Keseruan dan Keharuan Coto vs Konro, Asyik dan Menghibur

0
490
- Advertisement -

PINISI.co.id- Di tengah kejenuhan dan serbuan film-film horor, kini hadir sebuah film Coto vs Konro sebuah drama komedi keluarga sentuhan Irham Acho Bachtiar, sutradara Makassar kelahiran Papua.

Ini bukan cerita kuliner tentang dua masakan legendaris masyarakat Sulawesi Selatan. Coto dan konro hanya sebagai pengungkit cerita. Meski sesama berbahan baku daging, kedua menu ini dikonfrontasikan lewat Coto H. Matto versus Konro Daeng Sangkala. Seperti orang Tionghoa, dua pesaing ini melibatkan keluarga inti sebagai pengelola sehari-hari dalam berbisnis.

Film kesekian dari sineas alumni IKJ ini, mampu menyuguhkan tontonan yang menghibur, meramu konflik keluarga dengan suspense, pun balutan romansa yang menggemaskan.

Atmosfer kota Makassar sebagai kota pesisir dengan ciri terbuka dan moderat, dicerminkan oleh karakter orang-orangnya — diperankan dengan pas Luthfi Sato sebagai H. Matto. Luthfi berhasil mengekspresikan watak tempramental khas orang Bugis Makassar yang meledak-ledak, jika bercakap-cakap nadanya tinggi, tak basa-basi, tidak menyembunyikan sesuatu, namun mudah jadi pemaaf.

Demikian pula penokohan yang diperagakan oleh pemain-pemain lokal mewakili kisah Tionghoa, Manado, Ambon, Papua, — sebuah masyarakat majemuk yang hidup saling menenggang sebagaimana pada abad 17, Makassar adalah kosmopolitan yang dihuni oleh orang-orang berhidung mancung seperti Denmark, Spanyol, Inggris, Belanda, India, Portugis, selain para hidung pesek Jawa, Melayu dan Ambon.

- Advertisement -

Warung coto H. Matto terletak di pusat kota Makassar. Meski puluhan warung serupa terserak di penjuru kota, namun soal cita rasa tak ada yang menyamai coto H Matto lantaran resep turun temurun dari kakek moyangnya yang disimpan dalam sebuah buku beraksara Lontara. Inilah rahasia kenapa coto H. Matto disukai banyak kalangan. Tradisi leluhur Bugis Makassar mewarisi paseng (pesan) dalam Lontara berisi petuah, tata cara adat, hukum, kiat bercinta hingga resep makanan.

Selang kemudian, seorang pengusaha Daeng Sangkala — diperankan Awaluddin Tahir dengan hidup — tertarik untuk mewaralabakan (franchise) coto H. Matto, bahkan ingin membesarkannya. Namun, ditampik dengan pelbagai alasan, antara lain karena H. Matto ingin menjaga tradisi kuliner keluarga.

Tak hilang akal, Daeng Sangkala (Awaluddin Tahir) membeli ruko di seberang jalan warung coto H Matto dan membuka warung konro. Tampilan warung konro Daeng Sangkala lebih kekinian, sebaliknya warung coto H.Matto tetap dipertahankan seadanya.

Di sinilah persaingan dimulai. Guna menarik pembeli dan sekaligus mengalihkan perhatian pelanggan H. Matto, Daeng Sangkala gencar melakukan promosi. Bahkan managernya yang bernama Rustam (Pieter Ell) kerap melakukan intrik. Ia membayar pendengung (buzzer) dan pemengaruh, bahkan menyogok perempuan untuk menaruh cacing di mangkok Coto H. Matto. Media sosial dan koran mengobarkan berita ini. Terjadi adu mulut dan untungnya tidak sampai menimbulkan tumpahan darah. Warung H Matto tutup dan ia frustasi.

Pada saat yang sama, diam-diam Rizal, putra Sangkala (Adit Triyuda) dan putri H. Matto, Sara (Nielam Amir) saling menaruh hati. Klise tapi asyik, khas Hollywood dalam menyelesaikan masalah yang ruwet.

Didukung oleh sejumlah komika Zakaribo, Musdalifah, cerita mengalir disela anekdot khas Makassar yang dilafalkan dengan dialek setempat memudahkan pemain bermain natural.

Pun penyanyi dangdut Aty Kodong yang bermain segar, menambah bobot film ini.

Kisah selanjutnya, silakan Anda nonton sendiri. Coto vs Konro tayang pada 6 Februari di seluruh Indonesia. (Alif)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here