Menyambut HUT IDI ke-74, 24 Oktober 2024
Kolom Zaenal Abidin
Hari Ulang Tahun (HUT) IDI ke-74 tahun ini mengambil tema, ”Menguatkan Komitmen Membangun Kesehatan Indonesia.” Meski selalu direndahkan dan dilemahkan, namun IDI tetap mencintai Indonesia sepenuh hati.
Terbukti tema yang diangkat dalam HUT-nya yang ke-74 pun masih berkehendak membangun kesehatan Indonesia. Artinya, IDI tetap peduli rakyat Indonesia. IDI tetap akan melakukan apa yang mampu dilakukan sebagai tanda sayangnya kepada rakyat Indonesia, terutama yang miskin. Hal ini tidak lepas dari semangat dan cita-cita yang telah diamanatkan oleh para pendirinya.
Kesehatan memang kebutuhan dasar bagi rakyat Indonesia untuk mempertahankan hidupnya, mulai saat lahir, tumbuh berkembang hingga tua dan bahkan hingga ajal menjemput. Sedang pendidikan akan memberi bekal pengetahuan, keterampilan, wawasan dan kebijakan untuk menjalani hidup bermasyarakat.
Pendidikan dalam pengertian luas sama dengan kehidupan, yakni segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Karena itu, dapat dikatakan pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar rakyat sepanjang hidupnya.
Kesehatan dan pendidikan erat kalitannya dengan tingkat kemakmuran rakyat. Dan, tingkat kemakmuran sendiri berkaitan dengan tingkat kesejahteraan hidup suatu negara. Keduanya saling kait mengait serta saling memengaruhi secara timbal balik.
Semakin rendah tingkat kesehatan suatu rakyat suatu negara, semakin rendah pula tingkat kemakmuran ekonominya. Keadaan sakit dan papa pun seringkali berjalan seiring. Bahkan kondisi bodoh, kurang pandai atau kurang terdidik tidak jarang menyusul di belakang.
Menyehatkan Rakyat Miskin Tanggung Jawab Siapa?
Sebetulnya, masalah kesehatan dan kemiskinan dan siapa yang bertanggung jawab untuk menyehatkan rakyat miskin, memang bukan semata menjadi tanggung jawab pemerintah sebuah Negara dan warga Negara yang bersangkutan. Melainkan telah menjadi tanggung jawab global. Meski demikian, tanggung jawab terbesar pestilah berada di atas pundak pemerintahnya.
Masyarakat global semestinya hanya beperan memberi bantuan, mendampingi negara-negara yang memiliki masalah kesehatan dan kemiskinan, namun memiliki komitmen kuat untuk mengtasinya. Dalam artian, masyarakat global tidak boleh mengintervensi terlalu jauh kebijakan internal negara yang merdeka dan berdaulat.
Negara yang bagus tingkat kesehatannya, tingkat kemiskinannya rakyatnya pun akan makin rendah. Hal ini dapat dimengerti sebab rakyat yang sehat bisa akan lebih produktif, dan biaya berobat pun rendah sehingga bisa disubstitusikan ke kebutuhan hidup lain. Seperti mengakses informasi dan pengetahuan medis/kesehatan secara lebih baik dan gaya hidupnya lebih seimbang. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat kematian bayi pada keluarga miskin lebih tinggi ketimbang keluarga tidak miskin.
Karena itu, bila suatu negara ingin bagus tingkat kesehatannya maka pemerintahnya pun harus lebih peduli kepada kesehatan rakyat miskinnya. Peduli dengan cara menyediakan anggaran kesehatan cukup, jaminan sosial kesehatan, fasilitas kesehatan yang memadai serta tersebar merata, fasilitas penunjang untuk memudahkan bagi rakyat terutama yang berkutuhan khusus dan disabiltas (anak da dewasa).
Tanpa penyedian berbagai kebutuhan di atas maka kendala aksesibiltas belum sepenuhnya dapat terpecahkan. Sekali pun seluruh penduduk, terutama yang miskin telah memiliki kartu jaminan sosial kesehatan dan tersedia ruang perawatan.
Perbaikan layanan kesehatan bagi rakyat miskin merupakan dorongan untuk mempercepat penaggulangan kemiskinan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting, dalam tiga alasan: (1) satu-satunya kebanggaan dan modal utama bagi orang miskin itu adalah keadaan sehatnya; (2) untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin; (3) untuk stabilitas politik nasional.
Rakyat miskin itu penting karena mempunyai wajah dan kondisi hidup yang nyata. Mereka bukan sekedar angka-angka matematika dan statistik. Mereka adalah warga negara yang sah yang tidak boleh tersingkir atau dirampas haknya dari proses pembangunan. Mereka sangat rentan oleh berbagai risiko hidup, termasuk risiko sakit dan kematian.
Catatan Akhir
Pada rakyat miskin yang rentan akan masalah kesehatan itu masih terdapat lagi sub kelompok yang lebih rentan, yakni sub kelompok anak dan lansia. Dan pada kedua sub kelompok sub kelompok ini pun masih terdapat su dari sub kelompok, yakni mereka yang berkebutuhan khusus dan disabilitas, yang sering kesulitan menemukan fasillitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang siap memenuhi kebutuhan aksesibilitasnya.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin mempunyai arti penting, karena tiga alasan: (a) satu-satunya modal utama dan kebanggan bagi orang miskin itu adalah keadaan sehatnya; (b) untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin; (c) untuk menjamin stabilitas politik nasional.
Pemerintah negara harus bersungguh-sungguh memikirkan kesehatan rakyat miskin, dengan cara: (a) menyediakan menteri kesehatan dan aparat pemerintah di bidang kesehatan yang peduli kesehatan orang miskin; (b) menyediakan tenaga kesehatan yang profesional (kompeten) serta peduli kepada rakyat miskin; (c) menyediakan fasyankes yang ramah kepada orang miskin; (d) menyediakan fasilitas penunjang terutama kepada yang berkebutuhan khusus dan disabilitas; dan (d) menyediakan jaminan sosial kesehatan tanpa diskriminasi.
Karena itu, pelayanan kesehatan wajib dikendalikan oleh negara dan diintervensi oleh lembaga-lembaga demokrasi. Bila menteri yang mengurusi bidang kesehatan pasif dan menyerahkan sepenuhnya pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar maka yang korban adalah rakyat, terutama yang miskin.
Menteri yang mengurusi bidang kesehatan haruslah berpihak kepada kesehatan rakyat miskin. Dengan berpihak kepada kesehatan rakyat miskin, berarti telah memberi kepadanya modal hidup dan harapan akan masa depan. Sebaliknya, bila tidak peduli berarti pemerintah telah membiarkan terjadinya perenggutan hak dasar kesehatannya.
Di sinilah pentingnya peran IDI untuk selalu mengingatkan menteri yang mengurusi bidang kesehatan agar berpihak kepada rakyat miskin. Walau boleh jadi dalam proses mengingatkan itu, sang menteri berbalik memusuhi IDI. Apalagi bila menterinya tidak demokratis. Namun, itulah risiko menjalankan peran advokasi. “Qulil haqqa walau kana murran.” Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Doter Indonesia, periode 2012-2015Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Doter Indonesia, periode 2012-2015