Hendak Membubarkan MKKI dan Kolegium Profesi: Meminjam Tangan Dirjen AHU-Kementerian Hukum

0
2396
- Advertisement -

Catatan ringan ini disampaikan pada pertemuan informal, Jum’at, 1 November 2024, di Gedung Dr. dr. H. R. Soeharto, Menteng Jakarta Pusat

Catatan Zaenal Abidin 

Kementerian Kesehatan RI melalui suratnya No. KM.04.01/Menkes/878/2024, tanggal 21 Oktober 2024, kepada Kementerian Hukum, sangat terkesan ingin membumi-hanguskan organisasi profesi dengan menjadikan Kolegium profesi sebagai sasarannya. Sayangnya surat Dirjen AHU Kementerian Hukum yang menjalankan permintaan Menkes itu masih menggunakan kertas berkop surat kementerian lama, yaitu Kementerian Hukum dan HAM. Mereka lupa kalau kementeriannya sudah terbagi tiga.

Mengapa Kolegium profesi yang menjadi sasaran utama? Karena Menkes sangat tahu bagaimana sentralnya posisi Kolegium di dalam organisasi profesi, terutama profesi dokter. Menkes sangat tahu bahwa Kolegium profesi itu beranggotakan para Guru Besar dan Ketua Program Studi bidang ilmu. Menkes juga tahu bahwa sikap kritis Kolegium profesi dapat menjadi hambatan baginya dalam menjalankan agenda bisnis globalnya di bidang kesehatan, yang boleh jadi tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.

Sebetulnya, kehendak Menkes untuk membubarkan Kolegium profesi dan membentuk kolegium sendiri, sudah tercium sejak lama oleh kalangan organisasi profesi. Sejak ia menyatakan bahwa Indonesia kekurangan dokter spesialis dan menuduh Kolegium profesi yang beranggotakan Guru Besar dan Ketua Program Studi sebagai penghambatnya. Namun, pihak organisasi profesi tidak begitu yakin, sebab itu tindakan yang sangat anomali dari berbagai sudut pandang. Sampai kemudian Menkes menggagas UU Omnibus Kesehatan, yang juga menggunakan tangan DPR untuk pengesahannya.

- Advertisement -

Menkes pun mewacanakan mendidik dokter spesialis sendiri yang berbasis rumah sakit. Dan kebetulan memang Menkes memilik banyak rumah sakit vetikal yang sejak dulu menjadi mitra fakultas kedokteran untuk mendidik dokter dan dokter spesialis berbasis universitas (fakultas kedokteran). Artinya, boleh jadi nanti semua PPDS dari pendidikan dokter berbasis univesitas akan dilarang menggunakan rumah sakit vertikal milik Menkes sebagai wahana pendidikan dokter spesialis, sebab Menkes ingin menggunakannya sendiri.

Tidak cukup dengan wacana mendidik dokter berbasis rumah sakit, Menkes pun melancarkan wacana naturalisasi dokter asing yang dinilainya lebih hebat dari dokter lulusan Indonesia guna mengisi rumah sakit yang dinilainya kekurangan dokter spesialis. Wacana ini pun kembali mendapatkan pandangan kritis dari kalangan profesi, terutama para Guru Besar juga merupakan anggota Kologium, yang selama ini jatuh bangun merancang kurikulum pendidikan dokter spesialis, mendidik, mengevaluasi mutu lulusan, dan juga mengevalusai kompetensinya secara berkala melalu pendidikan dan pelatihan dokter seumur hidup secara terstruktur.

Wacana naturalisasi dokter asing juga tidak disetujui oleh Ketua Umum AIPKI bersama koleganya para Dekat Fakultas Kedokteran. Karena menurutnya, fakultas kedokeran yang ada di Indonesia saat ini masih sanggup mencukupi jumlah dokter dan dokter spesialis. Jutru persoalan yang selalu mucul adalah ketidakmampuan Kementerian Kesehatan untuk mendistribusikan secara merata dokter dan dokter spesialis yang telah diluluskan. Akibatnya, dokter spesialis menumpuk di kota besar yang rumah sakitnya bertumbuh pesat, baik yang dibangun oleh swasta maupun yang dibangun oleh Menkes sendiri.

Akibatnya dari sikap kritis tersebut timbulah berbagai kekisruhan di dunia pendidkan kedokteran. Seperti diketahui, Ketum AIPKI yang juga Dekan FK Unair, Prof Prof. Dr. Budi Santoso, Sp.OG jadi korbanya. Prof. Bus sapaan akrab Prof. Dr. Budi Santoso diberhentikan oleh Rektornya. Walau kemudian Rektor Unair mencabut kembali keputusannya dan mengembalikan Prof. Bus sebagai dekan. Dan masih banyak kekisruhan lain yang terjadi baik yang mengemuka maupun yang terselubung.

Sebetulnya, dari kalangan profesi sangat berharap agar Menteri yang mengurus pendidikan tinggi dapat segara turun tangan. Menaruh sedikit perhatian untuk mengurus pendidikan dokter dan dokter spesialis, sebab memang berada di bawah tanggung jawabnya. Namun, mungkin karena Menterinya sangat sibuk sehingga lupa mengurusnya. Akibatnya, cawe-cawelah Menkes untuk mengintervensi pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang sebetulnya bukan kewenangnya.

Bila Suatu Saat Menkes Benar-Benar Membubarkan IDI

Sebetulnya tidak ada alasan sahih bagi Menkes untuk membubarkan IDI termasuk membubarkan Kolegium profesi dan membentuk kolegium sendiri yang dapat dikendalikan sekehendaknya. Sebab, Kolegium profesi itu urusannya tentang pendidikan dokter dan dokter spesialis. Bukan urusan terkait pelayanan kesehatan. Namun, kalau belajar dari kisah agresi milter Gubernur Yaman, Abrahah terhadap kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah, tentu dapat saja dipahami.

Mengapa Ka’bah yang menjadi sasaran? Menurut ahli sejarah Gubernur Abrahah dan para pemimpin Abessinia lainnya, sangat iri dan dengki terhadap kota Makkah yang memliki bangunan tua bernama Ka’bah. Bangunan yang memiliki daya magnet yang amat tinggi, sehingga senantiasa menarik dikunjungi oleh para pelancong dari seluru penjuru Jazirah Arabia, baik untuk berhaji maupun hanya sekedar berziarah. Kunjungan semacam ini tentu semakin menaikkan pamor politik kota Mekah. Dan, yang lebih penting lagi karena kunjungan tersebut ternyata memberi keuntungan secara ekonomi bagi pemimpin suku Quraisy dan juag membawa kemakmuran kepada penduduk kota Mekah.

Karena itu, tergerakkan Gubernur Abrahah untuk juga membuat bangunan yang menyerupai Ka’bah, dengan harapan penduduk Jazirah Arabia mau mengalihakn kunjungan wisata dan berhajinya ke kota Yaman. Namun, ternyata harapan itu tidak membuahkan hasil. Penduduk Jazirah Arabia tetap hanya berhaji dan berwisata ke kota Mekah yang ada bangunan Ka’bahnya.

Iri dan dengki Gubernur Abrahah tentu makin memuncak. Akibatnya, timbul keinginan untuk menghancurkan bagunan tua yang merupakan warisan peradaban umat manusia, bernama Ka’bah itu. Seperti diketahui, bahwa pondasi Ka’bah pada mulanya dibangun oleh moyang manusia, Nabi Adam As atas perintah Allah SWT. Kemudian ditinggikan oleh Bapaknya para Nabi, Ibrahim As. dan anaknya Ismail As.

Hal yang sangat menarik dari agresi Gubernur Abrahah ini, karena ternyata tokoh pemimpin suku Quraisy yang sangat dihormati Abdul Mu’thalib (kakek Rasulullah) justru tidak berusaha melawan dan melindungi bagunan suci, warisan peradaban umat manusia bernama tersebut. Abdul Mu’thalib hanya menghimbau penduduk kota Mekah untuk menyelamatkan diri dan juga ternak-ternaknya. Ketika orang-orang bertanya, kenapa Abul Mu’thalib tidak berusaha melindungi Ka’bah? Abdul Mu’thalib menjawab Ka’bah itu bukan milik pribadi kami. Ka’bah adalah milik Allah. Allahlah yang akan menjaga miliknya.

Kembali pada pemintaan Menkes yang menggunakan tangan Dirjen AHU Kementerian Hukum RI, agar organisasi profesi mengubah AD-ART-nya dalam waktu dekat guna membubarkan MKKI dan Kolegium profesinya. Menurut pendapat pribadi penulis, perintah refresif semacam itu tidak masuk akal sehingga tidak perlu dituruti. Karenanya perlu dilawan dengan cara rasional dan elegan.

Sebetulnya tidak ada yang yang perlu dicemburui Menkes dari IDI, sebagaimana iri dan dengkinya Gubernur Abrahah kepada kota Mekah yang memliki bangunan Ka’bah. Sebab, IDI tidak punya kekuatan politik. IDI juga tidak punya kekuatan ekonomi. Iuran anggota sangat kecil, hanya Rp.30.000 perbulannya. Karena anggaran yang minim maka pengurus IDI mulai dari pusat sampai ke daerah tidak ada yang digaji. Pun demikian untuk pengurus Kolegium dan pengurus Perhimpunan profesi, tidak ada yang mendapatkan gaji. Mereka bekerja mengurus organisasi profesinya hanya bermodalkan keikhlasan dan keinsyafan yang tinggi.

Bahwa para dokter sangat loyal dan patuh pada IDI dan Kolegium profesinya, memang begitulah karakter profesi dokter. Dokter itu memiliki ikatan kesejawatan yang kuat dan juga sangat hormat kepada jasa-jasa gurunya. Mereka tidak diajarkan untuk menghinati jasa-jasa gurunya. Karena itu pula mereka hormat kepada Kolegium profesinya. Ini bukan sekadar patuh dan hormat biasa, melainkan kepatuhan yang dilandaskan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Seharusnya loyalias semacam ini dapat membuat Menkes semakin bergandengan tangan dengan IDI. Sebab, artinya Menkes dapat menghemat energi untuk menciptakan loyalias baru bagi profesi dokter, yang belum tentu dapat terwujud, seperti tidak terwujudnya cita-cita Gubernur Abrahah.

Namun demikian, bila karena kepatuhan dokter kepada organisasi dan Kolegium profesinya kemudian membuat Menkes cemburu, kemudian ingin menghancurkan IDI dan membubarkan Kolegium, sebagaimana Gubernur Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah, maka biarkan saja. Atau mau meniru zaman pendudukan Jepang yang membubarkan organisasi dokter di Indonesia, tidak apa-apa juga. Nanti setelah kita merdeka baru kita kembali mendirikan IDI, sebagaimana para senior pendahulu dokter Indonesia yang kembali mendirikan organisasi profesi dokter Indonesia satu-satunya (IDI), tanggal 24 Oktober 1950.

Toh, IDI bukan lagi sekadar milik pengurusnya. IDI bukan lagi milik dokter Indonesia semata. IDI telah menjadi milik kemanusiaan. IDI telah menjadi warisan sejarah dan peradaban bangsa Indonesia.

Andai IDI hanya milik dokter Indonesia dan milik pengurus IDI semata, tidak mungkin Bapak Prabowo Subianto (kini Presiden RI) akan tergerak hatinya untuk memberi sumbangan guna merenovasi Gedung PB IDI, pada tanggal 11 Oktober 2011 lampau. Nama beliau masih jelas tertera dalam prasasti di gedung, yang kini bernama nama Gedung Dr. dr. R. Soeharto. Nama tersebut disematkan dari nama pencetus-pendiri IDI, yang dianugerahi Pahlawan Nasional, 2022 lalu, yaitu Mayor Jenderal (Purn. TNI) Dr. dr. H. R. Soeharto,.

Catatan Akhir dan Pesan Kepada Bapak Presiden RI

Sebagai rakyat warga negara yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, penulis ingin menyampaikan pesan Kepada Yang Mulia Bapak Presiden RI, bahwa bahwa keinginan Menteri Kesehatan untuk membubarkan banyak Kolegium profesi, dari berbagai disiplin ilmu kesehatan sama saja dengan ingin memadamkan semangat keilmuan kesehatan di Indonesia. Memadamkan keilmuan kesehatan berarti pula memadamkan cahaya penerang dalam pelayanan kesehatan.

Dan, akibat yang lebih parah bila pembubaran tersebut dilakukan adalah terciptanya kegaduhan berkepanjangan antara profesi kesehatan dan pemerintah, tentu ini sangat merugikan pendidikan dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Dan, bahkan dapat mencederai semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang Bapak Presiden selalu dengung-dengungkan. Wallahu ‘allam bisawwab.

Billahit Taufik Walhidayah.
Menteng, Jakarta Pusat, 1 November 2024.

Zaenal Abidin (Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here