Kolom Bambang Oeban
– 01
Di layar putih itulah lahir semesta—
tempat cahaya menafsirkan wajah manusia, tempat gerak menjadi doa,
dan air mata menjadi sejarah.
Soultan Saladin, lelaki berwajah tegas dari tanah Minang dan darah Melayu, berdiri di sana, bukan sekadar aktor, tetapi jiwa yang menyalakan api di antara gulungan seluloid, menyapa waktu dengan bahasa tatapan, menulis kisah bangsa dengan tubuh dan suara.
Tahun 1949 melahirkan banyak teriakan kemerdekaan, dan di antara gema itu, lahirlah anak yang kelak menghidupkan ribuan karakter di dada rakyat, membangunkan yang tertidur dalam mimpi film, mengubah naskah menjadi napas perjuangan.
– 02
Tidak setiap aktor lahir di panggung,
tapi Soultan lahir di ruang antara nasib dan cita-cita.
Anak kampung yang menatap layar tancap di bawah bintang, melihat pahlawan di film lama, dan berkata dalam hati:
“Aku ingin menjadi perasaan bangsa.”
Dari debu jalan, dari teater kecil,
dari panggung rakyat dan sandiwara keliling, ia menapak dengan suara lantang—bukan hanya bicara tentang cinta dan peran, tapi tentang bagaimana aktor adalah mata bangsayang memandang dirinya sendiri.
Darah Melayu memberi kelembutan, Darah Minang memberi keteguhan, dan keduanya menyatu dalam tubuh seorang seniman yang tak gentar terhadap waktu, tak tunduk pada mode, karena baginya, film bukan hiburan semata, melainkan ibadah estetika untuk bangsa yang haus nilai.
– 03
Lihatlah!
Ketika kamera berputar, Soultan tak hanya berakting—ia berdoa. Setiap gestur adalah tafsir kehidupan, setiap diamnya mengandung seribu luka rakyat, setiap pandangan matanya adalah surat cinta untuk Indonesia.
“Film adalah cermin,” katanya,
“dan aktor adalah wajah bangsa di cermin itu.”
Ia belajar menatap mata rakyat di pasar, merekam keluh dan tawa, membawa semuanya ke panggung layar lebar. Maka ketika ia memerankan tokoh, itu bukan orang lain—itu adalah kita semua, rakyat kecil, pahlawan diam, pejuang yang tak pernah disebut di koran, tapi hidupnya abadi dalam tiap frame.
– 04.
Apa arti menjadi aktor di negeri yang sering melupakan senimannya? Soultan tahu jawabannya: artinya adalah bertarung tanpa pedang, berperang tanpa darah, berkorban tanpa pujian.
Ia tahu bahwa layar Indonesia bukan hanya tempat cerita, tapi medan juang melawan lupa, melawan mental bangsa yang mudah menyerah, melawan kemiskinan makna di tengah gemerlap industri.
Ia tidak pernah memisahkan keaktoran dari kebangsaan. Baginya, seorang aktor harus seperti pejuang: menjaga kebenaran emosi seperti menjaga merah putih, menyampaikan pesan seperti orator revolusi, mendalami peran seperti menghayati doa.
Keaktoran adalah disiplin, adalah kejujuran, adalah cara lain untuk menjadi manusia seutuhnya.
– 05
Ada masa ketika perfilman Indonesia goyah, ketika layar dipenuhi imitasi, ketika idealisme dijual murah di pasar modal hiburan.
Namun Soultan tetap berdiri-dengan napas panjang dan mata tajam, ia berkata pada generasi muda:
“Jangan takut menjadi aktor sejati.
Peranmu bukan hanya untuk kamera, tapi untuk bangsa.”
Ia mengajarkan bahwa film sejati
lahir dari cinta pada rakyat, bukan dari kemewahan dan pesta penghargaan.
Ia menolak tunduk pada skenario palsu kehidupan, dan memilih menulis babak sendiri: tentang bagaimana aktor bisa menjadi guru moral, bagaimana seni bisa menjadi tameng terhadap kebodohan, bagaimana sorot lampu bisa menjadi lentera perjuangan.
– 06
Di setiap dialog yang diucapkannya,
Soultan menanamkan nilai: bahwa aktor bukan penghibur semata, tetapi pendidik emosi rakyat.
Film, katanya, adalah universitas terbuka. Setiap peran adalah kuliah moral. Dan aktor adalah dosen kehidupan yang tak berseragam. Ia berbicara tentang “aktor yang sadar”, bukan sekadar “aktor yang populer.” Karena popularitas akan pudar, tapi kesadaran akan abadi di hati penonton.
“Jangan biarkan penonton hanya tertawa,” katanya. Buat mereka berpikir, menangis, dan bertanya tentang bangsanya.”
– 07
Waktu berjalan seperti film yang terus berputar. Rambutnya mulai memutih, tetapi sorot matanya tetap menyala.
Di balik kamera, ia menjadi guru bagi banyak generasi: mengarahkan, mengingatkan, bahwa film bukan sekadar tontonan—tapi tanggung jawab.
Soultan Saladin bukan hanya nama di kredit akhir, ia adalah jiwa di balik banyak karakter yang membuat kita mengenali diri kita sendiri.
Di layar ia hidup seribu kali, di hati bangsa ia tak pernah mati.
– 08
Hai para aktor muda! Dengarkan gema dari masa lalu:
“Bangunlah perfilmanmu dari kesungguhan, bukan dari glamor, bukan dari viral semalam.”
Jangan jadikan peran sebagai topeng, tapi sebagai cermin nurani. Jangan berlari mengejar ketenaran, karena ketenaran hanya bayangan cahaya yang cepat padam.
Bangunlah karaktermu seperti Soultan membangun bangsa: dengan disiplin, cinta, dan kesetiaan pada makna. Jika engkau memegang naskah, anggaplah itu kitab perjuangan. Jika engkau berdiri di depan kamera, anggaplah itu mimbar kebenaran. Dan ketika engkau tersenyum dalam adegan, ingatlah bahwa di balik senyum itu
ada jutaan rakyat yang butuh harapan.
– 09
Film akan berubah, teknologi akan maju, tetapi nilai keaktoran sejati tak akan punah. Keaktoran bukan sekadar ekspresi tubuh, tapi dialog antara jiwa dan dunia. Soultan mengajarkan bahwa aktor sejati
harus hidup dengan integritas, dan mati dengan senyum keyakinan bahwa seninya pernah menyentuh hati bangsa.
– 10
Setiap generasi akan menulis filmnya sendiri, tapi roh Soultan akan tetap ada—menyelinap di balik tatapan aktor yang jujur, di antara sutradara yang masih percaya pada nilai, di ruang editing yang menyusun kembali semangat nasionalisme. Ia bukan hanya legenda, ia adalah metafora kejujuran di dunia seni peran. Namanya seperti doa: Saladin—pejuang. Dan jiwanya memang milik para pejuang.
– 11
Jika kelak film Indonesia menemukan kejayaannya kembali, ingatlah bahwa di bawah sinar lampu premiere itu ada bayangan lelaki yang pernah berjuang dengan sepenuh hati untuk keindahan dan kebenaran.
Soultan Saladin adalah simbol, bahwa seni bisa menjadi jalan spiritual, bahwa keaktoran bisa menjadi ibadah nasional.
– 12
Wahai layar putih, jangan biarkan cahaya ini padam. Simpanlah wajah para aktor yang jujur, simpanlah mata Soultan dalam setiap adegan, agar generasi baru tahu—bahwa seni bukan sekadar mimpi, tetapi sumpah setia kepada bangsa.
Kepada semua pejuang film nasional, bangunlah lagi rumah besar bernama sinema, tempat rakyat bercermin, tempat nilai hidup kembali, tempat kita mengenal arti menjadi manusia. Karena seperti kata Soultan Saladin:
“Film yang besar bukan yang paling laku, tapi yang paling jujur kepada rakyatnya.”
Dan kepada engkau, Soultan, yang kini mungkin sedang menonton dari surga cahaya, bangsa ini mengucapkan terima kasih.
Kau bukan sekadar aktor, kau adalah jiwa keaktoran Indonesia itu sendiri.
Dari Timur Bekasi
Selasa, 21 Oktober 2025
21.25