Kolom Fiam Mustamin
MENYEDERHANAKAN pemahaman tentang New Normal untuk kita tidak berpolemik mengenai kata-kata bahasa yang multi penafsiran, maka yang terdekat dengan pengalaman itu untuk bagaimana kita membudayakan/menerapkan suatu kehidupan yang sudah kita kenal dan alami dalam musim wabah Pandemi Covid-19 ini.
Dengan merujuk ke kehidupan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan yang baru lewat, maka paska ramadhan kita dapat menerapkan dan meneruskan amalan kehidupan yang normal dan positip antara lain dengan pola hidup sehat, bersih dan teratur berdisiplin.
Pola hidup ini telah dianjurkan dan dijalani dengan aturan sejumlah pembatasan untuk menjaga jarak pesentuhan, menghindari keramaian/ kerumunan, menggunakan perlindungan diri dengan masker, bersuci degan mencuci tangan dan organ tubuh lain termasuk dengan pakaian yang bersih serta asupan makanan dan minuman yang sehat untuk stamina ketahanan kesehatan/imun tubuh.
Standar protokol kesehatan ini tetap perlu dijalankan sampai keadaan pulih dan normal dari wabah itu.
Bila terjadi pelonggaran tidak berarti pembebasan diri seperti baru keluar dari kerangkeng penjara tanpa aturan. Serta merta menyerbu tempat tempat rekeasi keramaian hiburan, mal, restoran, pasar, terminal dan lain lain.
Pelonggaran ini untuk menghidupkan perekonomian masyarakat yang tidak mungkin menjadi beban biaya hidup dari perintah yang berkepanjangan.
Hidup Berbagi
BULAN puasa juga menuntun umat untuk bersedekah/berbagi hidup dengan toleransi berbagi ke sesama.
Bersedekah menuntun untuk berbagi untuk orang lain. Tidak hidup sendiri dan berkelebihan dari apa yang dimakan dan kebutuhan lainnya.
Bersedekah untuk lingkungan terdekat tetangga dan kerabat serta lebih luas lagi bagi yang berkemampuan lebih.
Pola hidup normal itu, untuk tidak menjadi gaya hidup atau aksesoris kehidupan yang sesungguhnya tidak diperlukan dan harus dibiayai yang diperangkap oleh ciptaan kapitalisme barat seperti yang diingatkan oleh filosuf Jean Baudrillard dari Perancis dalam bukunya Smulacre dengan apa yang disebut Hiperealita.
Itikaf dalam Kehidupan
TAK terbayangkan bagaimana jadinya seandainya kehadiran wabah yang mengganas melanda dunia Pandemi Covid-19 itu tidak dalam bulan ramadhan.
Seperti suatu mujizat bahwa di bulan puasa ramadhan yang memiliki banyak keistimewaan disebut bulan ibadah terdapat 10 malam terakhir untuk melakukan ibadah itikaf/ berdiam diri untuk ibadah di masjid untuk menyongsong kemulian ramadhan.
Bulan ramadhan kali ini tidak hanya 10 malam itikaf tapi satu bulan penuh bediam di rumah untuk melakukan renungan-renungan dari kebiasaan keseharian mencari nafkah hidup. Di saat itikaf itulah mencari makna keberkahan dari kehidupan itu di dunia dan akhirat, bukan semata mengejar kebutuhan materi yang tak ada batas waktunya.
Orang-orang yang terbiasa memiliki waktu untuk beritikaf/berkotemplasi tidak akan menjadi robot kehidupan. Dia mencari keseimbangan melakukan hal-hal bermanfaat bagi sesama bila dia seorang pemimpin atau kepala keluarga dia berusaha menjadi amanah.
Bulan ramadhan telah memandu umat untuk melakukan kebaikan. Di bulan ramadhan kita tidak mendengarkan ujaran-ujaran kebencian dan penghinaan, kita saling menghormati antar sesama umat beragama.
Mestinya kebaikan seperti itu membudaya dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga.