Kolom Alif we Onggang
Kata-kata yang indah bisa jadi racun jika menyesatkan (Plato 427–347 SM).
Dari Socrates sampai Nietzsche, dan banyak filsuf lainnya menilai kata-kata sebagai alat yang bisa membinasakan, tergantung bagaimana ia digunakan.
Alkisah, lidah lebih tajam ketimbang pedang dan dapat melukai, tetapi lidah yang berbisa mampu menusuk hati, memicu pertikaian bahkan meruntuhkan sebuah bangsa.
Mulut yang tidak terjaga akan menghilangkan kehormatan si pengucap. Sebab sekali dilontarkan ia tak bisa ditarik kembali. ia meninggalkan bekas dalam ingatan, dan bisa menjadi warisan tanpa maaf.
Kata-kata tak senonoh tinggal menunggu pengungkitnya untuk meledakkan kerusuhan. Unjuk rasa berujung anarkis pada demo 25-30 September mengorfirmasi hal itu.
Kekerasan kolektif sering muncul ketika terjadi kesenjangan tajam antara harapan dan kenyataan. Teori Relative Deprivation (Ted Gurr, 1970) menjelaskan hal ini.
Banyak kata-kata yang diucapkan penguasa telah kehilangan kendali. Asal cuap, tanpa disaring oleh hati dan akal sehat. Derajat omon-omonnya sudah mencapai inflasi. Lain yang diomongkan, lain pula yang dipraktikkan. Sering kalimatnya penuh limbah dan mematikan. WS Rendra bilang perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Taro ada taro gau.
Sementara pada rakyat, mulut berbisa menjelma menjadi jari yang mengetik, menyebar kabar bohong, hinaan, dan provokasi. Dunia maya pun tak luput dari racun kata-kata, yang kemudian menjalar menjadi kebencian nyata di dunia fisik. Ketika ucapan tidak lagi dijaga, maka binasalah semuanya.
Kata-kata yang merendahkan bagi obyek yang disasarnya niscaya tidak mampu menjaga lisannya dan akan menebar sekam di mana-mana.
Dalam babakan sejarah, tak sedikit peperangan, perselisihan, bahkan tragedi besar berawal dari ucapan yang sembrono. Asal nyeplak, tak ubahnya menggunakan dengkul.
Omong sembarangan menambah akumulasi kekecewaan dan frustrasi rakyat. Tak pelak, kata-kata memantik pemerotes menjadikan kota-kota menjadi neraka. Banyak variabel lain yang memuntahkan pengunjuk rasa jadi liar dan rusuh.
Maka ocehan pejabat pun berkelindan dengan perilaku culas, congkak, koruptif, hedon dan flexing — ibarat bara yang siap meletup.
Perilaku pamer pejabat dan tak simpati bertaut dengan keputusasaan, kemiskinan dan penderitaan orang banyak. Alhasil, harapan rakyat sudah habis jadi abu. Setiap kali mereka menunggu kabar baik, yang datang justru kalimat-kalimat sembarangan dan memancing amarah.
Riset neurosains sosial dan psikologi juga membuktikan bahwa kekuasaan tidak hanya menggeser nilai moral, tetapi juga menumpulkan fungsi otak yang menghubungkan manusia dengan sesamanya. Tak heran, banyak pejabat menjadi lebih dingin, reaktif, dan kurang peka terhadap penderitaan rakyat (Pasiak, 2025).
Saat ratusan murid keracunan massal akibat program MBG, Zulkifli Hasan enteng berkata: “Ya, mereka belum terbiasa.” Betapa dinginnya kata-kata itu, seolah nyawa anak-anak hanya kelinci percobaan.
Sri Mulyani pun tak mau kalah. Ia memang tidak terang-terangan menyebut guru sebagai beban negara, tapi subtansinya sama: “Apakah semuanya harus dari keuangan negara, atau ada partisipasi masyarakat?” Sebuah cara halus untuk mengelak dari kewajiban negara menyejahterakan guru.
Belum cukup, Nusron Wahid menyembur gegabah: “Semua tanah milik negara, apa Mbahmu bisa bikin tanah?” Sebuah kalimat yang lebih cocok keluar dari preman ketimbang pejabat publik.
Ketika seorang balita meninggal karena cacingan, Pratikno malah tampak mengantuk saat diwawancara.”Oh, saya lagi ngantuk,” katanya tanpa bersalah.
Tak kurang, seorang politisi menuding “paling tolol sedunia” mereka yang ingin membubarkan DPR. Si politisi mengartikan secara harfiah, sementara si pengritik berteriak karena kemasgulannya sudah di ubun-ubun. Ini semacam bentuk ekspresi emosional dan kejengkelan menahun.
Bahkan ada artis-politisi yang mengeluh: “Upah tiga juta sehari tak cukup untuk hidup.” Padahal ada 164 juta rakyat miskin (versi Bank Dunia) mencari Rp100 ribu sehari pun sulitnya setengah mati. Bahkan ada yang saling bunuh hanya gara-gara Rp500 ribu.
Pernyataan-pernyataan seperti ini bukan sekadar blunder, tapi hinaan bagi rakyat yang sejak lahir terperangkap dalam kemiskinan struktural ciptaan negara.
Politisi terlalu lama hidup nyaman, mengawang-awang, penuh fasilitas tapi tanpa hasil. Jika mereka omong di komunitasnya tak soal. Tapi ini di hadapan sebagian rakyat yang hidupnya tergantung dari ojol, pinjol dan judol.
Kemana empatinya? Indonesia sekonyong-konyong dikelola oleh orang yang hatinya beku dan tak sensitif. Penguasa seperti hidup di menara gading sementara rakyat melata di jalan-jalan. Jarak psikologis dan sosialnya makin senjang. Penguasa tebal mukanya, politisi tebal kupingnya.
Tengoklah, Menteri Pertanian Jepang Taku Eto mengundurkan diri karena protes rakyatnya lantaran komentarnya tidak pernah membeli beras sebab mendapat banyak dari pendukung. Ia menuai kritik tajam publik di tengah lonjakan harga beras yang membebani konsumen.
Pun di Jepang, pamer kekayaan adalah aib. Di India, pejabat memakai kendaraan dinas produk lokal. Di Swedia, politisi tak mendapat mobil dan rumah dinas, tapi bangga jadi pelayan rakyat.
Permaisuri Raja Denmark tampil sederhana, bahkan mengenakan gaun yang sama berulang kali karena merasa tak pantas hidupnya ditopang dari pajak rakyat. Perdana Menteri Singapura, Mr. Wong, pun memilih naik pesawat kelas ekonomi.
Sebaliknya di sini, pejabatnya merasa hina kalau hidup sederhana. Rakyat yang menjarah buru-buru dicap kriminal. Sementara penjarahan sumber daya alam oleh penggede dan kroninya dibiarkan brutal, dijustifikasi lewat aturan, dan dilakukan dengan masif.
Tuan Presiden, tidakkah Anda resah?
Ini momentum presiden mereform kabinet, dan jangan biarkan pembantu pembantu anda yang idiot menjerumuskan Tuan.