PINISI.co.id- Sebuah proyek pembangunan taman bermain di Jln. Pallantikang, Kelurahan Kalegowa, menyeret kontroversi besar. Dana proyek dari pemerintah pusat telah cair hingga 80%, tetapi di balik pencairan APBN itu tersimpan aroma penyalahgunaan wewenang.
Alih-alih membawa kegembiraan bagi anak-anak TK, proyek ini justru mengusir jamaah dari lahan parkir masjid.
“Lokasi proyek berdiri di atas lahan wakaf yang diperuntukkan untuk kepentingan masjid,” tegas Andi Alam, Koordinator Bidang Keagamaan Masjid Al Muhajirin.
Proyek Jalan, Musyawarah Hilang
Rapat yang digelar di Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa, Jumat (12/9), membongkar fakta mencengangkan: pembangunan dilakukan tanpa musyawarah dengan pengurus masjid atau tokoh masyarakat.
“Seharusnya duduk bersama dulu, baru proyek jalan,” ujar salah seorang kepala sekolah yang hadir.
Fakta ini menguatkan dugaan bahwa proyek dipaksakan, bahkan bisa melanggar prosedur administrasi.
Dokumen sertifikat wakaf yang didapat redaksi mencatat tanah tersebut diwakafkan khusus untuk masjid. Secara hukum, pengelolaan hanya bisa dilakukan oleh Nazir.
“Pembangunan tanpa izin Nazir atau ahli waris wakif adalah pelanggaran. Ini bisa dijerat Pasal 67 UU Wakaf dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar,” tegas aktivis hukum Solihin Nappa.
Dengan kata lain, proyek yang terus berlanjut sama saja dengan menantang hukum.
Yayasan Diduga Menyalahgunakan Wewenang
Yayasan yang menginisiasi proyek justru disorot paling tajam. Bukan hanya karena mengambil alih peran Nazir tanpa dasar hukum, tetapi juga karena status kepengurusan ketua yayasan diduga sudah kedaluwarsa.
Lebih parah lagi, dalam akta pendirian yayasan, ketua yayasan yang juga ketua Golkar Gowa, mencantumkan dirinya sebagai anggota DPR RI. Fakta ini diragukan kebenarannya dan berpotensi menjadi pemalsuan dokumen hukum.
“Ini bukan lagi urusan administrasi. Ini perampasan kewenangan. Yayasan bertindak seolah-olah pemilik tanah wakaf, padahal tidak punya hak sedikit pun,” tegas kuasa hukum pengurus masjid.
Dalam rapat yang diinisiasi pihak Diknas Gowa 12/9, kepala sekolah TK Al-Muhajirin terlihat gagap saat ditanya soal status lahan, syarat administrasi proyek seperti P2SP dan fasilitator kelurahan.
Situasi ini memunculkan dugaan bahwa kepala sekolah hanya dijadikan pelaksana teknis. Ia bisa menjadi tumbal hukum jika proyek dinyatakan melanggar dan harus mengembalikan dana.
Kasus ini membuka borok tata kelola anggaran pendidikan. Pencairan dana dilakukan tanpa verifikasi status lahan.
“Ini seperti menikah dulu baru melamar. Mekanisme dilanggar, hukum diinjak-injak,” sindir kuasa hukum.
Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang menjadi roh good governance tampaknya diabaikan.
Tokoh masyarakat mengungkap rencana membawa kasus ini ke Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Gowa. Jika itu terjadi, dugaan penyalahgunaan wewenang akan disorot di tingkat legislatif.
Langkah ini bisa membuka jalan bagi investigasi resmi dan bahkan penyelidikan pidana.
Pengurus masjid kini menyiapkan langkah hukum. Mereka akan mengangkat Nazir baru, melibatkan Badan Wakaf Kabupaten, dan meminta KUA turun tangan.
“Jalan keluar hanya dua: kembalikan lahan sesuai peruntukan wakaf atau bersiap menghadapi proses hukum. Tidak ada kompromi,” tegas kuasa hukum.
Selain taman bermain, jamaah dan masyarakat juga mempertanyakan janji pembangunan Rumah Tahfidz, rumah imam, dan rumah marbot.
Dokumentasi peletakan batu pertama menunjukkan ketua yayasan hadir dalam seremoni itu. Namun hingga kini, tidak ada satu pun bagian gedung bangunan yang terwujud untuk rumah tahfidz. (Man)