Mohamad Said Didu: Merdeka Sejak Bocah, Berjuang dengan Keyakinan Toddopuli Temmalara

0
55
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

Menulis tentang sosok Mohamad Said Didu, seorang “Manusia Merdeka”, bukan perkara mudah. Pengetahuan dan pengalamannya di bidang birokrasi pemerintahan begitu luas, sehingga saya perlu membuat pembatasan untuk menulisnya, sesuai narasi yang saya pahami dari judul ini.

Jejak Genetik dan Spirit Leluhur

Ada dua hal yang saya cermati dalam membaca latar belakang kehidupannya.

Pertama, ia lahir dari garis keturunan To Manurung — titisan Dewa Langit yang turun ke bumi (lino alekawa). Dari sana lahir We Temmappupu, Ratu Sawitto, yang dipermaisurikan oleh La Temmamala, Datu Soppeng pertama pada tahun 1300 M. Dari turunan To Manurung inilah kemudian lahir raja-raja dan datu di berbagai daerah Bugis-Makassar, yang melahirkan bangsawan dengan peradaban yang diwariskan turun-temurun.

Kedua, dari tanah Sawitto yang kini dikenal sebagai Kabupaten Pinrang, berdiri Kerajaan Suppa. Dari wilayah ini pula lahir pejuang bernama La Sinrang, yang dijuluki Bakka Lolona Sawitto, sosok berani yang melawan penjajah di daerahnya.

Dari garis keturunan inilah mengalir warisan genetis: kecerdasan (amaccang), kearifan, kejujuran (alempureng), keberanian (awaraningen), dan ketegasan. Semua itu menyatu dalam satu spirit hidup: Toddopuli Temmalara.

Toddo puli berarti tekad bulat untuk bertindak berdasarkan kebenaran yang diyakini. Temmalara berarti keteguhan yang tidak tergoyahkan, tak bergeser sejengkal pun dari keyakinan.

Falsafah ini bertautan dengan prinsip Bugis: satunya kata dan perbuatan (iya ada na gau).

Perjuangan dan Nyali: Kasus PMS

Dengan pemahaman itulah, saya memberanikan diri menulis tentang salah satu episode penting dalam perjalanan sahabat saya ini, yang sudah saya kenal lebih dari dua dekade sejak 1990-an melalui paguyuban Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dan Institut Lembang Sembilan (kajian politik dan pemerintahan).

Episode itu dikenal dengan istilah “Papa Minta Saham” (PMS). Gerakan ini penuh tantangan, berisiko tinggi, dan berhadapan dengan kekuasaan tertinggi negara saat itu.

Andai hidup hanya sebatas mengejar materi, tentu tidak akan lahir sikap yang berani mengambil risiko sebesar itu. Tetapi Said Didu memilih jalan berbeda: berdialog dengan nurani, menimbang untuk apa hidup, dan apa yang harus dilakukan dalam kehidupan yang hakiki.

Kasus PMS membuka tabir persoalan besar yang selama ini tidak pernah tersentuh. Saat pilihan harus diambil — to be or not to be, berbuat atau diam — Said Didu memutuskan untuk mundur dari jabatannya di Kementerian ESDM. Dari situlah ia meneguhkan dirinya sebagai “Manusia Merdeka” (MM).

Konsep Manusia Merdeka ini sejatinya adalah implementasi dari warisan demokrasi klasik leluhur Bugis: Maradeka To Wajo’e, Ade’ Emmi Napopuang — “Merdeka orang Wajo, hanya hukum yang dipertuan.”

Amanah Pejabat Negara

Pertanyaan pun muncul: untuk apa menjadi pejabat negara, apa yang diperjuangkan?

Dari apa yang terlihat, “Manusia Merdeka” ini konsisten memperjuangkan kedaulatan rakyat atas sumber penghidupan mereka: laut yang menjadi pagar hidup nelayan, tambang dan mineral yang seharusnya untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir oligarki.

Perjuangan ini jelas bukan hal biasa. Dibutuhkan nyali dan energi yang luar biasa, tanpa pamrih sosial-ekonomi. Dalam sebuah tayangan video, ia pernah mengungkapkan bagaimana dirinya dengan sadar menolak berbagai fasilitas istimewa sewaktu menjabat di Kementerian BUMN: perjalanan kelas eksekutif, kendaraan mewah, hingga pelayanan berlebihan yang menurutnya tidak perlu.

Ia melihat banyak paradoks dalam tata kelola pemerintahan, khususnya BUMN, yang harus dikritisi dan diperbaiki. Itulah yang selalu ia suarakan tanpa jeda dan tanpa rasa takut.

Tak heran jika suara lantangnya mendapat respons luas, terutama dari kalangan intelektual kritis dan rakyat kecil yang kerap terzalimi oleh kebijakan tak adil, tanahnya dibeli murah atau bahkan dirampas secara paksa.

Merdeka Sejak Bocah

Lalu, bagaimana mengukur bahwa sosok ini memang “Manusia Merdeka” sejak kecil?

Jawabannya bisa dilihat dari berbagai kisah masa bocahnya. Dalam beberapa video yang beredar, tampak bagaimana Said Didu tumbuh di lingkungan pedesaan: akrab dengan pertanian padi, perkebunan, perikanan, hingga kegiatan rumah tangga seperti memasak dan membuat kue.

Sejak kecil, ia sudah rajin, cerdas, penuh perhatian, dan selalu mencoba apa yang dilihatnya. Pengalaman masa kecil di kampung itu kemudian ia bawa ke masa dewasanya, membentuk karakter kritis dan analitis dalam setiap pengabdian profesinya.

Dari situlah lahir pribadi yang kita kenal sekarang: seorang sahabat, seorang pejuang, dan seorang “Manusia Merdeka” yang keyakinannya berakar kuat pada nilai leluhur Bugis.

Semoga kisah ini memberi pencerahan, dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here