KEMERDEKAAN DAN PANGAN KITA

0
37
- Advertisement -

Kolom Muliadi Saleh

Kemerdekaan bukan hanya soal mengibarkan bendera, melainkan bagaimana bendera itu tetap berkibar dalam perut yang kenyang, dalam dada yang lapang, dalam jiwa yang tenang. Apa arti merdeka jika rakyatnya lapar, apa makna kemerdekaan jika sawah-sawah mengering, ladang-ladang dibiarkan kosong, dan dapur rakyat hanya berisi asap tipis tanpa nasi yang menanak?

Kemerdekaan bukan sekadar kibaran merah putih di langit pagi, melainkan denyut kehidupan di sawah dan ladang, denting gemuruh di lumbung yang penuh, dan aroma nasi mengepul dari dapur rakyat.

Bung Karno pernah berpesan lantang: “Pangan adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa.” Kata-kata ini bukan sekadar pidato, tetapi wasiat sejarah yang menegaskan bahwa kemerdekaan sejati hanya akan tegak bila rakyat berdaulat atas pangannya.

Pangan: Penopang Kemerdekaan

Dalam ilmu sosial maupun politik, pangan bukan hanya urusan dapur. Ia adalah penopang demokrasi, penjamin stabilitas, dan penentu martabat bangsa.

Dunia telah membuktikan, kerajaan runtuh dan negara goyah karena gagal menyediakan pangan rakyatnya. Revolusi sering lahir bukan dari ideologi, melainkan dari perut yang lapar.

Indonesia memiliki segala prasyarat untuk berdaulat pangan: tanah subur, laut luas, iklim bersahabat, serta tradisi agraris panjang.

Namun demikian, kita juga tidak mengabaikan adanya fakta  tentang lahan subur yang beralih jadi beton, pupuk langka, harga hasil tani tak sepadan dengan jerih payah petani, mahalnya beberapa komoditas di pasaran dan berbagai problem pangan kita.

Kemandirian Pangan: Wajah Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan pangan bukan berarti menutup diri dari perdagangan global, tetapi menempatkan kepentingan rakyat di atas logika pasar. Kemandirian pangan berarti memastikan bahwa petani terlindungi, teknologi berpadu dengan kearifan lokal, lumbung pangan tersedia, distribusi merata, dan pangan lokal kembali menjadi kebanggaan.

Bayangkan wajah desa yang merdeka pangan: sawah hijau membentang, padi melambai dihembus angin, anak-anak berlarian di pematang, lumbung penuh gabah, pasar rakyat ramai dengan hasil tani, dan di meja makan setiap rumah tersaji makanan dari bumi sendiri. Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya: ketika perut kenyang, hati tenang, dan martabat bangsa tegak.

Jejak Prestasi Mentan, Andi Amran Sulaiman

Di tengah tantangan global, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tampil sebagai motor penggerak swasembada. Tahun 2017 Indonesia mampu meraih swasembada beras, jagung, dan bawang merah.

Di masanya, ekspor pertanian melonjak, cadangan pangan membaik, dan Kementan meraih opini WTP dari BPK serta penghargaan anti-gratifikasi dari KPK.

Kini, di periode keduanya (2023–sekarang), Amran kembali menunjukkan lompatan. Dalam enam bulan, cadangan beras pemerintah mencapai 3,5 juta ton tanpa impor—pencapaian yang oleh pengamat disebut “target empat tahun yang dituntaskan dalam setengah tahun”.

Ia juga memperluas areal tanam, serta menggenjot ekspor hingga triliunan rupiah. Tak heran, berbagai penghargaan akademik hingga Parasamya Anugraha Dharma Krida Upa Bogha dari UNS disematkan padanya sebagai pengakuan atas dedikasi di bidang pertanian.

Pujian Presiden Prabowo Subianto

Presiden Prabowo Subianto berkali-kali memberikan apresiasi terbuka atas kerja keras Amran. Ia menegaskan:

“Saya ucapkan terima kasih kepada Pak Mentan atas pengendalian Anda terhadap situasi pertanian. Ini sangat bagus… masalah pangan adalah masalah kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.”

Prabowo mendukung langkah tegas menaikkan HPP gabah agar petani sejahtera, serta menindak praktik penggilingan nakal. Ia menyebut kinerja pertanian dalam 100 hari kabinet sebagai pencapaian luar biasa.

Publik pun sepakat: survei menunjukkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Amran mencapai lebih dari 89%, menempatkannya sebagai salah satu menteri dengan rating tertinggi.

Apresiasi ini bukan sekadar pujian personal, tetapi pengakuan bahwa pangan kini benar-benar ditempatkan sebagai fondasi kemerdekaan.

Dimensi Spiritual Kemerdekaan Pangan

Kemerdekaan pangan juga memiliki dimensi spiritual. Al-Qur’an menegaskan:
“Makanlah dari rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah berikan kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya menyembah.” (QS. An-Nahl: 114).

Rasulullah SAW pun mengingatkan: “Tidaklah seorang mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Tirmidzi).

Artinya, kemerdekaan pangan bukan sekadar soal cukup, tetapi juga soal keberkahan. Ia menyangkut kesucian rezeki, penghargaan terhadap petani sebagai perantara rahmat, dan rasa syukur atas karunia bumi Nusantara.

Seruan Kemerdekaan Pangan

Kemerdekaan sejati bukan hanya tercetak dalam teks proklamasi. Ia hidup di sawah yang menghijau, di lumbung yang penuh, di meja makan rakyat yang sederhana namun terjamin. Kemerdekaan pangan adalah fondasi: tanpa itu, bendera hanyalah kain, dan demokrasi hanyalah pesta kata.

Bung Karno sudah berpesan: “Pangan adalah hidup matinya bangsa.” Maka jangan biarkan pesan itu jadi kutipan beku di buku sejarah. Jadikan ia bara api dalam kebijakan negara, jadikan ia semangat di hati petani, jadikan ia doa di bibir setiap ibu yang memasak untuk anak-anaknya.

Bangkitlah, Indonesia!
Berdirilah di atas kaki sendiri, beri makan dirimu sendiri, dan tegakkan kemerdekaan panganmu. Karena tanpa pangan, kemerdekaan hanyalah ilusi. Tetapi dengan pangan yang merdeka, Indonesia akan tegak berdiri, sejajar dengan bangsa besar dunia—berdaulat, berwibawa, dan bermartabat.

Merdeka!

Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here