Teka-teki Lesapnya Foto di Mina

0
5739
Penulis bersama istri di pelataran Masjid Nabawi, Madinah.
- Advertisement -

Kolom IMRAN DUSE

Puncak pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 telah berlalu. Jumlah jemaah yang tak lebih 10 ribu orang itu telah melaksanakan wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah atau bertepatan pada Kamis (30/7).

Di tengah kecemasan dunia akan pandemi COVID-19, otoritas Arab Saudi membuka pelaksanaan ibadah haji tahun ini secara terbatas. Berbagai aturan baru terkait protokol kesehatan diterapkan. Antara lain, larangan menyentuh Ka’bah, kewajiban menggunakan masker selama pelaksanaan ritual haji, serta sejumlah pembatasan lainnya.

Ikhtiar tersebut mendapat pujian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Otoritas Arab Saudi dinilai sukses dalam melaksanakan ibadah haji dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. 

Bagi seorang muslim, haji merupakan ibadah paripurna. Dilaksanakan sekali seumur hidup –yang sifatnya wajib, selebihnya sunnah. Dalam prosesi akbar ini, jemaah senantiasa diingatkan untuk selalu menjaga ucapan dan tindakan. Bahkan, menjaga kebersihan hati dan pikiran.

- Advertisement -

Karena itu, sering terdengar pengalaman jemaah yang sangat personal, unik dan spesifik. Setiap jemaah memiliki pengalaman masing-masing. Dan berbeda-beda. Kendati berada dalam satu kelompok yang sama. 

Sebagaimana yang penulis alami ketika menunaikan panggilan melaksanakan ibadah haji tahun 2015 lalu. Sebuah pengalaman kehilangan hasil jepretan yang sulit diuraikan. Tapi juga sebuah pertanda, betapa akal dan nalar manusia begitu terbatas (atau masih belum cukup) untuk memahami realitas yang “seakan-akan” tidak masuk akal itu.

Di waktu itu pula ada sejumlah kejadian yang menyebabkan ratusan jemaah meninggal dunia. Antara lain, robohnya crane di pelataran Masjidil Haram dan peristiwa gugurnya ratusan jemaah akibat berjejalan saat menuju tempat pelontaran.

                                                     ***

Hari itu di Mina, Arab Saudi, 24 September 2015. Entah apa yang terjadi di luar sana. Di dalam tenda, kami cuma mendengar tanda bahaya ambulans bersahut-sahutan memecah terik. Sesekali terdengar deru suara helikopter. Serasa terbang persis di atas tenda kami, jemaah haji yang tergabung dalam rombongan Arellah Wisata.

Waktu setempat menunjuk pukul 14.00. Kami baru saja menyelesaikan makan siang dan sementara berisitirahat (di pemondokan 114). Ada pemandangan berbeda, saat sebagian besar jemaah berkomunikasi via smartphone dengan keluarga mereka di tanah air –nyaris di waktu bersamaan.

Tak terkecuali kami, saya dan istri, yang juga mendapat telepon dari keluarga di Samarinda. Anak sulung kami, Zalfaa Zahira, sedari tadi mencoba mengubungi. Dengan suara bernada kecemasan, pelan-pelan dia menanyakan kabar kami dan anggota rombongan lainnya.

“Semua televisi di sini beritakan insiden di Mina lho Pa. Korban meninggal dunia sudah mencapai 400-an orang. Syukur alhamdulillah kalau papa-mama dan seluruh rombongan dalam keadaan sehat,” kata Zalfa di ujung telepon.

Suasana spontan menjadi riuh. Kami sendiri, yang berjarak tak lebih 0,3 kilometer dari tempat kejadian, sungguh belum tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana. Sementara keluarga di tanah air, yang jaraknya 8.700 kilometer dari lokasi kejadian, sudah mendapat informasi yang nyaris lengkap.

Belakangan kami ketahui peristiwa terjadi akibat jemaah yang berjejalan saat hendak menuju tempat pelontaran jumroh. Diberitakan jumlah jemaah yang wafat sebanyak 712 orang dan yang luka-luka tak kurang dari 800 orang.

Dari area pemondokan, kami dapat menyaksikan ambulans yang lalu lalang serta petugas keamanan dan medis dalam jumlah cukup banyak. Sebagian jemaah mencoba mendekati lokasi kejadian, dengan maksud sekedar ingin tahu saja. Beberapa di antara mereka bahkan mengambil gambar dan berswafoto.

Pada malam hari, setelah makan malam dan melaksanakan shalat isya berjemaah, saya bersama istri bermaksud melihat dari dekat “bekas-bekas” insiden di lokasi kejadian. Dari pemondokan, kami berjalan kaki sekitar 250 meter. Sepatu dan sandal jemaah korban insiden tampak berserakan di mana-mana. Entah di mana pemiliknya. Di beberapa titik, terlihat bekas bercak darah yang sudah dihamburi pasir.

Sembari berjalan, kami menengok bangunan tempat pelontaran berdiri megah, kuat, dan bermandikan cahaya lampu terang-benderang. Latar belakang yang bagus untuk mengambil gambar, begitu pikir kami.

Saya dan istri pun secara bergantian mengambil gambar menggunakan kamera handphone. Atau meminta tolong kepada jemaah yang sedang lalu. Dan seperti biasa, setelah mengambil gambar, kami memeriksa kembali hasil jepretan itu. Ada puluhan gambar. Dan bagus-bagus. Tak ada yang aneh sampai pukul 21.30, saat kami meninggalkan lokasi tersebut.

Keanehan itu baru tersingkap keesokan harinya. Saat kami sementara sarapan pagi dan bermaksud mengintip foto-foto tadi malam. Tiba-tiba saja fakta itu mengganggu kenikmatan makan pagi kami. Fakta bahwa semua foto tadi malam yang kami abadikan di lokasi kejadian lesap tanpa bekas. Tanpa secuil pun jejak digital.

Rasa penasaran dan kebingungan menyatu dalam satu tarikan nafas kami. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa hanya foto-foto di lokasi insiden dekat tempat pelontaran itu yang raib dari memori penyimpanan? Kenapa ratusan bahkan ribuan foto yang lain masih utuh dan baik-baik saja?

Berlapis pertanyaan menyelimuti kesadaran kami pagi itu. Sebagaimana berlapis usaha pemeriksaan yang saya coba lakukan. Dan setiap kali saya periksa hp itu, tetap saja tak ada petunjuk tentang keberadaan foto dimaksud. Termasuk di folder sampah yang sama sekali juga tak mampu memberi bocoran.

Masih terbayang dengan sangat jelas hasil jepretan semalam, dengan bangunan tempat pelontaran sebagai latar belakang. Lampu yang terang benderang. Sudut pengambilan gambar yang lumayan bagus. Dan tadi malam kami masih sempat memeriksanya satu per satu.

Tapi pagi ini, semuanya hilang tak bersisa. Tak henti kami mengucap istighfar. Pasti ada sesuatu hikmah di balik kejadian ini. Barangkali juga merupakan teguran dari Sang Pencipta. Dalam diam, saya bergumam bahwa tidaklah elok berswafoto di “rumah”-Nya. Juga tidak pantas dan menjadikan lokasi kejadian dan tempat pelontaran sebagai latar belakang.

Bukankah kedatangan kami ke tempat penuh kemuliaan ini adalah untuk memenuhi panggilan-Nya? Menumpahkan segala kerinduan yang tertahankan selama ini? Dan saat kesempatan itu hadir, mengapa ada “yang lain” terselip dan membentuk percabangan dalam niatmu?

“Ampuni kami ya Rabb. Cinta kami kepada-Mu dan kepada kekasih-Mu adalah energi yang membawa kami sampai ke sini. Tak ada yang lain. Tapi tarikan sisi manusiawi kami telah mendorong ke lokasi insiden dan mengambil gambar di sana,” saya kembali bergumam. Kami pun bergeges mengambil wudhu untuk melaksanakan salat sunnah taubat.

Saya yakin ada pesan di balik kejadian tersebut. Dan ini bukanlah fenomena yang tidak masuk akal. Melainkan akal manusia (dan kemanusiaan) belum cukup bertumbuh untuk “membaca” kejadian itu secara utuh. Wallahu a’lam bisshawab.

(Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kaltim)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here