Warga KKSS di Johor selalu mengedepankan nilai-nilai luhur yang diserap dari ajaran lontara untuk saling menghargai, bergotong royong, maupun dalam berbahasa ibu yakni bahasa Bugis
PINISI.co.id- Pendatang-pendatang Bugis di Johor, Malaysia, sudah sejak berabad-abad lampau. Bahkan sejumlah kesultanan dan rajanya merupakan turunan dari Bugis. Dari 13 kerajaan dan kesultanan di Malaysia, 9 adalah keturunan raja-raja Bugis, termasuk kerajaan terbesarnya, Selangor. Salah satu penyebab kesultanan Malaysia diperintah oleh orang-orang Bugis Makassar lantaran mereka mendapat jasa serelah memainkan peran penting dalam perang di negeri jiran tersebut, antara lain pahlawan-pahlawan Bugis membantu mempertahankan Kota Melaka dari serangan Portugis.
Sultan Abu Bakarmisalnya adalah raja Johor pertama sekaligus penerus kepemimpinan ayahnya, Daeng Ibrahim. Abu Bakar adalah turunan Bugis demikian juga Perdana Menteri Malaysia saat ini Muhyiddin Yassin dan PM sebelumnya, Tun Abdul Razak dan Nadjib Razak, merupakan titisan dari kerajaan Gowa dan Bone.
Sempat pada 23 Januari 2016 sejumlah pengurus Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, termasuk utusan pengurus KKSS Bogor, Tarakan, Depok dan Bekasi, serta IWSS pusat ke Benut, Johor, Malaysia terkait pelantikan perwakilan KKSS Johor yang tergabung dalam Majelis Persatuan Bugis Negeri Johor Cabang Benut. Rombongan KKSS dari Jakarta ini merasa takjub atas masa kejayaan orang-orang Bugis yang menjejakkan kakinya di sana.
Jejak kebugisan itu bisa dijumpai di Kota Benut, semacam kota kecamatan, Pontian, Johor Bahru, di mana pendatang-pendatang Bugis berlabuh sejak awal 1900. Menurut cerita Andi Alamsyah, pengurus KKSS di Benut, kakeknya datang ke Benut sekitar tahun 1900. Alamsyah sendiri berasal dari Wajo dan sudah merupakan turunan ketiga yang menetap di Benut.
Populasi masyarakat Benut didominasi oleh pelbagai kaum dan mayoritasnya adalah suku Bugis, selebihnya Melayu, Cina dan sedikit Jawa dan India. “Orang Bugis, Cina dan India memonopoli bidang perniagaan seperti kedai dan pemasaran hasil bumi. Orang Jawa lebih kepada penanaman kelapa sawit dan tanaman buahan,” kata Alamsyah dalam dialek Melayu.
Di Benut, Alamsyah dikenal sebagai pengusaha pom bensin, properti, selain memiliki kebun kelapa sawit seluas 500 hektar. Pegawai kebunnya rata-rata dari India. Pria berusia 53 tahun ini jua mempunyai sejumlah rumah yang disewakan kepada warga Benut.
Ketua KKSS Perwakilan Johor, Dato Awang Bin Muhammad mengatakan warga KKSS umumnya bekerja sebagai petani, pekebun, pedagang, dan sedikit pegawai. “Mereka dulu datang membuka hutan rimba di Benut, dan setelah itu membuka lahan dan kemudian dijadikan kebun,” kata Datok Awang.
Tak sulit menemukan jejak peninggalan orang Bugis di Benut di penjuru kota yang apik ini. Di lapangan upacara kota, dinamai gelanggang Dato’ Jallok. Pewaris keluarga Dato Jallok adalah Allahyarham Datuk Jalok Daeng Malibok, yang masih ada di Benut.
Tak jauh dari situ di persimpangan jalan, di sudut jalan berdiri kokoh tugu berlambang badik di mana di gagangnya terpatri aksara lontara yang menggambarkan kehebatan dan keberanian orang-orang Benut yang nota bene adalah orang-orang Bugis dalam perang Johor.
Masih dekat situ, ada sebuah bangunan semacam ruko tiga lantai yang bernama wisma Daeng Materuk. Akan halnya di Pasar Lambak hingga saat ini masih menjual aneka barang pakaian, termasuk keperluan harian, makanan-makanan tradisional Bugis seperti burasak, putu piring, putu bambo (kaddo bulo).
Tidak Lupa Sejarah
Ibu kota Benut adalah Pontian yang diduduki oleh kaum Melayu yang berketurunan suku Bugis dan sebagian Cina dan Jawa. Orang-orang Melayu dan Bugis bermukim di kawasan pesisiran sebaliknya orang Jawa di kawasan pedalaman.
Kedatangan perantau Bugis ke Johor semakin meningkat menjelang akhir abad 19 disebabkan peranan penting yang dimainkan oleh nakhoda-nakhoda dan pedagang-pedagang Bugis yang menetap di Singapura dan di Kepulauan Riau. Sebagai pedagang hasil hutan dan hasil tanaman pasaran, mereka memang lebih mengetahui hasil-hasil yang memberikan laba yang banyak lagi menguntungkan.
Mereka juga mengetahui tempat-tempat yang paling sesuai kegiatan ekonomi pertanian. Sehubungan dengan itu mereka memberikan peluang itu kepada sanak saudara mereka di kampungnya di Tanah Bugis. Sehingga ada di antara mereka yang meneruskan usaha pertanian padi merantau hingga ke pantai Sumatera, seperti Kuala Kampar, atau Jambi. Mereka yang suka berdagang akan merantau ke Singapura. Ayah Andi Harun (Penasehat BPP KKSS) misalnya membawa barang dagangan hasil bumi dari Kuala Enok, Riau, ke Singapura sewaktu negeri kota itu masih bernama Malaka, awal tahun 50-an.
Pada tahap berikutnya kebanyakan mereka yang lebih sukses khususnya yang menetap di kawasan Kukup, Benut dan Rengit turut memainkan peranan penting dalam menarik perantau Bugis untuk menyusulnya ke Malaysia, dan menjadi warga negara Melayu. Untuk itu, para pekebun yang sudah berhasil akan memanggil sebanyak mungkin sanak saudara mereka untuk datang mengelola lahan tanah Melayu. Keadaan ini dapat dilihat misalnya sejak kawasan Kukup diduduki pada tahun 1870-an, maka semakin banyak orang Bugis tertarik untuk datang ke Tanah Melayu.
Tak disangkal lagi kedatangan perantau-perantau Bugis ke Johor telah banyak membawa keberhasilan pembangunan negeri itu. Peranan mereka sebagai pembuka hutan adalah aspek terpenting pembentukan negeri Johor. Kebanyakan kampung yang mereka tempati biasanya dinamai sesuai nama penemunya. Misalnya Parit Wak Jabir, Parit Daeng Masiga, Parit Arcung, Parit Makkuaseng, dan lain-lain.
Tentu banyak lagi peninggalan orang-orang Bugis di Benut, seperti museum, sekolah hingga masjid. Boleh disimpulkan, seperti kata ahli keluarga Allahyarham Datuk Jalok Daeng Malibok, bahwa generasi muda di Benut hendaknya memahami sejarah perjalanan dan keterlibatan orang-orang Bugis dalam membangun Benut khususnya dan umumnya negeri Johor.
Tak kalah penting, kehidupan warga KKSS di Benut, senantiasa mengedepankan nilai-nilai luhur yang diserap dari ajaran lontara dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling menghargai, gotong royong, sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge, maupun dalam berbahasa ibu yakni bahasa Bugis terutama dari kalangan orangtua. Ajaran-ajaran itu diamalkan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
[ Alif we Onggang ]