Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Kasus Pertanahan Jusuf Kalla

0
75
- Advertisement -

 

Kolom Muchlis Patahna

Ketua Dewan Pembina KKSS

Persoalan tanah di Indonesia bukan sekadar sengketa administratif, ia telah menjelma menjadi potret buram bagaimana mafia tanah, korporasi besar, dan individu berpengaruh bisa memainkan hukum demi kepentingan tertentu. Dari Rempang hingga Tanjung Bunga, pola yang sama berulang: rakyat kecil dirugikan, hukum dipermainkan, dan negara sering kali hadir terlambat.

Kasus Tanjung Bunga yang kini mencuat ke permukaan memperlihatkan bahwa ancaman mafia tanah ternyata bisa menimpa siapa saja, bahkan tokoh bangsa sekaliber H. Muhammad Jusuf Kalla (JK). Sengketa antara PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD–Lippo) dan Grup Kalla bukan sekadar soal legalitas tanah, tetapi menjadi cermin rapuhnya kepastian hukum di negeri ini.

Padahal, Grup Kalla telah mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), sebuah alat bukti kuat dan sah menurut hukum pertanahan Indonesia. Namun, sebagaimana disampaikan Pak JK, mafia tanah tetap mampu “memainkan” proses hukum dan bahkan mengesankan bahwa hak itu seolah bisa dirampas begitu saja. Pernyataan tegas JK, bahwa tanah tersebut “dirampok” menggambarkan betapa seriusnya persoalan ini.

Publik tersentak bukan hanya karena melibatkan dua konsorsium besar, tetapi karena figur Pak JK yang selama ini dikenal sebagai negarawan, mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, sekaligus Ketua Dewan Kehormatan KKSS. Jika seorang tokoh sebesar JK dapat menjadi korban permainan mafia tanah, bagaimana nasib rakyat biasa?

Komposisi pemegang saham GMTD—Makassar Permata Sulawesi 32,5%, Pemda 13%, Pemkot 6,5%, Pemerintah Kabupaten Gowa 6,5%, yayasan 6,5%, dan publik 35%—menunjukkan bahwa persoalan ini tidak sederhana. Banyak institusi, kepentingan, dan otoritas yang terlibat. Di sinilah negara seharusnya mengambil peran sentral untuk memastikan kepastian hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Negara tidak boleh berdiam diri. Pemerintah, aparat hukum, dan lembaga terkait mesti turun tangan secara cepat dan adil, memastikan hak-hak yang sah tetap dihormati serta menghentikan praktik mafia tanah yang merusak sendi-sendi keadilan. Kasus Tanjung Bunga harus menjadi momentum memperkuat reformasi hukum pertanahan dan memberantas mafia tanah sampai tuntas.

Keadilan dan kepastian hukum bukan hanya jargon; ia adalah hak warga negara. Dan ketika seorang tokoh bangsa harus bersuara keras karena haknya dipertaruhkan, itu alarm keras bagi kita semua: sudah saatnya negara benar-benar hadir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here