Islam Pelopor HAM Pertama di Dunia

0
141
- Advertisement -

 

Kolom Amsal Bakhtiar

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai persoalan yang penting dalam kehidupan manusia sangat diperhatikan oleh ajaran Islam. Konsep dasar HAM maupun praktiknya telah dicontohkan baik oleh Nabi Muhammad maupun para khalifah yang meneruskan memimpin umat pada waktu itu dan menjadi teladan buat kita sekarang ini.

Konsep HAM di bidang hukum, kehidupan politik dan bidang sosial diungkapkan dengan jelas dan terang sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 135 “ Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan”.

Salah satu inti dari hak asasi manusia seperti disebutkan dalam Al-Qur’an di atas adalah ditekankannya perhatian pada persamaan manusia, keadilan, menyampaikan kebenaran, dan bersikap jujur, adalah pokok-pokok dari persoalan hak asasi manusia yang harus ditegakkan.
Persoalan keadilan adalah masalah yang sangat serius dalam mewujudkan hak asasi manusia. Rasanya, mustahil mewujudkan hak asasi manusia tanpa tegaknya dan diwujudkannya keadilan dalam semua bidang kehidupan. Dalam hadis Nabi ada yang bertanya apakah yang dimaksud dengan keadilan, Nabi Muhammad Saw menjawab,” Adil itu ialah memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya, dan mencabut dari seseorang apa yang bukan menjadi haknya”.

Secara rinci dan luas Nabi Muhammad Saw juga menyampaikan pidato pada saat Haji Wada atau haji terakhir masa hidup Rasulullah tahun 13 Hijrah atau 632 M di Arafah. Dalam pidato tersebut juga sarat dengan persoalan hak asasi manusia.
Nabi Muhammad dalam pidatonya menekankan agar manusia tidak melakukan eksploitasi manusia atas manusia, melarang berbuat aniaya dan sewenang-wenang, melarang melakukan penindasan. Nabi Muhammad Saw juga meminta menghormati dan memuliakan istri, mempererat persaudaraan dan melarang mengambil milik orang lain secara tidak benar.

Kemudian dalam pidato Rasulullah juga menekankan bahwa setiap manusia adalah keturunan Adam dan tidak ada kelebihan satu suku dengan suku lainnya. Orang Arab tidaklah lebih mulia dibandingkan dengan orang bukan Arab. Orang kulit putih tidaklah lebih mulia dari orang kulit berwarna. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya kepada Allah.
Prinsip dan penghargaan terhadap hak asasi manusia juga ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah atau pindah ke Madinah. Di kota yang awalnya bernama Yatsrib ini Nabi diangkat menjadi pemimpin. Sebagai pemimpin yang memiliki masyarakat yang heterogen dan majemuk Nabi membuat perjanjian yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.

Komunitas yang ada dalam masyarakat Madinah terdiri dari kaum Yahudi, kelompok Islam, dan penganut Paganisme. Kelompok ini diakui hak-haknya dan kewajibannya tanpa membedakan satu sama lainnya. Mereka ini mempunyai kebebasan dan otonomi khusus dan tunduk pada hukum masing-masing agama yang dianutnya. Untuk kaum muslimin tunduk dan menjalankan hukum Islam, umat Yahudi tunduk pada hukum Taurat, dan penganut paganisme pada hukum dan adat mereka.

Namun untuk kebijakan politik keluar ditentukan oleh Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw, dan Nabi Muhammad memutuskan kebijakan melalui musyawarah. Di samping itu semua komunitas mempunyai kewajiban mempertahankan Madinah jika ada ancaman dan serangan dari luar.
Perhatian pada HAM ini juga menonjol pada masa Khalifah Umar bin Khattab dengan tindakan-tindakannya yang menyamakan semua orang sama di mata hukum. Tidak ada yang diistimewakan meskipun yang melakukan kesalahan itu adalah para pejabat.

Ucapannya yang sangat dikenal ketika menangani kasus perbuatan sewenang-wenang anak gubernur Mesir Amir Ash, dan dianggap sebagai kata bersayap dalam hak asasi manusia.

Putera Gubernur Mesir Amir bin Ash dalam sebuah perlombaan pacuan kuda dikalahkan oleh seorang rakyat biasa. Merasa terhina dengan kekalahan tersebut ia lalu memukul dengan cambuk lawannya itu hingga kesakitan. Tidak terima dengan perlakuan tersebut, rakyat biasa itu mengadu pada Khalifah Umar.

Setelah menerima pengaduan tersebut Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkirim surat pada Gubernur Mesir Amir bin Ash,” Pada musim haji tahun ini, hendaklah engkau datang ke ibu kota dan bawa anakmu,”.

Mendapat surat tersebut Amir bin Ash sangat kaget. Ia lalu memanggil anaknya,” Apakah engkau telah membuat perkara, dan berbuat jahat,” tanyanya. Anak itu menjawab dan tidak mengakui perbuatannya. “ Tidak,” jawabnya. “ Kalau begitu kenapa Umar menulis tentang dirimu,” ucapnya.

Setelah Amir bin Ash dan pateranya bertemu dengan Umar dan dilakukan penyelidikan, ternyata apa yang disampaikan orang Mesir itu benar adanya. Maka Umar berkata pada orang Mesir dari rakyat biasa tersebut. “ Sekarang ambil cemeti dan cambuk anak pembesar ini,” perintah Umar.

Rakyat biasa itu mencambuk putra Gubernur Mesir Amir bin Ash hingga meringis kesakitan. Lalu setelah selesai mencambuk anak pembesar Mesir tersebut, Umar kemudian memerintahkan untuk mencambuk Amir bin Ash.. “ Sekarang cambuk ayahnya, si Amir ini, demi Allah, ia tidak akan memukulmu kalau ia tidak berkuasa,”. Tapi, warga Mesir ini menolak,” Cukuplah, yaa Amirul Mukminin , sebab ayahnya tidak pernah berbuat begitu kepadaku”.

Lalu cambuk itu diserahkannya pada Umar bin Khattab. Waktu menerima cambuk tersebut keluarlah ucapan Khalifah yang sangat terkenal,” Hai Amir, sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka melahirkannya sebagai orang merdeka,”. Ucapan Umar ini sangat terkenal sebagai kata bersayap yang menunjukkan penghargaannya terhadap hak hidup manusia dan penghargaannya terhadap martabat dan kehormatan manusia.

Dalam persamaan di bidang hukum ini juga ditunjukkan oleh Umar bin Khatab ketika memutuskan hukum qisas pada Raja Jabalah bin Al Aiham, raja Ghasan, yang masuk Islam namun berlaku kasar terhadap rakyat biasa yang tidak sengaja menginjak jubahnya. Ia memukul rakyat kecil tersebut hingga buta matanya. Ketika masalah ini dibawa ke Umar dan terbukti tindak kekerasannya, ia menjatuhkan hukum qisas pada raja tersebut. Namun, karena merasa hukum itu tidak pantas untuknya karena ia merasa raja besar, ia minta ditunda pelaksanaan hukumannya.

Namun, pagi dini hari raja Jabalah kabur dan kembali murtad masuk Kristen serta minta perlindungan pada raja Romawi.
Penghargaan Umar bin Khattab terhadap kaum non-muslim yang hidup di dalam kekuasaan pemerintah Islam (kaffir Dzimmi) juga terungkap dalam peristiwa berikut. Umar bin Khattab menemukan seorang Yahudi yang sudah berusia lanjut minta-minta. Kemudian terjadilah dialog.” Sudah tua seperti ini, mengapa sampai meminta-minta,” tanya Umar.

“ Untuk pembayar jizyah, wahai Raja orang yang beriman,” jawabnya.

Mendengar penjelasan tersebut Umar memerintahkan kepada pegawai Baitul Maal,” Tidak layak ! Di waktu muda tenaganya ditumpahkannya mencari hidup dan rutin bayar jizyah . Sekarang dia telah tua kita biarkan dia meminta-minta. Mulai sekarang hapuskan namanya dari daftar orang yang dipungut jizyah, lalu pindahkan nama itu ke dalam fakir miskin yang berhak menerima bantuan” (dikutip dari Hamka, Studi Islam, editor H.Rusydi, Pustaka Panjimas, Jakarta, Januari l982 hal. 244).

Jauh sebelum HAM Barat

Perhatian ajaran Islam terhadap hak asasi manusia sudah jauh dimulai sekitar 600 tahun lalu dibandingkan dengan hak asasi manusia dalam masyarakat Barat yang baru muncul di awal abad pertengahan. Misalnya, Magna Charta di Inggris yaitu yang membatasi kemutlakan kewenangan raja dan memberikan hak-hak kebebasan pada rakyat baru dilahirkan tahun 1215 M. Demikian juga mengenai Deklarasi Kemerdekaan Amerika baru pada 4 Juli 1776 yang menyatakan pentingnya menghargai hak asasi manusia. Revolusi Perancis dengan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan) pada abad 18 juga merupakan perlawanan terhadap monarki yang berkuasa. Menuntut kebebasan, tanpa penindasan dari pihak berwenang. Dan, yang paling akhir tentang hak asasi manusia yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa baru pada 10 Desember 1948 dilahirkan. Dalam Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia tersebut terdiri dari 30 Pasal yang hampir seluruhnya menuangkan hak-hak penting dalam kehidupan manusia yang harus dijamin dan diberikan kebebasan, yaitu berupa hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial dan lainnya.

PBB sebagai badan dunia yang telah mendeklarasikan hak asasi manusia 77 tahun lalu seharusnya ditaati oleh para anggotanya yang kini berjumlah 193 negara. Namun, kenyataannya sejak deklarasi HAM hingga saat ini banyak peristiwa di dunia yang menunjukkan pelanggaran HAM secara nyata yang tidak bisa dicegah. Peristiwa-peristiwa peperangan yang mengorbankan rakyat sipil, anak-anak dan kaum wanita dalam berbagai peperangan, dan seperti juga terlihat akhir-akhir ini dalam keganasan zionis Israel membunuh rakyat Gaza, Palestina, menunjukkan betapa deklarasi HAM hanya menjadi tulisan di atas kertas atau “barang suci” yang tidak dipatuhi.
Terkadang perjuangan menegakkan HAM bukan lagi suatu upaya yang ikhlas dan tulus dilakukan untuk melindungi kehormatan manusia, tetapi menjadi alat politik untuk memperjuangkan kepentingan. HAM akan disuarakan kalau ada keuntungan, tetapi HAM tidak akan dijalankan atau disuarakan kalau dinilai akan merugikan. Dengan demikian dalam pelaksanaan dan perjuangan HAM terjadi sikap standar ganda yang tidak konsisten.

Basic HAM Islam

Terwujudnya hak asasi manusia diperlukan motivasi yang mendasari untuk dilakukan. Ternyata pertimbangan kemanusian semata tidaklah memadai. Karena adanya faktor politik bisa menjadi penghambat pertolongan kemanusian. Dalam peperangan saja bantuan kemanusiaan bisa gagal dilakukan pada korban kemanusiaan karena dihalangi oleh kepentingan politik. Contohnya seperti yang terjadi Gaza di mana bantuan kemanusiaan kadang sulit dilakukan, padahal rakyat sangat membutuhkan.
Karena itu, dalam pelaksanaan dan perwujudan hak asasi manusia basis keyakinan dan akidah harus menjadi motivasi melaksanakan HAM.

Dalam Islam melaksanakan HAM sesungguhnya identik dengan perbuatan amal saleh. Setiap amal saleh yang menjadi motif penggeraknya adalah karena keyakinan pada Allah. Bahwa Allah menyuruh berbuat baik sebagai bekal manusia untuk hidup di akhirat. Hidup manusia di dunia ini sesungguhnya akan berakhir, tidak abadi. Karena itu setiap orang atau pun pemimpin harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di pengadilan Allah.

Perbuatan baik akan mendapat pahala dan perbuatan jahat akan menanggung siksa.
Banyak hal yang positif jika setiap perbuatan memiliki pertanggung jawaban kepada Allah. Dan pertanggung jawaban kepada Allah sebagai zat dan instansi yang Maha Tinggi, Maha Kuasa dan Maha Suci menjadikan manusia untuk bekerja, berbuat dan beramal dengan sungguh-sungguh dan optimal. Semua ini didedikasikan karena adanya Iman dan keyakinan pada Allah. Bahwa, dalam hidup ini kedaulatan dan kekuasaan adalah milik Allah. Manusia diberikan mandat kekuasaan, tapi kekuasaan itu tidak boleh menyimpang dari keinginan dan kehendak Allah.

Pelaksanaan dan perwujudan HAM yang ada sekarang ini tidak berjalan dengan baik di dunia, meski menganut sistem politik demokrasi, ternyata menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu bisa menjamin terciptanya kehidupan HAM dengan baik. Dalam demokrasi yang dipentingkan setiap negara di dunia ini adalah kepentingan nasionalnya. Sementara HAM urusan belakangan!

Prof.Dr.Amsal Bakhtiar,MA, Dosen dan Plt.Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depk, Jawa Barat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here