Foreign Ownership and Simplification of Land Rights

0
87
- Advertisement -

 

Kolom Muchlis Patahna 

Judul di atas mengandung pengertian Kepemilikan Orang Asing dan Penyederhanaan Hak Atas Tanah di Indonesia. Tulisan ini merupakan cuplikan karya ilmiah penulis.

Sebulan setelah disetujui perpanjangan visa studi (31 Juli 2025 – 31 Juli 2028), penulis langsung terbang ke Perth, Australia, untuk melakukan riset terkait tema tersebut.

Sebuah karya ilmiah tentu harus memuat gagasan, ide, serta temuan pengetahuan baru yang dilandasi teori ilmu pengetahuan dan metode penelitian sesuai kaidah akademik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research), yakni penelitian yang meletakkan hukum sebagai bangunan sistem norma. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandingan, yaitu dengan membandingkan peraturan perundang-undangan mengenai hak atas tanah di Indonesia dan undang-undang di Australia. Penelitian ini bersifat perseptif, mencakup peraturan, undang-undang, serta doktrin hukum.

Selama empat tahun terakhir, penulis telah melakukan riset kepustakaan mengenai hak atas tanah (right to land) yang tersebar dalam berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia terdapat 10 hak atas tanah, sementara di Australia hanya terdapat dua hak atas tanah, yaitu freehold right dan leasehold right. Perbedaan ini tentu berimplikasi langsung maupun tidak langsung terhadap kepemilikan orang asing atas properti di Indonesia.

Sebagai contoh, penulis telah meneliti status hukum dan kepemilikan 1.063 unit The Wave Apartemen Kuningan. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), Pasal 16 ayat (1) mengatur hak-hak atas tanah, yakni: 1. Hak Milik,  (HM), 2. Hak Guna Usaha (HGU), 3. Hak Guna Bangunan (HGB), 4. Hak Pakai (HP), 5. Hak Sewa, 6. Hak Membuka Tanah, 7. Hak Memungut Hasil Hutan dan 8. Hak-hak lain yang akan diatur dengan undang-undang.

Selain itu, dikenal pula Hak Pengelolaan (HPL), yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan dan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak.

Dengan melihat fakta hukum normatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa ragam hak atas tanah di Indonesia cukup banyak dan kompleks. Bahkan setelah lebih dari 80 tahun merdeka, masyarakat masih sering bingung mengenai status tanah yang mereka miliki. Tidak jarang pula pejabat setingkat menteri keliru dalam membuat pernyataan, misalnya masih beranggapan bahwa negara adalah pemilik tanah—rujukan yang masih bersandar pada Statsblad 1870 No. 55, sebuah aturan kolonial.

Padahal, UUPA No. 5 Tahun 1960 telah merombak total prinsip itu: negara bukanlah pemilik tanah. Negara hanya memiliki kewenangan terbatas dalam tiga hal, yaitu, pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, serta pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; kedua, mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; ketiga, mengatur serta menentukan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Berdasarkan landasan norma tersebut, ketika merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, perlu dilakukan penyederhanaan hak atas tanah, yakni dari sepuluh jenis hak menjadi hanya tiga jenis saja.

(Bersambung)

Perth, Australia, 23 September 2025

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here