Kolom Fiam Mustamin
Ada dua realitas yang kontras: harapan anak-anak mendapatkan layangan putus, dan harapan para buruh tambang yang menggantungkan nasib dari galian tambang demi mengubah hidup dari kemiskinan.
Paradoks pertama datang dari permainan anak-anak pemburu layangan. Mereka memadati sawah yang baru dipanen atau lapangan sepak bola untuk mengadu ketangkasan layangan, sebuah tradisi yang marak saat perayaan 17 Agustus. Layangan dibuat dengan aneka bentuk, benangnya dilapisi serbuk kaca agar tajam, siap diadu di udara.
Permainan ini menjadi tontonan seru. Layangan saling menguji kekuatan benang, diiringi sorak sorai penonton. Ketika satu layangan putus, sekelompok anak-anak berlari dengan galah, berebut menangkapnya. Suasana memuncak saat salah satu galah berhasil menjaring benang layangan, lalu sang pemilik buru-buru melarikan diri dari kejaran yang lain. Namun, buruan itu akhirnya direbut ramai-ramai dan koyak, menyisakan kerangka yang tak berguna. Tak ada yang benar-benar memiliki, meski mereka bersorak puas. Tragis, karena semangat kompetisi berubah menjadi perebutan tanpa sportivitas, lebih memilih menghancurkan daripada mengakui pemenang. Nilai kebersamaan seperti sipatuo dan sipatokkong pun memudar.
Paradoks kedua adalah nasib buruh tambang. Mereka adalah anak bangsa yang menggali tanah untuk sekadar bertahan hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Dengan risiko besar, mereka rela mempertaruhkan nyawa: terjebak longsor, kehabisan oksigen, hingga tewas di lubang galian.
Pertanyaan pun mengemuka: untuk siapa hasil tambang ini? Apa arti kemerdekaan bagi rakyat kecil, 80 tahun setelah negeri ini diperjuangkan oleh para leluhur mereka?
Renungan ini mengajak kita menatap wajah kemerdekaan: apakah ia memberi harapan, atau sekadar kenyataan pahit yang tak pernah berubah?