Menjaga Marwah Peradilan: Mengapa Mahkamah Agung Perlu Memiliki Badan Intelijen Sendiri

0
70
- Advertisement -

Catatan Hukum Derry Yusuf Hendriana

Kemandirian peradilan kini diuji bukan hanya oleh intervensi kekuasaan, tetapi juga oleh arus informasi dan disinformasi yang bergerak jauh lebih cepat daripada proses hukum itu sendiri.

Gagasan mengenai perlunya unit intelijen di Mahkamah Agung pertama kali diperkenalkan oleh Akhmad Bangun Sujiwo dalam artikelnya berjudul “Menggagas Unit Intelijen Mahkamah Agung” yang dimuat di laman resmi marinews.mahkamahagung.go.id pada 30 September 2025.

Tulisan tersebut menjadi pemantik intelektual bagi diskursus baru di lingkungan peradilan, yakni bagaimana Mahkamah Agung perlu membangun kemampuan deteksi dini terhadap berbagai ancaman—baik yang datang dari luar maupun dari dalam lembaga—sebagai wujud kemandirian strategis.

Akhmad Bangun Sujiwo menegaskan, selama ini Mahkamah Agung kerap bergantung pada informasi dari lembaga lain seperti kepolisian, kejaksaan, atau instansi pemerintah lainnya.

Ketergantungan ini, dalam pandangannya, berpotensi melemahkan independensi peradilan karena informasi strategis yang menyangkut keamanan hakim, pelaksanaan eksekusi, maupun risiko kelembagaan tidak sepenuhnya berada dalam kendali Mahkamah Agung sendiri.

Ia mengajukan gagasan sederhana namun visioner: pembentukan unit intelijen internal yang berfungsi mendukung pelaksanaan putusan, mengamankan aparatur peradilan, membantu pengawasan internal, serta menjaga integritas lembaga dari ancaman non-yudisial.

Tulisan tersebut bersifat konseptual dan reflektif. Akhmad Bangun Sujiwo menegaskan bahwa intelijen di tubuh Mahkamah Agung tidak harus dipahami secara militeristik atau represif, melainkan sebagai “indra kewaspadaan” kelembagaan. Dari sinilah penulis kemudian mengembangkan gagasan lebih lanjut dalam tulisan berjudul “Menjaga Marwah Peradilan: Mengapa Mahkamah Agung Perlu Memiliki Badan Intelijen Sendiri.”

Keadilan yang Terancam oleh Zaman

Di era digital, ancaman terhadap peradilan tidak selalu datang dari ruang sidang. Ia dapat muncul dari ruang maya—dari opini publik yang memutarbalikkan fakta, serangan siber yang membocorkan data perkara, hingga tekanan sosial yang menyudutkan hakim sebelum palu diketukkan.

Kemandirian peradilan kini diuji bukan hanya oleh intervensi kekuasaan, tetapi juga oleh derasnya arus informasi dan disinformasi.

Sebagai benteng tertinggi keadilan, Mahkamah Agung harus menyadari bahwa menjaga integritas dan marwah lembaga tidak cukup hanya dengan regulasi dan etika, tetapi juga dengan kesiapsiagaan strategis.

Peradilan yang kuat bukan hanya mampu memutus perkara, tetapi juga mampu membaca bahaya sebelum keadilan itu terguncang.

Kemandirian hakim adalah syarat mutlak bagi tegaknya keadilan. Namun, kemandirian tanpa perlindungan intelijen adalah kemandirian yang rapuh.

Ketika data perkara diretas, reputasi hakim dihancurkan oleh kabar palsu, atau tekanan sosial membentuk opini publik yang menyesatkan, maka independensi yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan jam.

Di sinilah urgensi pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung (BIMA) menemukan relevansinya. Badan ini bukan alat kekuasaan atau lembaga pengintai, melainkan penjaga marwah dan integritas lembaga peradilan.

Fungsinya jelas: membaca arah ancaman, mendeteksi risiko terhadap hakim dan institusi, mengantisipasi serangan siber, serta menjaga wibawa lembaga dari distorsi publik yang dapat mencederai keadilan.

Realitas Ancaman terhadap Hakim dan Lembaga Peradilan

Mahkamah Agung telah berulang kali menegaskan bahwa ancaman nyata terhadap hakim memang ada dan semakin kompleks.

Sekretaris Mahkamah Agung, Sugiyanto, S.H., M.H., menyatakan bahwa aksi kekerasan terhadap hakim kerap terjadi di gedung peradilan, sementara sistem perlindungan bagi hakim masih belum optimal—baik di lingkungan kantor maupun di luar rumah dinas.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa keamanan peradilan bukan sekadar isu insidental, melainkan kebutuhan kelembagaan yang mendesak.

Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan, Mahkamah Agung telah membangun sistem keamanan dasar seperti akses pintu tunggal, pengawasan CCTV, jalur evakuasi, hingga alarm darurat. Namun, langkah ini masih bersifat reaktif, belum mampu mendeteksi ancaman sebelum terjadi.

Di sinilah fungsi intelijen yudisial diperlukan—yakni berperan secara preventif dan prediktif.

Beberapa peristiwa tragis yang menegaskan urgensi tersebut antara lain:

1. Pembakaran Kantor Pengadilan Negeri Maumere (2006) oleh massa yang menolak eksekusi mati.

2. Pembunuhan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo (2023) usai menjatuhkan putusan gono-gini.

3. Kematian Hakim Pengadilan Negeri Medan (2019) yang ditemukan meninggal tragis di mobilnya.

4. Penusukan Hakim Pengadilan Agama Batam (2024) di luar ruang sidang.

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap aparatur peradilan, serta pentingnya sistem deteksi dini berbasis intelijen yudisial agar keadilan tidak padam oleh kekerasan.

Pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian dari ekosistem pengawasan yang terintegrasi dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).

Selama ini, Bawas MA berperan melakukan pengawasan internal dan pembinaan integritas aparatur peradilan, sementara KY menjaga kehormatan dan perilaku hakim serta menjadi jembatan partisipasi publik.

Namun, sebagian besar fungsi Bawas MA masih bersifat reaktif, baru bertindak setelah pelanggaran terjadi. Di sinilah Badan Intelijen Mahkamah Agung akan memperkuatnya dengan pendekatan preventif.

Sinergi ketiganya dapat dibangun melalui empat dimensi strategis:

1. Deteksi Dini Integritas dan Ancaman
BIMA menyediakan informasi awal tentang potensi pelanggaran etik, ancaman terhadap hakim, dan disinformasi publik. Data strategis ini menjadi masukan bagi Bawas MA dalam menentukan prioritas pengawasan, serta bagi KY untuk memperkuat fungsi etik publik.

2. Koordinasi Analisis Risiko
Melalui kolaborasi antara analis intelijen, auditor pengawasan, dan pemantau etik, Mahkamah Agung dapat menyusun Judicial Risk Mapping yang mencakup keamanan fisik, reputasi, digital, dan sosial.

3. Pengamanan Informasi dan Kerahasiaan Perkara
BIMA bekerja sama dengan Bawas MA untuk memastikan keamanan siber dan perlindungan data perkara, sementara KY memastikan agar perlindungan tersebut tidak menghalangi transparansi publik.

4. Penguatan Etika dan Marwah Peradilan
Informasi intelijen digunakan untuk memperkuat pembinaan integritas hakim dan pegawai peradilan secara etis, bukan represif.

Dalam sinergi ini, Bawas MA menjadi “mata etik internal”, BIMA sebagai “indra kewaspadaan strategis”, dan KY sebagai “penjaga moral eksternal.”

Kerja sama tripartit ini akan memperkuat peta risiko kelembagaan dan menciptakan ekosistem peradilan yang adaptif, terlindungi, dan berintegritas.

Menjaga marwah peradilan bukanlah tugas satu lembaga, melainkan komitmen bersama seluruh pilar keadilan.

Intelijen sebagai Benteng Moral

Istilah intelijen sering disalahpahami. Dalam konteks peradilan, fungsi intelijen justru bersifat moral dan etis, bukan represif.

Ia tidak dimaksudkan untuk mengawasi, melainkan melindungi—bagaikan sistem imun bagi tubuh lembaga. Fungsinya antara lain:

1. Mendeteksi potensi pelanggaran integritas sejak dini;

2. Melindungi hakim dari ancaman fisik, digital, dan sosial;

3. Memonitor disinformasi yang menodai marwah lembaga;

4. Memberi rekomendasi strategis untuk menjaga kepercayaan publik.

Dengan demikian, Mahkamah Agung memastikan bahwa integritas bukan hanya nilai yang diucapkan, tetapi sistem yang dijaga.

Pelajaran dari Dunia

Sejumlah negara maju telah lebih dahulu menyadari pentingnya fungsi intelijen dalam sistem peradilan.

Di Amerika Serikat, Judicial Security Division aktif melindungi hakim federal dan memonitor keamanan informasi.
Di Inggris, Judicial Office Security and Information Risk Unit menganalisis risiko reputasi lembaga di tengah disrupsi digital.

Praktik-praktik tersebut membuktikan bahwa intelijen bukan instrumen kekuasaan, melainkan tanda kedewasaan peradilan modern.

Bekerja dalam Bingkai Etika dan Transparansi

Agar fungsi intelijen tidak disalahartikan, pelaksanaannya harus berlandaskan etika dan tata kelola yang ketat. Prinsip dasarnya meliputi:

1. Etika dan transparansi internal—setiap aktivitas dapat diaudit secara moral dan administratif;

2. Batas fungsi yang jelas—tidak mencampuri proses yudisial dan substansi putusan;

3. Perlindungan data dan privasi sesuai regulasi nasional;

4. Akuntabilitas kelembagaan—hasil analisis dilaporkan berjenjang kepada pimpinan Mahkamah Agung.

Dengan prinsip-prinsip tersebut, intelijen peradilan akan menjadi penjaga martabat, bukan alat kekuasaan.

Menatap Masa Depan Peradilan Indonesia

Indonesia membutuhkan peradilan yang tidak hanya berwibawa secara hukum, tetapi juga tangguh secara kelembagaan dan bermartabat secara moral.

Pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung yang terintegrasi dengan Badan Pengawasan MA akan menjadi tonggak penting untuk mewujudkan visi “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.”

Keadilan masa depan bukan lagi sekadar tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan seberapa siap lembaga peradilan menjaga dirinya dari segala bentuk serangan terhadap kebenaran.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here