Kredit Profesi dan Penerbitan Perpanjangan Surat Izin Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Kembali lagi menteri kesehatan menyodorkan surat edaran.

Di dalam SE Nomor HK.02.01/Menkes/1063/2024 di atas dikatakan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan yang belum memperpanjang SIP karena terkendala jumlah SKP tetap dapat mengajukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota atau kepala dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu. Dan diharuskan telah memenuhi ketentuan jumlah SKP sampai dengan 31 Desember 2024. Apabila tidak memenuhi sampai 31 Desember 2024 maka akan dilakukan penonaktifan STR dan SIP yang telah diterbitkan.

Surat edaran ini kemudian menjadi pemicu menjamurnya lembaga-lembaga pelatihan yang menjajakan sejumlah SKP kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dan, juga memicu tenaga medis dan tenaga kesehatan berburu SKP. Tanpa peduli siapa penyenggaranya, kualitas penyelenggaraannya, dan tanpa peduli nara sumbernya, yang penting mengumpulkan SKP. Persoalannya kemudian, siapa dan bagaimana memverifikasi sejumlah SKP dari hasil perburuan itu.

Untuk diketahui, sejak tahun 2017, IDI sudah menyelenggarakan program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan/Continuing Professional Development (P2KB/CPD). Sekaligus meninggalkan program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan/Continuing Medical Education (PKB/CME). Sehingga pemenuhan jumlah SKP-nya tidak lagi mengandalkan satu ranah (pembelajaran) saja, seperti yang dijalankan oleh kementerian kesehatan saat ini.

Dalam program P2KB/CPD IDI, seorang dokter tidak hanya diminta untuk mempertahankan dan meningkatkan ilmunya melalui proses pembelajaran, tetapi juga dituntut adanya pemahiran dalam pelayanan kepada pasien. Karena itu pelayanan kepada pasien menjadi salah satu ranah utama dalam pemenuhan SKP. Pelayanan kepada pasien ini dikonversi oleh Tim P2KB IDI dan Perhimpunan menjadi nilai SKP.

Selain itu, IDI pun sadar bahwa dokter itu perlu selalu memegang teguh etika profesi dan mengembangkan ilmu dan pendidikan melalui kegiatan meneliti, menulis jurnal, mengajar, membimbing dan menguji. Juga sadar bahwa profesi dokter itu perlu publikasi ilmiah dan popler, dan juga perlu pengabdian masyarakat/profesi agar tidak menjadi profesi menara gading.

Sekalipun ranah atau kegiatan tersebut tidak memiliki sertifikat ber-SKP atau bahkan tidak bersertifikat sekalipun, selama dokter yang mengikuti kegiatan mencatat dan mendokumentasikannya maka Tim P2KB IDI dan Perhimpunan dapat mengonversinya menjadi nilai SKP.

Karena itu kelima ranah P2KB IDI merupakan pintu bagi dokter untuk memenuhi kecukupan SKP-nya secara proporsional. SKP yang telah dikumpul akan diverifikasi, mulai dari Tim P2KB IDI cabang dan Perhimpunan lalu diteruskan kepada BP2KB PB IDI untuk kemudian diajukan untuk perpanjangan serkom ke kolegiumnya.

Dalam mengumpulan SKP, boleh jadi kelebihan. Atau setelah diverifikasi ternyata tidak cocok, sebab kegiatan ilmiah yang diikuti tidak berkaitan dengan upaya mempertahakan kompetensi menurut cabang ilmu yang ditekuninya. Artinya, bila kegiatan itu diikuti untuk sekadar menambah wawasan tentu sah-sah saja, namun tidak bisa digolongkan sebagai program P2KB.

Karena itu, yang terpenting dalam program P2KB adalah bagaimana agar setiap dokter dapat menyusun rencana pengembangan diri (RPD) setiap tahunya. Sehingga tidak muncul kesan berburu SKP. Tidak juga terkesan memborong SKP dalam satu tahun untuk ditabung, sehingga empat tahun lainya tinggal bersantai. Juga bukan program kejar tayang SKP pada tahun terakhir.

P2KB hendaknya dimaknai sebagai kewajiban etik bagi seorang dokter. “Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan,” Pasal 21 Kodeki. Mengamalkan Kodeki bagi dokter Indonesia merupakan pelaksanan Sumpah Dokter Indonesia, butir 10; ”Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.”

Catatan Akhir

STR seumur hidup dengan syarat minimalis serta SIP yang juga dengan syarat minimalis tentu dihendaki oleh sebagian kalangan. Karena mereka tidak perlu menyiapkan bebagai syarat untuk memperpanjang STR secara berkala setiap lima tahun. STR seumur hidup juga membuka peluang kepada dokter yang sudah sepuh, pikun, dan bahkan tidak sehat sekalipun untuk tetap berpraktik.

SRT seumur hidup pun membuka peluang kepada dokter yang sudah lama tidak memegang pasien untuk kembali berpraktik, tanpa perlu melakukan proses magang guna memahirkan kompetensinya (knowledge dan skill). Ia hanya diminta melampirkan ijazah pendidikan terakhir, tempat praktik, dan SKP dari hasil perburuannya, maka dinas kesehatan kabupaten/kota sudah dapat menerbitkan SIP.

Hanya saja, dengan syarat yang serba minimalis tersebut maka semangat pelunya pengaturan praktik dokter sebagaimana UU Praktik Kedokteran Tahun 2004, jauh dari harapan. Taruhannya ada dua. Pertama, keselamatan pasien. Dan kedua, harkat (kehormatan) profesi kedokteran itu sendiri. Karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa mekanisme penerbitan SIP dokter pasca disahkannya UU Omnibus Law Kesehatan No.17 Tahun 2023, telah mengalami “tahafut“ (kerancuan). Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here