Perumahan Membentang 30 KM di Tengah Persawahan, Bukit, dan Sungai yang Menenangkan

0
126
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

Di manakah daerah itu?

Pemandangan seperti itu nyata adanya di Sulawesi, bila kita melakukan perjalanan darat, laut, maupun udara.

Saya sendiri pernah melakukan perjalanan darat dan udara dari Sulawesi Selatan menuju Sulawesi Tengah, menikmati panorama hutan pegunungan, hamparan lahan perkebunan, persawahan, pesisir pantai, hingga aliran sungai yang jernih.

Kini telah tersedia jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan enam provinsi di Sulawesi: Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.

- Advertisement -

Ke Sulawesi Tengah, Mengenang Masa Kecil

Pada awal tahun 1990-an, saya mengunjungi beberapa daerah tempat keluarga saya bermukim sebagai petani. Mereka datang membuka lahan, menanam kakao (cokelat) dan tanaman palawija, seperti di Palolo.

Kemudian saya melanjutkan perjalanan ke Sidondo, daerah yang menjadi inspirasi utama tulisan ini.

Di Sidondo, sepupu saya Hj. Gama tinggal bersama anak-anaknya. Rumah mereka berdiri di dekat bantaran sungai atau kuala yang mengalir jernih, dikelilingi deretan bukit sepanjang aliran sungai itu.
Lokasinya sekitar 30 kilometer dari Kota Palu, di kawasan pertanian dan persawahan yang hijau membentang.

Di tempat yang damai ini, saya terinspirasi untuk membangun sebuah gasebo keluarga di tepi kuala, sebagai tempat berkumpul dan bersilaturahmi.

Maranata Pasar: Suasana Hidup di Tengah Sawah

Di dekat situ terdapat pasar tradisional yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Pasar itu menjual aneka hasil sungai, seperti ikan gabus (bale bolong), masapi (ikan berkuping dan berlemak), dan lain-lain.

Penjualnya menjajakan ikan sambil bersenandung dalam bahasa Bugis, menambah hidup suasana pasar.
Tak ketinggalan, tersedia juga makanan siap saji berbahan lauk ikan sungai.

Bambarina Lembasada Donggala
Di daerah inilah, saya menemukan jodoh saya — seorang putri dari keponakan sepupu saya. Saya merasa sangat terikat secara emosional dan kultural dengan kawasan ini.

Saya memilih berpuasa dan merayakan Idul Fitri di sini, menikmati kembali tradisi masa kecil: Saat malam takbiran, meriam bambu diledakkan dari lubang yang dibakar, mengema bersamaan dengan kumandang takbir dari musala kecil di tengah kebun cokelat.

Idul Fitri di Kampung

Pagi hari Idul Fitri, warga berbondong-bondong ke musala mengenakan pakaian kebesaran layaknya haji. Setelah shalat Ied, tradisi dilanjutkan dengan berkunjung ke rumah-rumah tetangga, dimulai dari rumah terdekat dengan musala, hingga akhirnya ke rumah masing-masing.

Menyantap Udang dari Kuala

Selepas itu, kami biasa menikmati lauk istimewa: udang yang diserok langsung dari kuala, ditumis dengan santan, disajikan bersama nasi pulen yang harum dari beras baru panen, massipana.
Kenangan itu begitu hidup — mandi di kuala, menyantap hidangan sederhana namun penuh makna.

Masihkah kuala itu kini menyimpan udang dan ikan untuk lauk warga sekitarnya?
Pertanyaan itu selalu menggantung dalam hati saya setiap kali mengenang kampung halaman ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here