UIN Alauddin Makassar dan Warisan Kepemimpinan Sultan Alauddin

0
584
- Advertisement -

Kolom Hafid Abbas

Peter Drucker dikenal oleh masyarakat internasional sebagai bapak “manajamen modern.” Dalam bukunya “Management: Tasks, Responsibilities, Practices (1993),” Drucker menuturkan: “There are no small countries, there are no big countries, only management.”

Kelihatannya pandangan Drucker terverifikasi dengan fakta tata kelola Columbia University NY. Pada 2007, saya berekesempatan sebagai Vising Fellow for International Conflict Resolution di Columbia University (CU). Waktu itu, CU baru menghasilkan 76 peraih hadiah Nobel, namun pada 2021, jumlah itu sudah meningkat ke angka 101 dari berbagai disiplin ilmu. CU juga mengelola dana USD 19,1 miliar atau sekitar IDR 300 triliun (kurs tukar rupiah IDR 15633). Dengan hanya sekitar 28 ribu mahasiswanya, pada 2024 ini, CU sudah mengelola dana sekitar Rp 424 triliun (USD 11 miliar dana operasional dan USD 16 miliar dana abadi). Bandingkan dengan dana 20% anggaran pendidikan nasional kita sebesar Rp 665 triliun, yang dikelola Kemdikbudristek hanya Rp 98 triliun (Beritasatu, 21/05/2024).

Dengan refleksi itu, apa pula yang dilakukan oleh Raja Gowa, Sultan Alauddin, sehingga Gowa pernah berjaya sebagai salah satu negara kekaisaran maritim terbesar di dunia selama 349 tahun (1320-1669), menguasai sebagian besar Sulawesi hingga ke Mindanau (kini Filipina),  Maluku dan Nusa Tenggara, hingga ke pesisir timur Kalimantan hingga wilayah utara, kini Malaysia.

Arnold Toynbee seorang sejarahwan terkemuka dunia berkebangsaan Inggris menulis 12 jilid buku A Study of History yang diterbitkan antara 1934-1961. Ia mengkaji jatuh bangunnya 23 peradaban besar di dunia dalam rentang waktu 5000 tahun. Kemajuan atau kehancuran suatu peradaban menurut Toynbee bergantung pada kemampuan para elit-elit intelektualnya (dozens of eminent scholars) menghadapi tantangan zaman yang ada. Dari 23 peradaban besar itu, 22 hancur bukan karena serangan dari luar tetapi adanya pelapukan dan pembusukan dari dalam yang diistilahkan “civilizations die from suicide, not by murder.” Kehancuran itu terjadi ketika elit-elitnya kehilangan pegangan moral, ketika elit-elitnya bersekongkol menjadi benalu bagi bangsanya sendiri, mengeksploitasi kepentingan umum demi kepentingan keluarganya atau kelompoknya.
Dari berbagai referensi ilmiah yang menelaah perjalanan sejarah maju mundurnya satu bangsa atau peradaban dalam rentang waktu lebih 5000 tahun, ternyata ada empat penyebabnya.
Pertama, satu bangsa akan punah atau hancur apabila tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan zaman. Dalam khasanah masyarakat Bugis Makassar dikenal ungkapan “Kemai-kemai biseannu rampe, anjoengki akparek gauk baji, pangngukrangi maknannungang.” Dimana pun perahumu bersandar (dimana pun anda berada), di sanalah engkau berbuat kebaikan (legacy) yang akan dikenang sepanjang masa.

- Advertisement -

Perlas dalam bukunya The Bugis menguraikan (1996)  bahwa pada akhir abad pertengahan hingga awal abad ke-16 terdapat banyak perusahaan Denmark, India, Belanda dan Francis beroperasi di Makassar. Bahkan pada 1607, Sultan Alauddin Raja Gowa menyatakan: my country Gowa stands open to all nations and what I have is for you as well as for Portugese.  Negeri saya Gowa terbuka buat semua bangsa dan apa yang saya miliki adalah bagi semua termasuk Portugis. Sultan Alauddin dapat tampil sebagai kepala pemerintahan dengan kemampuan diplomasi yang dikagumi oleh masyarakat internasional di kala itu karena ia fasih berbahasa Portugis, Belanda ataupun bahasa-bahasa Eropa lainnya.

Karenanya, untuk mencapai visi kebesarannya sebagaimana yang telah diamanatkan pada statutanya (2005), UIN Alauddin sebagai “Pusat Pencerahan dan Transformasi Ipteks Berbasis Peradaban Islam”, UIN dapat memetik pelajaran dari Sultan Alauddin yang menguasai begitu banyak Bahasa pergaulan dunia sehingga kerajaannya menjadi jembatan perdangan Asia dan Eropa dengan pelabuhan lautnya di Makassar.

Jika di lingkup lokal, misalnya, pada 27 Februari 2024 lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin, mengungkapkan hasil pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Seusai pertemuan itu, Bahtiar yang didampingi oleh jajaran forum koordinasi pimpinan daerah (Forkompinda) dan Walikota Makassar, Bupati Gowa, Maros, Takalar dan Pangkep mengungkapkan bahwa Presiden akan mencanangkan Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar (Mamminasata) yang akan terintegrasi menjadi satu megapolitan Mamminasata seperti halnya Shenzen untuk menyangga keberadaan IKN, dan akan menjadi pusat kota raksasa baru seperti apa tata kelola UIN Alauddin pada dinamika seperti itu.

Juga di tingkat nasional, regional dan global, jika dimulai pada 2025, sesuai dengan blueprintnya, ASEAN akan menjadi satu masyarakat tunggal secara ekonomi, seperti apa blueprint UIN untuk menjemput masyarakat tunggal itu. Apakah akan tetap menjadi PTN BLU atau menjadi PTNBH dengan otonomi yang lebih besar untuk beradaptasi dengan dinamika baru itu.
UIN, untuk mengembangkan kemampuan adaptifnya, seperti kemampuan yang dimilki Sultan Alauddin, kelihatannya dapat mengembangkan pusat-pusat kajian Afrika, Amerika Latin, AS, EU, Asia Pasifik, dsb.

Kedua, satu peradaban akan hancur apabila mereka tidak mampu menggerakkan dirinya untuk mencapai tujuannya (goal attainment). Jika megapolitan Mamminasata akan menjadi pusat pertumbuhan dan pintu gerbang perekonomian Indonesia Timur, maka ikhtiar kolektif itu dapat pula memandu UIN yang hendak mewujudkan jejaring kerjasama dengan lembaga lokal, nasioal, dan internasional.

Seorang ilmuwan terkemuka di abad ini bernama Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1996) menguraikan bahwa ikhtiar kolektif itu dapat terwujud apabila ruh kehidupan sosialnya terawat. Sebaliknya   satu bangsa akan hancur apabila tidak ada keadilan, tidak ada ketulusan (honesty), tidak ada kerbukaan (openness), tidak ada sense of duty to others  perasaan terpanggil untuk berbuat terbaik bagi yang lain, dan tidak ada kebersamaan dan kerjasama (synergy).  Jika dimensi-dimensi ini tidak ada maka akan dengan sendirinya kehidupan masyakarat itu mati atau punah.
UIN dalam perjalanannya menuju pencapaian visi dan misinya dituntut menyatukan visi kolektifnya dengan menghidupkan ruh kehidupan sosialnya sebagai satu entity nilai-nilai universal. Karenanya, dalam ilmu tidak dikenal “Matematika Sunda” atau “Kimia Bugis” karena sifat ilmu yang tumbuh di universitas adalah universal.

Ketiga, satu peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu bersinergi untuk maju bersama. Ada dua tokoh yang amat berpengaruh di Kesultanan Gowa yakni Sultan Alauddin Raja Gowa (1669-1696) dan Syech Yusuf, seorang sufi, ulama besar dunia pada zamannya (1670). Syeeh Yusuf bahkan telah menyatukan hati warga Afrika Selatan melawan kekejaman rezim apartheid.

Pada salah satu pertemuan saya dengan Dullah Omar (Menteri Perhubungan Afrika Selatan) di ruang kerjanya di Pretoria pada awal 2002, dituturkan bahwa Syech Yusuf adalah sumber inspirasi perjuangan kami warga kulit hitam melawan penindasan rezim apartheid kulit putih. Alasannya adalah  Syech Yusuf bukan warga Afrika Selatan tetapi mengapa ia rela berjuang bersama kami orang yang berbeda latar belakang suku, budaya dan bangsa.
Berikutnya, Syech Yusuf rela berjuang bukan di tanah kelahirannya karena ia berasal dari Kesultanan Gowa, sementara kami wajar jika berjuang di tanah air kami sendiri.

Selanjutnya, jika saya, Mandela, Desmod Tutu dan para pejuang anti-apartheid lainnya telah dipenjara puluhan tahun, tapi itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanan Syech Yusuf karena kami masih hidup. Syech Yusuf telah mengorbankan jiwa raganya, meninggal dalam perjuangannya membela kami warga kulit hitam..

Alasan terakhir, perjuangan Syech Yusuf tidak pernah ia nikmati hasilnya karena ia telah tiada. Berbeda dengan Mandela dan tokoh-tokoh anti apartheid sudah jadi Menteri, dan Mandela sendiri menjadi Presiden dan juga telah menerima Hadiah Nobel Perdamaian, dst.
Atas kebesaran perjuangan Syech Yusuf itulah, ia diberi anugerah Pahlawan Nasional Afrika Selatan, dan juga Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto.

Dengan ke empat akasan itu, kami bertiga Robert Evan (AS), seorang Nobel Peace Nominee, Radi A Gany (Rektor UNHAS), dan saya sendiri (Dirjen HAM RI) menginisiasi penganugerahan Doktor Kehormatan kepada Nelson Mandela dari UNHAS yang dilaksanakan pada 11 September 2005.

Terakhir, suatu peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu merawat nilai-nilai spiritual dan prinsip-prinsip dasar kehidupannya. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai universal itu mengakar pada Pancasila. Bagi Columbia University, ia hendak menjadi cahaya dari segala cahaya In lumine Tuo videbimus lumen (Latin) “In Thy light shall we see light (Inggeris), dan UIN Alauddin hendak merekatkan semangat intelektualitasnya dengan nilai: Intelligence, Enlightenment, Achievement.
Demikianlah empat faktor utama yang terekam dalam lintasan perjalanan sejarah Sultan Alauddin, Raja Gowa di masa lalu, dan kini semangat itu terus bergelora di Kampus UIN Alauddin Makassar.

Penulis adalah Guru Besar UNJ dan Dewan Pakar KKSS 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here