Kolom Ruslan Ismail Mage
“Pemimpin sejati melihat lebih jauh dibanding orang lain, mendengar lebih duluan dibanding orang lain, merasakan lebih dalam dibandingkan orang lain”. Kalau dijabarkan lebih luas, pemimpin itu harus visioner yang mampu memprediksi kemungkinan apa yang akan terjadi di masa depan. Mendengar lebih duluan berarti seorang pemimpin harus memiliki beberapa sumber informasi terpercaya. Merasakan lebih dalam berarti seorang pemimpin harus cerdas dan bijak memilih diksi kata yang menyentuh hati, bukan diksi menyinggung rakyatnya.
Harapan lahirnya pemimpin daerah yang memiliki tiga kemampuan di atas disandarkan pada panggung Pilkada sebagai ajang seleksi munculnya pemimpin berkualitas yang memiliki intelektualitas, kapabilitas, dan moralitas, serta konsistensinya merawat keberpihakan kepada rakyat. Dalam konteks Indonesia kemampuan memupuk kebhinekaan adalah wajib dimiliki seorang pemimpin disemua level tingkatan.
Namun jika mencermati panggung debat kandidat Pilkada yang disiarkan beberapa televisi dan media sosial, harapan itu kabur tertutup asap egoisme personal kandidat. Panggung debat yang sejatinya memperlihatkan adab yang tinggi dan ketajaman pikiran bagaimana merumuskan cara mengelola segala potensi daerah, justru hanya memperlihatkan ketajaman lidah yang saling menyerang, merendahkan antar personal. Adab diabaikan, ketidakmampuan menyampaikan gagasan, miskin meramu formulasi pertanyaan, penonjolan egoisme dan identitas diri, bahkan sampai nyaris terjadi kontak fisik di atas panggung debat.
Kualitas dibawah rata-rata pemimpin yang dipertontonkan di beberapa panggung debat Pilkada, telah menyebar virus pesimisme teramat akut di tengah masyarakat. Namun demikian sisi positif panggung debat Pilkada bisa lebih awal memperlihatkan karakter dan kemampuan kandidat pemimpin, sehingga bagi pemilih kalkulatif bisa mengkalkulasi untung ruginya memilih mana pemimpin yang mengedepankan egoisme dan ambisi pribadi, mana pemimpin yang amanah bisa dipercaya.
Diantara sekian banyak kejutan di panggung debat Pilkada dan sosialisasi di ruang publik, ada hal yang mengusik dan menarik dikritisi, yaitu lahirnya “Pasangan Politisi Janda”. Waduh! Apa pula itu politisi janda? Apakah politisi yang berselingkuh dengan janda, mempermainkan janda, menyantuni janda, atau mengkoordinir janda menjadi tim suksesnya. Nampaknya tidak.
Pasangan Politisi Janda dalam konteks tulisan ini adalah pasangan Politisi yang kompak menggunakan diksi janda dalam kampanyenya. Adalah pasangan Cagub dan Cawagub 01 Jakarta yang mencoba mengambil simpati komunitas janda dengan narasinya yang mengundang polemik. Dalam pertemuannya dengan relawan beberapa waktu lalu, Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta nomor urut 01, Suswono, menyampaikan guyonan menganjurkan agar janda kaya menikahi pemuda pengangguran. Celakanya lagi guyonan itu terinspirasi dengan Muhammad Rasulullah yang menikahi janda kaya Siti Khadijah. Sontak publik bereaksi karena menganggap guyonan itu menyinggung perasaan janda, bahkan guyonan itu dianggap melecehkan Nabi Muhammad karena seolah-olah disamakan dengan pengangguran.
Belum publik redah dengan guyonan Cawagubnya, sang Cagub 01 Ridwan Kamil tidak mau kalah menggunakan diksi janda dalam kampanyenya. Tidak belajar dari kesalahan Cawagubnya yang sudah minta maaf ke publik, lagi-lagi Ridwan Kamil menggunakan diksi janda dalam kampanyenya ketikan mengatakan, “Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis, akan diberi sembako oleh Bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan,” kata Ridwan Kamil”. Niatnya baik, tetapi diksi katanya salah, dan kesalahan sekecil apa pun dalam politik bisa menjadi harimau yang menerkan tuannya.
Alih-alih pasangan Politisi ini mendapat simpati publik khususnya komunitas janda, justru sebaliknya mendapat serangan dari berbagai kalangan karena dianggap menyinggung, melemahkan, merendahkan status janda. Inilah contoh pemimpin kaya gelar akademik tetapi miskin rasa, kaya moralitas tetapi miskin adab, kaya narasi tetapi miskin diksi.
Menurut Kepala bidang Advokasi #SaveJanda Nanda Ismael di alinea.id, secara ekonomi pernyataan itu jelas bukan solusi bagi pengentasan kemiskinan di semua level wilayah kewenangan pemerintahan, mulai dari RT hingga negara. Pernyataan Suswono, kata dia, cacat pikir yang entah didasari oleh lelucon atau malas berpikir secara komprehensif tentang pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran.
Sayang, dibalik baju akademik dan selimut moralitasnya pasangan 01 ini, dibabak akhir perjalanan menuju puncak DKI 1 tanpa sadar menjelma menjadi pasangan politisi janda. Apakah pembuktian pepatah klasik, “Mulutmu harimaumu” akan menjadi nyata pada tanggal 27 November 2024 di bilik suara? Kita menjadi saksinya.
Akademisi dan inspirator, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan