JEFFREY MUSA: PUTRA BUGIS KELAHIRAN BRONX YANG HIDUP DI DUA BUDAYA

0
292
- Advertisement -

PINISI.co.id- Jeffrey Musa, 31 tahun, putra pasangan Hasan Musa dan Hasniaty Darmawi, adalah gambaran nyata generasi diaspora yang hidup di persimpangan dua budaya : Indonesia dan Amerika. Lahir dan besar di Bronx, New York City, Jeffrey adalah anak ketiga dari keluarga Bugis–Enrekang yang telah menetap di Amerika Serikat selama puluhan tahun.

Hasniaty lahir di Kalosi, Kabupaten Enrekang, sementara Hasan Musa berasal dari Toraja. Pasangan ini menetap lama di Bronx sebelum setahun terakhir pindah ke Queens, kawasan yang menjadi salah satu pusat komunitas diaspora Indonesia. Jeffrey meraih gelar sarjana radiologi dan kini bekerja di Lenox Hill Hospital, Manhattan. Sang istri, Erma Harahap—perempuan Batak Mandailing dari Medan—berencana mengambil studi keperawatan. Pasangan ini menikah pada 9 Februari 2025 lalu.

Kisah keluarga Musa di Amerika berawal dari Hasan Musa yang dulu bekerja di kapal dengan rute New York. Usai kontrak, ia turun ke darat, bekerja di restoran, hingga menjadi eksekutif chef, lalu menikah dan kembali ke New York untuk merintis usaha restoran bersama rekan Italia serta bergerak di bidang real estate. “Saya bisa menyekolahkan ketiga anak kami hingga mereka mandiri,” kenangnya.

Meski tumbuh di Amerika, Jeffrey mendapat pendidikan agama sejak kecil. Bersama kakak dan adiknya, ia belajar Islam dari Ustadz asal India, sering ke Masjid Yaman dan Masjid Al-Hikmah—pusat komunitas Muslim Indonesia di New York. Latar belakang keluarga yang religius, termasuk kakek dari pihak ibu yang pernah menjadi ketua masjid dan Muhammadiyah di Enrekang, turut membentuk identitas keislamannya.

Dari budaya Amerika, Jeffrey mengaku memetik nilai positif seperti disiplin waktu, kerja keras, fokus pada tujuan, dan penghargaan terhadap perbedaan. “Di sini, orang tidak mempersoalkan agama atau pekerjaan Anda. Negara ini sangat toleran,” ujarnya. Meski demikian, ia menegaskan dirinya tetap berada di dua dunia: separuh American, separuh Indonesian.

Bagi Jeffrey, masjid-masjid di New York memiliki peran penting untuk menjaga identitas generasi muda. Ia rutin mengikuti kegiatan komunitas, dari perayaan Idul Fitri hingga bazar diaspora. Setelah menikah, ia bertekad makin aktif dalam acara-acara diaspora, sekaligus mengenalkan istrinya pada budaya leluhur, termasuk cita rasa kampung halaman seperti Coto Makassar dan Ikan Goreng Teri Medan.

Jeffrey adalah partisipan pertama dalam penelitian disertasi bertema “Being a Muslim, Indonesian, and American: Religious and Cultural Identity among Indonesian Diaspora in New York City” yang tengah disusun oleh penulis berita ini. Kisahnya mencerminkan bagaimana generasi muda diaspora membangun jembatan antara identitas keislaman, budaya Indonesia, dan nilai-nilai Amerika di tanah rantau. (Saleh Mude).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here